Oleh, Muhammad Isa Anshary
(Peneliti Pusat Studi dan Peradaban Islam)
Kolonialisme dan misi Kristen mempunyai hubungan sangat erat. Di
negara-negara Muslim, keduanya sering dibantu oleh orientalisme sehingga
menjadi gerakan bersama Barat untuk menghadapi Islam. Fakta sejarah pun
menunjukkan bahwa gerakan kolonialisme selalui disertai oleh kegiatan
misionaris Kristen dan orientalis[1]. Banyak sarjana, baik dari kalangan
Muslim maupun Barat, mengakui hal itu.
Dari kalangan Muslim misalnya Muhammad Al-Ghazali [2], Musthafa
Khalidi, Umar Farukh[3], Abdurrahman Habanakah Al-Maidani[4], Anwar
Al-Jundi[5], Muhammad Natsir[6], dan H.M. Rasyidi[7]. Adapun dari
kalangan sarjana Barat antara lain Robert Delavignette[8] , Stephen
Neill [9], Katie Geneva Cannon [10], Livingstone M. Huff [11], Horst
Gründer [12], dan Edward W. Said [13].
Seperti negara Muslim lain yang pernah dijajah oleh bangsa Barat,
Indonesia mempunyai pengalaman sejarah mengenai hubungan erat antara
kolonialisme dan misi Kristen. Sejarah menunjukkan bahwa Kristenisasi
merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekspansi kolonialisme. Agama
Kristen datang dan menyebar seiring dengan datang dan menyebarnya
kolonialisme Barat. Portugis maupun Belanda sama-sama datang dengan
membawa misi Kristen. Di dalam Encyclopædie van Nederlandsch-Indië disebutkan,
"Mengenai sikapnya terhadap perkara agama di kepulauan ini
(Nusantara), orang Belanda berdasarkan contoh sama dengan orang
Portugis. Di mana pun dia tinggal dan menjumpai pribumi Kristen, keadaan
mereka itu tidak disia-siakannya. Sebaliknya, di mana pun belum ada
pribumi Kristen, dia berusaha menyebarkan Kristen di tengah-tengah
mereka." [14]
Namun demikian, sebagian sarjana Kristen mengingkari adanya hubungan
saling menguntungkan antara kolonialisme dan misi Kristen. W.B.
Sidjabat, misalnya, berusaha mengelak bahwa kekuasaan kolonial Belanda
ikut membantu penyebaran agama Kristen di Indonesia. Menurutnya, kaum
misionaris sama sekali tidak ada kaitannya dengan ambisi duniawi kaum
kolonialis. Penyebaran agama Kristen lebih disebabkan oleh kuasa
Al-Kitab dan bukan terutama disebabkan oleh upaya orang-orang Kristen.
[15] Sarjana Kristen lain yang menolak asumsi di atas adalah Chris
Hartono dan Adolf Heuken SJ.
Menurut Chris Hartono, pernyataan bahwa meluasnya penjajahan dan
kemajuan karya zending sama-sama merupakan wadah ekspansi Barat adalah
tidak benar, sekurang-kurangnya tidak tepat, karena di antara keduanya
terdapat perbedaan yang hakiki. [16] Sementara itu, Adolf Heuken SJ
menyatakan bahwa tidak selamanya pemerintah kolonial memberikan bantuan
dan perlindungan kepada misi Kristen. Menurutnya, pemerintah kolonial
juga sering menghambat upaya penyebaran Kristen sampai 1942. Lebih
lanjut, dia mengatakan, “Tuduhan bahwa misi dimanja oleh pemerintah kolonial merupakan fitnah yang tak pernah disertai data (yang memang tidak ada).” [17]
Kedatangan Bangsa Barat dan Penyebaran Agama Kristen
Beberapa sarjana Kristen berpendapat bahwa pengkabaran Injil ke
beberapa tempat di Indonesia ini sudah dimulai pada zaman Patristik,
pada masa sebelum kedatangan Islam. Diduga bahwa orang-orang Kristen
Nestorian dari Mesir dan Persia sempat singgah di beberapa tempat di
Indonesia dalam perjalanan mereka ke Tiongkok pada abad V.
Peristiwa ini terjadi pada masa menjelang timbulnya Kerajaan
Sriwijaya. [18] Namun demikian, nasib agama Kristen untuk jangka waktu
yang lama tidak begitu jelas setelah periode ini dan tidak meninggalkan
bekas. Tidak ada data sejarah yang dapat menjelaskan perkembangan
Kristen Nestorian itu.
Baru pada awal abad XVI agama Kristen mulai berkembang dan menyebar
dengan kedatangan bangsa Barat ke Indonesia. Pada masa itu, Spanyol dan
Portugis memelopori bangsa Eropa dalam ekspedisi pelayaran keliling
dunia. Orang-orang Spanyol melakukan pelayaran ke arah barat, sedangkan
orang-orang Portugis melakukan pelayaran ke arah timur hingga tiba di
Indonesia. Ekspansi Portugis dan Spanyol mendapatkan restu dari Paus
Alexander VI.
Pada 4 Mei 1493, dia membagi dunia baru antara Portugis dan Spanyol.
Salah satu syaratnya adalah raja atau negara harus memajukan misi
Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka itu. [19]
Paus Alexander VI juga mengajarkan bahwa bangsa-bangsa di luar Negara
Gereja Vatikan yang tidak beragama Katolik, dinilai sebagai bangsa
biadab. Negara atau wilayahnya dinilai sebagai terra nullius (wilayah
kosong tanpa pemilik). [20]
Semangat Perang Salib sangat kuat mendorong ekspansi Portugis. Mereka
memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus
diperangi. [21] Oleh karena itulah ketika Alfonso d'Albuquerque berhasil
menduduki Malaka pada 1511, dia berpidato,
"Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita dalam
mengusir orang-orang Moor dari negara ini dan memadamkan api Sekte
Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini... Saya yakin, jika
kita berhasil merebut jalur perdagangan Malaka ini dari tangan mereka
(orang-orang Moor), Kairo dan Mekah akan hancur total dan Venesia tidak
akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya pergi dan
membelinya di Portugis." [22]
Portugis datang ke Malaka, kemudian ke Nusantara, dengan membawa para
misionaris. Penyebaran agama Kristen Katolik menjadi tujuan utama
mereka, bukan pekerjaan sambil lalu saja. Di setiap wilayah yang
ditaklukkan Portugis, misi Katolik segera masuk dan mengkonversi
penduduk dengan cara paksa dan tidak mengenal toleransi beragama.
Para misionaris Portugis tidak menghiraukan agama Islam yang telah
dianut oleh penduduk di Maluku. Portugis mengadu domba penduduk yang
telah berhasil dikristenkan untuk bermusuhan dengan orang-orang Islam.
Malah mereka dipakai sebagai senjata untuk memerangi orang-orang Islam,
seperti yang pernah terjadi dengan orang-orang Hatiwe yang digunakan
tenaganya untuk memerangi Hitu. Agresi-agresi Portugis dengan
Kristenisasinya telah memaksa mereka yang tidak rela meninggalkan agama
Islam untuk lari meluputkan diri meninggalkan kampung halamannya,
mencari tempat yang aman dari incaran Portugis.
Penyebaran Kristen Katolik oleh para misionaris Portugis di
wilayah-wilayah Islam terkadang dilaksanakan pada hari Jum’at tepat
waktu shalat. Pada waktu itu semua orang laki-laki berada di masjid,
sedangkan wanita dan anak-anak berada di rumah. Mereka yang dapat
meloloskan diri dari kepungan Portugis terpaksa lari meninggalkan
keluarganya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi di wilayah-wilayah
Islam di pulau Ambon, seperti Negeri Lama (Pasolama), Suli, Wai dan
lain-lain. [23]
Misionaris Portugis paling sukses dalam menyebarkan Kristen Katolik
di Maluku adalah Franciscus Xaverius. Dia tiba di Ambon pada Februari
1546. Setelah tiga bulan bekerja di sana, dia mengunjungi Ternate,
Halmahera dan Morotai, lalu pulang lagi beberapa waktu ke Ternate dan
Ambon, kemudian kembali ke Malaka. Selama 15 bulan bekerja di Maluku,
Xaverius berhasil membaptis ribuan orang. [24] Xaverius pernah menulis, ”Jika
setiap tahunnya selusin saja pendeta datang ke sini dari Eropa, maka
gerakan Islam tidak akan dapat bertahan lama dan semua penduduk
kepulauan ini akan menjadi pengikut agama Kristen.” [25]. (Bersambung)
Catatan Kaki
- Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) Institut Studi Islam Darussalam, 2008), hlm. 44–45.
- Lihat Muhammad Al-Ghazali, Al-Isti‘mâr; Ahqâd wa Athmâ‘, (Iskandariah: Syirkah Nahdhah, 2005). Menurut Al-Ghazali, kolonialisme mempunyai dendam agama dan ambisi duniawi. Oleh karena itu, pemerintah kolonial tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam negeri-negeri Muslim yang menjadi daerah koloni mereka, namun juga menyebarkan agama Kristen untuk menghadapi dan merusak Islam.
- Lihat Mushtafa Khalidi dan Umar Farukh, At-Tabsyîr wa Al-Isti‘mâr fi Al-Bilâd Al-‘Arabiyah, (Beirut: Mansyurat Al-Maktabah Al-‘Ashriyah, 1986). Menurut kedua penulis ini, misi Kristen menjadi faktor penting dalam menghancurkan persatuan Islam. Sebab, misi Kristen berusaha menggambarkan orang-orang Eropa sebagai pembawa pencerahan baru dan bukan dalam bentuk sebagai penjajah. Apabila mereka berhasil melakukannya, maka hal ini akan mengendurkan dan memecah belah perlawanan umat Islam. (hlm. 37)
- Lihat Abdurrahman Habanakah Al-Maidani, Ajnihah Al-Makr Ats-Tsalâtsah, (Damaskus: Dar Al-Qalam, 2000). Dalam buku ini, penulisnya memaparkan bahwa misi Kristen, orientalisme, dan kolonialisme adalah gerakan bersama untuk menghancurkan Islam. Ketiganya bertemu dalam tujuan dan proyek bersama. Titik pertemuan itu antara lain adalah dalam kebencian dan dendam terhadap kaum Muslim, eksploitasi ekonomi, memerangi Islam dan upaya penerapannya, serta upaya memisahkan antara Islam dan pemeluknya. (hlm. 187–206)
- Lihat Anwar Al-Jundi, Al-‘Âlam Al-Islâmî wa Al-Isti‘mâr As-Siyâsî wa Al-Ijtima‘î wa Ats-Tsaqafî,
(Beirut: Dâr Al-Kutub Al-Lubnânî, 1983). Menurutnya, pemerintah
kolonial yang mencengkeram negeri-negeri Islam menekankan pada dua
aktivitas mendasar. Pertama, berusaha untuk membangun opini publik bahwa apa yang
dilakukan kolonial merupakan aktivitas yang berkaitan dengan misi
pengadaban dan kemanusiaan yang bertujuan untuk memajukan umat manusia.
Mereka berasumsi bahwa orang kulit putih adalah pemilik peradaban yang
bertanggungjawab terhadap kemajuan peradaban orang kulit berwarna.Kedua, mengubah intelektualitas Islam dari konsep dasarnya dan membangkitkan kesamaran seputar unsur-unsur pemikiran Islam. Hal itu dilakukan sebagai permulaan untuk mengasosiasikannya ke dalam pemikiran Barat yang diasumsikan sebagai pemikiran universal yang dominan. Dengan cara ini, umat Islam akan kehilangan nilai-nilai prinsipilnya, kemudian menerima nilai-nilai peradaban Barat dan takluk seperti kuda jinak di tangan mereka.Untuk melaksanakan kedua hal di atas, pemerintah kolonial mengirimkan misionaris yang memiliki peran besar dalam menciptakan orang-orang yang menerima dan membela pemikiran Barat. Mereka tidak memusuhi kolonialisme, tetapi malah mendukung dan menghormatinya. Oleh karena itu, pemerintah kolonial membantu sekolah-sekolah, rumah sakit, dan organisasi-organisasi yang didirikan oleh misionaris. (hlm. 415–416)
- Lihat Muhammad Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, (Bandung: Diponegoro, 1969). Buku ini berisi tulisan-tulisan Natsir yang mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang cenderung memberi bantuan dan perlindungan kepada misi Kristen.
- Lihat Robert Delavignette, Christianity and Colonialism. Menurutnya, ada beberapa posisi agama Kristen dalam kolonisasi. Antara lain melakukan evangelisasi atau Kristenisasi dan pengajaran gereja
- Lihat Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions, (London: Lutterworth Press, 1966). Neill menyatakan bahwa kolonialisme cenderung ditafsirkan dalam istilah serangan. Serangan itu meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, pemikiran, dan bentuk serangan yang paling berbahaya adalah serangan misi Kristen. (hlm. 12)
- Lihat Katie Geneva Cannon, “Christian Imperialism and The Transatlantic Slave Trade”, dalam Journal of Feminist Studies in Religion, Volume 24, Number 1 (2008), hlm. 127–134.
- Lihat Livingstone M. Huff, “The Crusader and Colonial Imperialism: Some Historical Considerations Concerning Christian-Muslim Interaction and Dialogue”, dalam Missiology; An International Review, Volume 32, Number 2 (April 2004), hlm. 141–148. Dalam artikel ini, Huff menyatakan bahwa imperialisme kolonial yang dilakukan oleh negara-negara Barat adalah salah satu aspek sejarah yang mempengaruhi dan membentuk kesalahpahaman antara orang Muslim dan orang Kristen.
- Lihat Horst Gründer, “Christian Mission and Colonial Expansion-Historical and Structural Connections”, dalam Mission Studies, Volume 12, Number 1 (1995), hlm. 18–20.
- Lihat Edward W. Said, Orientalisme, (Bandung: Pustaka, 2001), hlm. 131–132. Menurut Said, mengkolonisasi pada mulanya berarti identifikasi –bahkan penciptaan— kepentingan-kepentingan, yang bisa bersifat komersial, komunikasi, agama, militer ataupun budaya. Umpamanya, berkenaan dengan Islam dan kawasan-kawasan Islam, Inggris sebagai kekuatan Kristen merasa memiliki kepentingan-kepentingan legitimatis yang harus dilindungi. Beberapa organisasi misi berkembang untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Misalnya: Baptist Missionary Society (1792), Church Missionary Society (1799), British and Foreign Bible Society (1804), dan London Society for Promoting Christianity Among the Jews (1808). Misi-misi ini terang-terangan ikut serta dalam ekspansi Eropa
- Joh. F. Snelleman, Encyclopædie van Nederlandsch-Indië, Jilid IV (Leiden: Martinus Nijhoff, 1905), hlm. 829.
- W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), hlm. 24.
- Chris Hartono, “Kehadiran Zending di Zaman Kolonial Belanda; Suatu Tinjauan Historis-Teologis”, dalam F.W. Raintung (ed), Tahun Rahmat dan Kemerdekaan; Perenungan Perjalanan Lima Puluh Tahun Republik Indonesia, (Surakarta: Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial, 1995), hlm. 21
- Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja, Jilid 5, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 10.
- W.B. Sidjabat, Panggilan Kita, hlm. 16-17. Lihat juga Th. van den End, Ragi Carita 1; Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 19–20.
- H. Berkhof, Sedjarah Geredja, Jilid II, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1952), hlm. 86. Lihat juga Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 20–21
- Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid I, (Bandung: Salamadani, 2009), hlm. 158.
- Bernard H. M. Vlekke, Nusantara; Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 97.
- Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 372.
- Maryam RL Lestaluhu, Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam Terhadap Imperialisme di Daerah Maluku, (Bandung: Al-Ma'arif, 1988), hlm. 40–42.
- H. Berkhof, Sedjarah Geredja, Jilid II, hlm. 86.
- Alwi Shihab, Membendung Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar