Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Tahun
baru masehi pada zaman kita ini dirayakan dengan besar-besaran. Suara
terompet dan tontonan kembang api hampir menghiasi seluruh penjuru dunia
di barat dan di timurnya. Tidak berbeda negara yang mayoritas
penduduknya kafir ataupun muslim. Padahal, perayaan tersebut identik
dengan hari besar orang Nasrani.
Banyak
keyakinan batil yang ada pada malam tahun baru. Di antaranya, siapa
yang meneguk segelas anggur terakhir dari botol setelah tengah malam
akan mendapatkan keberuntungan. Jika dia seorang bujangan, maka dia akan
menjadi orang pertama menemukan jodoh dari antara rekan-rekannya yang
ada di malam itu. Keyakinan lainnya, di antara bentuk kemalangan adalah
masuk rumah pada malam tahun tanpa membawa hadiah, mencuci baju dan
peralatan makan pada hari itu adalah tanda kesialan, membiarkan api
menyala sepanjang malam tahun baru akan mendatangkan banyak
keberuntungan, dan bentuk-bentuk khurafat lainnya.
Sesungguhnya
keyakinan-keyakinan batil tersebut diadopsi dari keyakinan batil
Nasrani. Yang hakikatnya, mengadopsi dan meniru budaya batil ini adalah
sebuah keharaman. Karena siapa yang bertasyabbuh (menyerupai) kepada
satu kaum, maka dia bagian dari mereka.
Haramnya Bertasyabuh Kepada Orang Kafir
Secara
ringkas, bertasyabbuh di sini maknanya adalah usaha seseorang untuk
menyerupai orang lain yang ingin dia sama dengannya, baik dalam
penampilan, karakteristik dan atribut.
Di
antara perkara fundamental dari agama kita adalah memberikan kecintaan
kepada Islam dan pemeluknya, berbara’ (membenci dan berlepas diri) dari
kekufuran dan para ahlinya. Dan tanda bara’ yang paling nampak dengan
berbedanya seorang muslim dari orang kafir, bangga dengan agamanya dan
merasa terhormat dengan Islamnya, seberapapun hebat kekuatan orang kafir
dan kemajuan peradaban mereka.
. . . tanda bara’ yang paling nampak dengan berbedanya seorang muslim dari orang kafir, bangga dengan agamanya dan merasa terhormat dengan Islamnya, seberapapun hebat kekuatan orang kafir dan kemajuan peradaban mereka.
Walaupun kondisi orang muslim lemah, terbelakang, dan terpecah-pecah, sedangkan kekuatan kafir sangat hebat,
tetap kaum muslimin tidak boleh menjadikannya sebagai dalih untuk
membebek kepada kaum kuffar dan justifikasi untuk menyerupai mereka
sebagaimana yang diserukan kaum munafikin dan para penjajah. Semua itu
dikarenakan teks-teks syar’i yang mengharamkan tasyabbuh (menyerupai)
dengan orang kafir dan larangan membebek kepada mereka tidak membedakan
antara kondisi lemah dan kuat. Dan juga karena seorang muslim -dengan
segenap kemampuannya- harus merasa mulia dengan agamanya dan terhormat
dengan ke-Islamnya, sehingga pun saat mereka lemah dan terbelakang.
. . . kondisi orang muslim lemah, terbelakang, dan terpecah-pecah, tetap tidak boleh dijadikan sebagai dalih untuk membebek kepada kaum kuffar dan justifikasi untuk menyerupai mereka
Allah Subhanahu wa Ta'ala
menyeru agar seorang muslim bangga dan terhormat dengan agamanya. Dia
menggolongkannya sebagai perkataan terbaik dan kehormatan yang termulia
dalam firmannya,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri?".” (QS. Fushilat: 33)
Karena
sangat urgennya masalah ini, yaitu agar seorang muslim berbeda dengan
orang kafir, Allah memerintahkan kaum muslimin agar berdoa kepada-Nya
minimal 17 kali dalam sehari semalam agar menjauhkan dari jalan hidup
orang kafir dan menunjukinya kepada jalan lurus.
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah
kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Banyak
sekali nash Al-Qur’an dan Sunnah yang melarang bertasyabbuh dengan
mereka dan menjelaskan bahwa mereka dalam kesesatan, maka siapa yang
mengikuti mereka berarti mengikuti mereka dalam kesesatan.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah: 18)
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ
“Dan
seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan
kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu
terhadap (siksa) Allah.” (QS. Al-Ra’du: 37)
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.” (QS. Ali Imran: 105)
Allah Ta’ala menyeru kaum mukminin agar khusyu’ ketika berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan membaca ayat-ayat-Nya, lalu Dia berfirman,
وَلَا
يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ
الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan
janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan
Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka
lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah
orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hadid: 16)
Tidak
diragukan lagi, menyerupai mereka termasuk tanda paling jelas adanya
kecintaan dan kasih sayang terhadap mereka. Ini bertentangan dengan
sikap bara’ah (membenci dan berlepas diri) dari kekafiran dan pelakunya.
Padahal Allah telah melarang kaum mukminin mencintai, loyal dan
mendukung mereka. Sedangkan loyal dan mendukung mereka adalah sebab
menjadi bagian dari golongan mereka, -semoga Allah menyelamatkan kita
darinya-.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka." (QS. Al-Baqarah: 51)
Menyerupai orang kafir termasuk tanda paling jelas adanya kecintaan dan kasih sayang terhadap mereka. Ini bertentangan dengan sikap bara’ah (membenci dan berlepas diri) dari kekafiran dan pelakunya.
“Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka." (QS. Al-Mujadilah: 22)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Menyerupai (mereka) akan menunbuhkan
kasih sayang, kecintaan, dan pembelaan dalam batin. Sebagaimana
kecintaan dalam batin akan melahirkan musyabahah (ingin menyerupai)
secara zahir.” Beliau berkata lagi dalam menjelaskan ayat di atas, “Maka
Dia Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan, tidak akan didapati
seorang mukmin mencintai orang kafir. Maka siapa yang mencintai orang
kafir, dia bukan seorang mukmin. Dan penyerupaan zahir akan menumbuhkan
kecintaan, karenanya diharamkan.”
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR.
Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Hibban. Ibnu Taimiyah
menyebutkannya dalam kitabnya Al-Iqtidha’ dan Fatawanya. Dishahihkan
oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2831 dan 6149)
Syaikhul
Islam berkata, “Hadits ini –yang paling ringan- menuntut pengharaman
tasyabbuh (menyerupai) mereka, walaupun zahirnya mengafirkan orang yang
menyerupai mereka seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Siapa di antara
kamu yang berloyal kepada mereka, maka sungguh ia bagian dari mereka.”
(QS. Al-Maidah: 51).” (Al-Iqtidha’: 1/237)
Imam al-Shan’ani rahimahullaah
berkata, “Apabila menyerupai orang kafir dalam berpakaian dan meyakini
supaya seperti mereka dengan pakaian tersebut, ia telah kafir. Jika
tidak meyakini (seperti itu), terjadi khilaf di antara fuqaha’ di
dalamnya: Di antara mereka ada yang berkata menjadi kafir, sesuai dengan
zahir hadits; Dan di antara yang lain mereka berkata, tidak kafir tapi
harus diberi sanksi peringatan.” (Lihat: Subulus salam tentang syarah
hadits tesebut).
Ibnu Taimiyah rahimahullaah
menyebutkan, bahwa menyerupai orang-orang kafir merupakan salah satu
sebab utama hilangnya (asingnya syi’ar) agama dan syariat Allah, dan
munculnya kekafiran dan kemaksiatan. Sebagaimana melestarikan sunnah dan
syariat para nabi menjadi pokok utama setiap kebaikan. (Lihat:
Al-Iqtidha’: 1/314)
Bentuk Menyerupai Orang Kafir Dalam Hari Besar Mereka
Orang-orang
kafir –dengan berbagai macam agama dan sektenya- memiliki hari raya
yang beraneka ragam. Di antanya ada bersifat keagamaan yang menjadi
pondasi agama mereka atau hari raya yang sengaja mereka ciptakan sendiri
sebagai bagian dari agama mereka. Namun kebanyakannya berasal dari
tradisi dan momentum yang sengaja dibuat hari besar untuk
memperingatinya. Misalnya hari besar Nasional dan semisalnya. Lebih
jauhnya ada beberapa contohnya sebagai berikut:
1.
Hari untuk beribadah kepada tuhannya, seperti hari raya wafat
Jesus Kristus, paskah, Misa, Natal, Tahun Baru Masehi, dan
semisalnya. Seorang muslim terkategori menyerupai mereka dalam dua kondisi:
Pertama,
Ikut serta dalam hari raya tersebut. Walaupun perayaan ini
diselenggarakan kelompok minoritas non-muslim di negeri kaum muslimin,
lalu sebagian kaum muslimin ikut serta di dalamnya sebagaimana yang
pernah terjadi pada masa Ibnu Taimiyah dan Imam Dzahabi. Realitas
semacam ini tersebar di negeri-negeri
kaum muslimin. Lebih buruk lagi,
ada sebagian kaum muslimin yang bepergian ke negeri kafir untuk
menghadiri perayaan tersebut dan ikut berpartisipasi di dalamnya, baik
karena menuruti hawa nafsunya atau untuk memenuhi undangan orang kafir
sebagaimana yang dialami kaum muslimin yang hidup di negeri kafir, para
pejabat pemerintahan, atau para bisnismen yang mendapat undangan rekan
bisnisnya untuk menandatangi kontrak bisnis. Semua ini haram hukumnya
dan ditakutkan menyebabkan kekufuran berdasarkan hadits, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”
Pastinya, orang yang melakukan itu sadar bahwa itu merupakan bagian dari syi’ar agama mereka.
Kedua,
Mengadopsi perayaan orang kafir ke negeri kaum muslimin. Orang yang
menghadiri perayaan orang-orang kafir di negara mereka, lalu dengan
kajahilan dan lemahnya iman, ia kagum dengan perayaan tersebut. kemudian
dia membawa perayaan tersebut ke negara-negara muslim sebagaimana
perayaan tahun baru Masehi. Kondisi ini lebih buruk dari yang pertama,
karena dia tidak hanya ikut merayakan syi’ar agama orang kafir di Negara
mereka, tapi malah membawanya ke negara-negara muslim.
. . .perayaan tahun baru Masehi adalah tradisi dan syi’ar agama orang kafir di Negara mereka, namun telah dibawa dan dilestarikan di negara-negara muslim...
2.
Hari besar yang awanya menjadi syi’ar (simbol) orang-orang kafir,
lalu dengan berjalannya waktu berubah menjadi tradisi dan
perayaan global, seperti olimpiade oleh bangsa Yunani kuno yang
saat ini menjadi ajang olah raga Internasional yang diikuti oleh
semua Negara yang tedaftar dalam Komite Olimpiade Internasional
(IOC). Ikut serta di dalamnya ada dua bentuk:
Pertama,
menghadiri upacara pembukaan dan karnavalnya di negeri kafir seperti
yang banyak di lakukan negara-negara muslim yang mengirimkan
atlit-atlitnya untuk mengikuti berbagai ajang olah raga yang diadakan.
Kedua,
membawa perayaan ini ke negera-negara muslim, seperti sebagian negeri
muslim meminta menjadi tuan rumah dan penyelenggara Olimpiade ini.
Keduanya tidak boleh diadakan dan diselenggarakanaa di Negara-negara muslim dengan beberapa alasan:
a. Olimpiade
ini pada awalnya merupakan hari besar kaum pagan Yunani kuno dan
merupakan hari paling bersejaran bagi mereka, lalu diwarisi oleh kaum
Romawi dan dilestarikan kaum Nasrani.
b. Ajang tersebut memiliki nama yang maknanya sangat dikenal oleh bangsa Yunani sebagai hari ritus mereka.
Keberadaannya
yang menjadi ajang oleh raga tidak lantas merubah statusnya sebagai
hari raya kaum pagan berdasarkan nama dan asal usulnya. Dasar haramnya
perayaan tersebut adalah hadits Tsabit bin Dhahak radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Ada seseorang bernazar di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyembelih unta di Bawwanah –yaitu nama suatu tempat-, ia lalu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata: “Aku bernazar untuk menyembelih unta di Bawwanah.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Apakah di sana ada berhala jahiliyah yang disembah?” Mereka berkata:
“Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah di sana dilakukan perayaan hari
raya mereka?” Mereka berkata: “Tidak.” Beliau bersabda: “Tunaikanlah
nazarmu, sesungguhnya tidak boleh menunaikan nazar yang berupa maksiat
kepada Allah dan yang tidak mampu dilakukan oleh anak Adam.” (HR. Abu
Dawud dan sanadnya sesuai syarat as-Shahihain)
Ditimbang dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
di atas, bahwa asal dari olah raga priodik ini ada hari raya orang
kafir. Dan ini diharamkan sebagaimana diharamkannya menyembelih unta
untuk Allah di tempat yang dijadikan sebagai perayaan hari raya orang
kafir. Dan perbedaan waktu dan tempat tidak mempengaruhi dari subtansi
alasan diharamkannya penyembelihan tersebut.
Ibnu Taimiyah rahimahullaah menjelaskan,
hadits ini mengandung makna bahwa tempat yang digunakan untuk perayaan
hari besar mereka tidak boleh digunakan untuk menyembelih walaupun itu
bentuknya nazar. Sebagaimana tempat tersebut sebagai tempat menaruh
berhala mereka. Bahwa nazar semacam itu menunjukkan pengagungan kepada
tempat tersebut yang diagungkan mereka untuk merayakan hari besarnya
atau sebagai bentuk ikut serta (partisipasi) dalam perayaan hari besar
tersebut. Atau juga untuk menghidupkan syi’ar mereka di sana. Apabila
mengistimewakan satu tempat yang menjadi perayaan agama mereka saja
dilarang, bagaimana dengan perayaan itu sendiri?! (Diringkas dari
al-Iqtidha’: 1/344)
Sedangkan
olimpiade ini bukan hanya waktu atau tempatnya, tapi hari raya itu
sendiri berdasarkan asal penamaanya dan aktifitas yang ada di dalamnya,
seperti menyalakan lampu olimpiade. Padahal itu sebagai lambang hari
besar mereka. Dan ajang olahraga ini juga dilaksanakan pas waktu
perayaan hari besar olimpiade, yang dilaksanakan empat tahun sekali.
3. Menyerupai Orang Kafir Dalam Merayakan Hari Besar Islam
Bentuk
bertasyabbuh dengan orang kafir bisa terjadi juga dalam perayaan hari
raya Islam, Idul Fitri dan Adha. Yaitu merayakan hari raya Islam dengan
cara-cara yang bisa digunakan kaum kuffar dalam merayakan hari besar
mereka.
Bahwa
sesungguhnya, hari raya kaum muslimin dihiasi dengan syukur kepada
Allah Ta’ala, mengagungkan, memuji dan mentaati-Nya. Bergembira
menikmati karunia nikmat dari Allah Ta’ala tanpa menggunakannya untuk
bermaksiat. Ini berbeda dengan hari raya kaum kuffar, dirayakan untuk
mengagungkan syi’ar batil dan berhala-berhala mereka yang disembah
selain Allah Ta’ala. Dalam perayaannya, mereka tenggelam dalam syahwat
yang haram.
Namun
sangat disayangkan banyak kaum muslimin yang di penjuru dunia yang
menyerupai orang kafir dalam kemaksiatan itu. Mereka merubah nuansa Idul
Fitri dan Idul Adha sebagai musim ketaatan dan syukur menjadi musim
bermaksiat dan kufur nikmat, yaitu dengan mengisi malam-malamnya dengan
musik-musik, nyanyir-nyanyi, mabuk-mabukan, pesta yang bercampur
laki-laki dan perempuan dan bentuk pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Semua ini disebabkan mereka meniru cara orang kafir dalam merayakan hari
besar mereka yang diisi dengan menuruti syahwat dan maksiat.
Semoga
Allah membimbing kita kepada kondisi yang lebih diridhai-Nya, tidak
menyimpang dari aturan Islam dan tidak bertasyabbuh dengan kaum kafir
dalam acara-acara mereka. [voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar