Segala
yang keluar dari penuturan kita, manusia, mencerminkan hakikat diri
kita. Mulut (lisan) merupakan bagian vital kita yang penggunaannya
mendominasi keseharian kita. Sering kita mendengar bahwa Allah telah
menciptakan untuk kita, hamba-Nya, satu mulut dan dua telinga dengan
harapan kita lebih mendengar daripada melihat. Akan tetapi, pada
kenyataannya, manusia banyak memfungsikan anggota tubuh yang memiliki
dua bibir ini daripada menajamkan penggunaan telinga.
Kenapa?
Adalah
fitrah bahwa manusia ingin mendapatkan pengakuan di lingkungan tempat
dia berada. Aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi manusia
menurut Maslow (1943). Dan berbicara adalah satu upaya paling kentara
dari upaya aktualisasi diri. Dengan berbicara, kita mentransferkan
apa-apa yang menjadi ide, harapan, keinginan, maupun tanggapan kita
terhadap sesuatu.
Berbicara juga merupakan salah satu cara kita
mengetahui karakter diri maupun orang sebagai lawan bicara kita.
Walaupun bukan suatu kemutlakan, logikanya, orang dengan latar belakang
pendidikan tinggi, akan memiliki cara dan bahasan pembicaraan yang lebih
matang dibandingkan orang yang tidak memiliki background pendidikan
sama sekali. Demikian halnya dengan karakter. Orang dengan karakter
rendah hati dan lembut, akan berimbas pada cara bicaranya yang juga
lembut. Orang dengan karakter keras cenderung memiliki cara bicara yang to the point dan
tegas. Sekali lagi, hal ini bukan suatu kemutlakan karena tidak jarang
kita saksikan, orang dengan level pendidikan tinggi malah mengatakan
hal-hal kasar, menjatuhkan, dan tidak mendidik. Dan sesekali mungkin
kita temui orang dengan pribadi kuat dan tegas namun cara bicaranya
sejuk lagi lembut.
Mulut dan bicara adalah dua hal tak terpisahkan
dari diri manusia. Keduanya menjadi ujung tombak kehidupan, utamanya
kehidupan sosial manusia. Sebuah statemen ‘mulutmu harimaumu’ cukup
merepresentasikan bagaimana pentingnya memiliki dan menjaga mulut kita
dari hal-hal yang sia-sia apalagi merugikan.
Sering saya melihat di lingkungan pergaulan di sekitar saya yang dengan enteng kata-kata
umpatan kasar terucap. Entah hewan berkaki empat nyata atau
diplesetkan, entah kata umpatan dalam bahasa inggris, atau yang lain
sering bersliweran di telinga saya. Hal itu sangat membuat saya merasa
risih dan jengah. Saya menjadi ingat betapa Melalui kata yang terucap
oleh mulut, perkelahian hingga pertumpahan darah pun bisa terjadi.
Saya
sangat salut dengan cara orang tua saya mendidik kami, anak-anak
mereka, tentang berbicara. Saya, semenjak TK hingga sekarang, sangat
jarang mengatakan kata-kata umpatan. Ketika marah, benci, atau mendapat
hal kurang menyenangkan apapun, diri saya pribadi akan sangat menghindar
dari perkataan kasar. Bagaikan mendapat sengatan listrik jika saya
mungkin secara emosional melontarkan umpatan.
Saya bahkan masih
mengingat peristiwa yang sampai sekarang saya jadikan pembelajaran
tentang pendidikan orang tua saya terhadap berbicara ini. Bukan
bermaksud menyombongkan diri ataupun orang tua, saya hanya ingin sedikit
berbagi hal sederhana ini. Dulu, saat pertelevisian tanah air tengah
ramai oleh serial Warung Kopi (warkop); Dono, Kasino, dan Indro,
terdapat sebuah kata yang saya imitasi dari tokoh Indro. Kata sederhana
yakni ‘inang’.
Kata ini
diucapkan tokoh saat tengah mendapat kesialan seperti tersandung,
jatuh, kaget, dll. Dan itu pernah satu-dua kali saya lontarkan saat saya
mendapat hal kurang mengenakkan. Mendengar hal itu, dengan tegas ibu
saya menegur dan memberhentikan perbuatan saya itu. Kata beliau, jika
dibiarkan, meskipun hal itu kecil, akan berdampak buruk bagi saya ke
depan.
“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”
Nah,
betapa pentingnya menjaga segala sesuatu yang terucap dari mulut kita.
Menjaganya bukan berarti menjadikan kita pribadi pendiam yang introvert.
Namun, menjaga lisan mengarahkan kita menjadi pribadi hanif, berakhlaq,
dan bermanfaat…
Jagalah lisan, jangan kau kotori
Jagalah lisan, ujung tombak hidup ini…
(menyitir dengan perubahan lagu Jagalah hati, Aa’ Gym)