Syi’ah
secara dusta mengaku sebagai pecinta ahlul bait. Ucapan dan perbuatan
mereka bertolak belakang dengan klaim mereka. Hal seperti ini tidaklah
aneh atau asing pada diri anak cucu Majusi. Mereka telah berani
menginjak-injak rumah tangga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka
telah menghina Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam –semoga Allah
melaknat mereka- mereka telah menghina istri-istri Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang menjadi ibu-ibu bagi kaum mukminin.
Mereka
juga telah berani menginjak-injak imam pertama mereka yang diyakini
ma’shum. Sifat mereka ini menjadi sempurna dengan menghinakan al-Hasan,
al-Husain, Ali ibn al-Hasan dan para imam lainnya. Sebagaimana pula
mereka telah menghina putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan yang utama adalah Fathimah az-Zahra’ Radhiyallahu ‘Anha. Ini
belum lagi dengan penghinaan mereka terhadap semua Nabi dan Rasul.
Ash-Shadug
di dalam kitab “al-Amal” meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Ali Radhiallahu ‘Anhu: “Seandainya aku
tidak menyampaikan apa yang aku diperintah dengannya dari perkara
wilayahmu (kepemimpinanmu) maka leburlah seluruh amalku.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalain, jilid I, hal 654).
Sepertinya
Allah yang Maha Suci tidak mengutus Rasul-Nya yang mulia melainkan
hanya untuk menyampaikan wilayah Ali. Orang-orang yang tidak tahu diri
itu telah mengecilkan kedudukan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam demi
mewujudkan kepentingan dan tujuan mereka yang kotor. Ini semua mereka
lakukan karena mustahil bagi mereka untuk mendatangkan bukti dan dalil
tentang wilayah Ali Radhiyallahu ‘Anhu.
Al-Bahrani
menukil dari as-Syyid ar-Ridah dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia berkata:
“Saya keluar menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saya
dapati beliau sedang ruku’ dan sujud, beliau berdo’a, “… Ya Allah dengan
(demi) kehormatan hamba-Mu Ali ampunilah orang-orang yang bermaksiat
dari umatku.” (Al-Burhan fi Tafsir Al-Qur’an, jilid IV, hal 226).
Coba
perhatikanlah kenistaan ini, yang dengannya mereka ingin menunjukkan
keutamaan Ali Radhiyallahu ‘Anhu di atas Rasul yang diutus sebagai
rahmat untuk alam semesta dan yang menjadi sayyid bagi manusia dari awal
hingga akhir, Sayyid kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
An-Nu’mani
secara dusta meriwayatkan dari imam Muhammad al-Baqir ‘Alaihi Sallam,
ia berkata: “Ketika imam Mahdi muncul ia didukung oleh para malaikat dan
orang pertama yang membai’atnya adalah Muhammad ‘Alaihi Sallam kemudian
Ali ‘Alaihi Sallam.” Syaikh ath-Thusi meriwayatkan dari imam ar-Ridha
‘Alaihi Sallam bahwa di antar tanda-tanda munculnya al-Mahdi adalah dia
akan muncul dalam keadaan telanjang di depan bulatan matahari.” (Al-Kafi fil-Ushaul, jilid I, hal 504),
Perhatikan
baik-baik pengakuan mereka tentang pembai’atan Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam kemudian Ali Radhiyallahu ‘Anhu kepada al-Mahdi yang diduga.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah makhluk Allah yang terbaik,
apakah beliau akan berbaiat kepada orang yang di bawahnya? Berbaiat
kepada orang yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun? Kerendahan
macam apa yang dialamatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam ini?
Perhatikan
orang-orang Syi’ah yang “dungu” itu. Mereka menetapkan telanjangnya
keturunan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dia akan muncul di
hadapan umat dalam keadaan telanjang! Apakah ini yang disebut sebagai
penghormatan kepada ahlul bait? Ataukah ini justru menjadi penghinaan
yang terang-terangan?!
Al-Qummi
menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika ada
di Makkah tidak ada orang yang berani mengganggu beliau karena kedudukan
Abu Thalib. Mereka memprovokasi anak-anak kecil untuk mengganggu
beliau.
Jika
beliau keluar anak-anak kecil itu melemparinya dengan batu dan kerikil
(dan debu). Maka beliau mengadukan hal itu kepada Ali Radhiyallahu
‘Anhu.” (Tafsir Al-Burhan, jilid II, hal 404).
Mereka
meriwayatkan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mi’raj ke
langit beliau melihat Ali Radhiyallahu ‘Anhu dan anak-anaknya yang telah
sampai di sana sebelum Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Nabi
mengucap salam kepada mereka. Padahal beliau telah berpisah dengan
mereka di bumi. (Tafsir Al-Burhan, jilid II, hal 404).
Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya: “Dengan bahasa apakah
Rabb anda berbicara dengan anda pada waktu mi’raj?” Beliau menjawab:
“Dia berbicara kepadaku dengan bahasa Ali bin Abi Thalib, hingga saya
berkata “Engkaukah yang sedang berbicara kepadaku ataukah Ali?!” (Kasyf Al-Ghummah, jilid I, hal 106).
Aku
memohon ampun kepada-Mu ya Ilahi…….!!! Kita biarkan kebebasan para
pembaca yang mulia untuk menginterpretasikan apa yang dimaksud dengan
riwayat yang keji ini!!
Mereka
begitu rajin mengikuti langkah-langkah penghinaan, dengan berbagai rupa
bentuk dan ukuran, sampai mereka meragukan kenabian Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam karena tiga putrinya; Zainab, Ummu Kultsum dan
Ruqayyah. Hal ini terjadi ketika mereka menafikan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sebagai bapak mereka. Mereka –semoga dilaknat oleh
Allah, para malaikat dan manusia semuanya-mengatakan bahwa “Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melahirkan mereka, tetapi mereka
adalah anak-anak tirinya.”
Muhsin
al-Amin menambahkan: “Para sejarawan menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam hanya memiliki empat putri, dan setelah meneliti
teks-teks sejarah ternyata kita tidak mendapatkan bukti yang menetapkan
adanya putri Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selain Fathimah
az-Zahra’.” (Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah asy-Syi’iyyah, jilid I, hal 27, Dar al-Ma’arif, Beirut; Kasyf al-Ghitha’, Ja’far An-Najefi, hal 5).
Apakah semisal mereka bisa disebut sebagai “pecinta ahlul bait”?!
Jika
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak selamat dari kejahatan mereka,
maka istri-istri beliau pun lebih tidak selamat. Bahkan telah keluar
fatwa “kafir” bagi ibu-ibu kaum mukminin terutama Aisyah dan Hafshah
Radhiyallahu ‘Anha. (Bihar Al-Anwar, jilid XXII, hal 227-247).
Cukuplah
mengisyaratkan kepada apa yang beredar di kalangan Syi’ah bahwa firman
Allah “Dan Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi
orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba
yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat”
(at-Tahrim: 10). Al-Qummi pembesar Syi’ah dalam bidang tafsir (dusta)
itu menyatakan: ”Demi Allah yang dimaksud dengan pengkhianatan itu
adalah zina. Artinya hendaklah menegakkan hukuman zina terhadap Fulanah
yang telah melakukan zina dalam perjalanan ke Bashrah. Ada seorang
laki-laki mencintainya, maka tatkala dia (Aisyah) hendak menuju Bashrah
Fulan tadi berkata kepadanya: Kamu tidak halal pergi tanpa mahram. Maka
dia mengawinkan dirinya dengan Fulan tersebut. (Bihar Al-Anwar, jilid XXII, hal 240-245; Tafsir al-Qummi, jilid II, hal 344).
Dan yang dimaksud dengan Fulan adalah Thalhah.
Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘Anha adalah ibu bagi kaum mukminin semata.
Sebagaimana
mereka menghina Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, putri-putrinya dan
istri-istrinya, mereka juga telah menghina imam mereka yang pertama Ali
Radhiyallahu ‘Anhu. (Menurut mereka), ketika mereka melukiskannya
sebagai pengemis –wa al-‘iyadzu billah-. Telah disebutkan oleh
Salim ibn Qais penulis buku Syi’ah pertama kali bahwa Ali telah
menaikkan Fathimah di atas himar, dan ia menuntun al-Hasan dan
al-Husain. Disebutkan bahwa Ali tidak meninggalkan satu shahabat pun
melainkan ia telah mendatanginya di rumahnya untuk meminta haknya atas
nama Allah. (Kitab Salim ibn Qais, hal 82-83).
Lihatlah
penghinaan yang luar biasa ini, penghinaan terhadap Ali yang menuntun
kedua putranya dan putrinya yang menaiki himar. Mereka berjalan
berkeliling mendatangi rumah-rumah sahabat untuk meminta belas kasih
mereka!!
Apakah
sifat seperti ini layak bagi kedudukan ahlul bait dan bagi seorang
pemimpin dari pemimpin-pemimpin kaum muslimin? Cerita, hikayat dan
dongeng!
Sebagaimana
al-Kulaini meriwayatkan di dalam al-Kafi bahwa Fathimah tidak suka
diperistri oleh Ali. Riwayat itu sebagai berikut: “Tatkala Rasul
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahkan Ali dengan Fathimah ‘Alaihi
Sallam. Ali masuk menemui Fathimah yang ketika itu ia menangis. Maka Ali
menanyakan: “Apa yang membuatmu menangis?! Demi Allah seandainya dalam
keluargaku ada yang lebih baik dengannya, aku tidak akan menikahkan
engkau dengannya, dan aku tidak akan menikahkannya akan tetapi Allah
yang telah menikahkannya”. (Al-Furu’ min al-Kafi).
Hingga imam mereka yang pertama dihina dan diturunkan derajatnya seperti ini?!
Di mana “cinta” yang selama ini diumbar? Di mana ia bersembunyi?
Disebutkan
oleh al-Ashfahani dari Ibn Abu Ishaq bahwa ia berkata: “Aku dimasukkan
oleh ayahku ke dalam masjid pada hari Jum’at. Ia mengangkatku maka aku
melihat Ali berkhutbah di atas mimbar, dia adalah orang tua yang botak,
menonjol dahinya, bidang dadanya (lebar jarak antara dua pundaknya),
jenggotnya memenuhi dadanya dan lemah matanya.”(Maqatil ath-Thalibin, hal 27-48).
Sebagaimana
mereka meyakini bahwa Ali adalah hewan bumi. Ja’far berkata “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi amirul mukminin ketika ia
tidur di masjid dan berbantal tumpukan kerikil yang ia kumpulkan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengerak-gerakkannya
(menggugahnya) dengan kakinya kemudian mengatakan: “Bangunlah wahai
“hewan Allah”. Maka seorang sahabatnya bertanya, “Wahai Rasulullah!
Apakah sebagian kita boleh menyebut sebagian yang lain dengan nama ini?”
beliau bersabda: “Tidak. Demi Allah. Nama tadi khusus untuknya.” (Bihar al-Anwar, jilid XIII, hal 213).
Inilah imam pertama mereka yang mereka katakan bahwa ia akan menjadi “Dabbah” (hewan melata)!
Betapa
khawatirnya kita jika yang dimaksud adalah Ali Radhiyallahu ‘Anhu akan
menjadi hewan tunggangan bagi al-Mahdi ciptaan Syi’ah. hasbunallah!!
Mereka
pun telah menghina paman Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abbas dan
putranya Abdullah dan juga ‘Aqil ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu.
Diriwayatkan oleh al-Kulaini bahwa Sudair bertanya kepada imam Muhammad
al-Baqir: “Di manakah kecemburuan (ghirah) Bani Hasyim, kekuatan
(syaukah) dan bilangan mereka yang banyak itu setelah wafatnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika dikalahkan oleh Abu
Bakar, Umar dan orang-orang munafik lainnya?” Imam Muhammad al-Baqir
berkata: “Siapa yang masih tersisa dari Bani Hasyim? Ja’far dan Hamzah
yang menjadi bagian “as-Sabiqun al-Awwalun” dan “al-Mukminun al-Kamilun”
telah meninggal dunia. Sementara dua orang yang lemah keyakinannya,
yang hina jiwanya dan yang baru kenal Islam itulah yang tersisa, Abbas
dan ‘Aqil.” (Hayat al-Qulub, jilid II, hal 846; Furu’ al-Kafi, jilid III, kitab ar-Rawdhah).
Sebagaimana
Syi’ah telah menuduh Ibn ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu mencuri dari baitul
mal di Bashrah sewaktu pemerintahan Ali Radhiyallahu ‘Anhu. Mereka
mengklaim bahwa Ali naik mimbar dan berkhutbah ketika mendengar kabar,
dia menangis dan berkata: “Ini adalah putra paman Rasulullah, dia dalam
ilmu dan kedudukannya melakukan hal seperti ini…. Bagaimana bisa
dipercaya orang-orang yang berada di bawah tingkatannya…. Ya Allah aku
telah bosan dengan mereka, tenangkan aku dari mereka… dan cabutlah aku
kepada-Mu bukan sebagai orang yang lemah.” (Rijal al-Kasysyi, hal 57).
Al-Majlisi
telah menyebutkan dalam bahasa Persia yang artinya: “Muhammad al-Baqir
meriwayatkan dari imam Zainal Abidin ‘Alaihi Sallam dengan sanad yang
dapat diandalkan bahwa ayat ini “Barang siapa di dunia ini buta maka di
akhirat dia (juga) buta dan lebih sesat jalannya (Qs Al-Isra’: 72) turun
pada diri Abdullah ibn Abbas dan bapaknya.”
Inilah
penghinaan Syi’ah terhadap paman Nabi, Abbas dan ‘Aqil dengan kelemahan,
kehinaan dan pengecut serta tidak sempurna imannya. Begitu pula
penghinaan terhadap Abbas dan putranya Habr al-Ummah Abdullah ibn Abbas
Radhiallahu ‘Anhu. Adapun ayat tadi telah diturunkan tentang perihal
orang-orang kafir……..Akan tetapi masalahnya bukan untuk orang yang
melihat melainkan untuk orang yang memiliki!
Mereka
juga telah menghina al-Hasan dengan ucapan yang sangat menyakitkan.
Mereka berkata tentangnya: “Wahai orang yang menghinakan kaum mukminin.”
(Rijal al-Kasysyi, hal 111).
Begitu
juga mereka telah menghina Ali Zainal Abidin imam keempat yang ma’shum
bagi mereka, mereka menuduhnya sebagai ornag yang pengecut dan budak.
Telah disebutkan dalam al-Kafi bahwa putra Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir berkata: “Sesungguhnya Yazid ibn Muawiyah memasuki Madinah
ingin menunaikan haji. Dia mengutus kepada seorang Quraisy. Setelah ia
datang dia menanyainya, “Apakah engkau mengakui bahwa engkau adalah
budakku, jika aku mau aku menjualmu dan jika aku mau aku menjadikan kamu
budak?” Orang itu menjawab: “Demi Allah! Wahai Yazid hasabmu
(kebaikanmu dan keluargamu) tidak lebih mulia dariku di kalangan
Quraisy, ayahmu juga tidak lebih utama dari ayahku, waktu jahiliyah
ataupun waktu Islam dan engkau juga tidak lebih mulia dan tidak lebih
baik dariku dalam agama ini. Bagaimana aku mengakui permintaanmu?” Maka
Yazid berkata: “Jika kamu tidak menyukainya, Demi Allah aku pasti
membunuhmu.” Orang tadi menjawab: “Pembunuhan terhadapku olehmu tidak
seagung pembunuhanmu terhadap al-Husain ibn Ali ‘Alaihi Sallam, putra
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Maka dia memerintahkan untuk
membunuhnya. Dan terbunuhlah dia.
Kemudian
dia mengutus kepada Ali ibn al-Husain ‘Alaihi Sallam, kemudian ia
mengatakan kepadanya apa yang telah dikatakan kepada seorang Quraisy di
atas. Maka Ali ibn al-Husain bertanya: “Bagaimana seandainya aku tidak
mau mengakui apakah engkau akan membunuhku sebagaimana engkau membunuh
orang yang kemarin?” Yazid berkata: “Allah melaknatinya, ya.” Maka Ali
ibn al-Husain (Ali Zainal Abidin) ‘Alaihi Sallam berkata: “Aku mengakui
apa yang engkau minta. Aku adalah hamba yang dipaksa, jika kamu mau
pertahankanlah aku dan jika kamu mau juallah aku.” (Ar-Rawdhah min al-Kafi, jilid VIII, hal 234-235).
Mereka
menjadikan imam mereka yang tidak lain adalah cucu Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mau mengakui dirinya sebagai budak yang
diperjualbelikan!
Kami tidak habis pikir, bukankah orang-orang Majusi saja telah memiliki prinsip “Hidup mulia atau mati mulia”.
Kalian benar-benar telah menghina ahlul bait secara habis-habisan hingga merampas harga diri dan kemuliaan!
Adapun
Muhammad al-Baqir imam kelima yang ma’shum bagi mereka, juga telah
merasakan sengatan orang-orang Syi’ah. Zurarah ibn A’yun menjulukinya
sebagai: “Orang tua yang tidak mengerti ilmu permusuhan”. (Al-Kafi fi al-Ushul)
Dia juga berkata: “Allah merahmati Abu Ja’afar, sesungguhnya di dalam hatiku ada unsur berpaling dari padanya.” (Rijal al-Kasysyi, hal 152, Biografi Abu Bashir).
Dia juga berkata: “Sahabat kamu juga tidak memiliki pengetahuan tentang ucapan para tokoh (orang-orang besar).” (Rijal al-Kasysyi, hal 133).
Mereka
juga menjuluki Ja’far, imam yang keenam sebagai “bermuka ganda”. Pernah
ia memuji Abu Hanifah di hadapan Muhammad ibn Muslim, setelah ia keluar
Ja’far mencelanya. Hal ini diriwaytkan oleh al-Kulaini dalam kisah yang
panjang.
Mereka
menasabkannya kepada Ja’far bahwa ia berkata: “Sesungguhnya aku
berbicara di atas 70 wajah, di dalam semuanya ada jalan keluar bagiku.” (Bashair ad-Darajat, jilid III).
Ahli
hadits mereka, Muhammad al-Baqir al-Majlisi dalam kitan Jala’ al-‘Uyun
menyebutkan: “Dari kakekku dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
beliau bersabda, “Jika dilahirkan Ja’far ibn Muhammad ibn Ali ibn
al-Husian maka julukilah “shadiq”, karena jika lahir anak kelima dari
anak-anaknya (ash-Shadiq) yang bernama Ja’far dan mengaku sebagai imam
secara dusta dan membuat kebohongan atas nama Allah, dia di sisi Allah
adalah Ja’far al-kadz-dzab.” (Jala’ al-‘Uyun, Al-Majlisi, hal 348).
Yang
mereka maksud dengan Ja’far al-kadz-dzab adalah putra imam yang suci
salah satu imam ma’shum bagi Syi’ah. Ja’far al-kadz-dzab berdasarkan
klaim mereka adalah saudara kandung imam ghaib, Muhammad al-Hasan
al-‘Ashari (al-Mahdi, imam kedua belas).
Sebagaimana
mereka berkata tentangnya: “Dia pelaku maksiat secara terang-terangan,
fasik, rusak, pemabuk berat, tokoh paling rendah yang pernah aku lihat
dan yang paling menghina diri sendiri, tak bernilai dan tak berharga!” (Jala’ al-‘Uyun, Al-Majlisi, hal 348).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar