III. ALLAH
Jangan berkata tentang Allah
Jangan berkata tentang Allah
Kecuali yang Haq…
ALLAH, TUHANKU DAN TUHANMU
Oleh : Irene handono
menjawab buku islamic Invation (robert morey)
Pada
bab “Jangan berlebih-lebihan” kita telah membahas doktrin trinitas
berdasarkan kronologis pemunculannya berikut koreksi al-Qur’an atas
kesalahan-kesalahan paham tersebut.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang paham trinitas ini, maka akan kami ketengahkan beberapa penjelasan yang
berkembang dalam tradisi Kristen. Pengalaman salah satu penulis buku
ini (Irena Handono) pada saat menjadi suster di Biara, dapat
mernberikan gambaran tentang tradisi Kristen dalam memahami trinitas.
Pada usia anak-anak Irena kecil dididik dilingkungan Kristen
Katolik. Tradisi gereja diterimanya seperti anak-anak Kristen lainnya.
Namun ketika menginjak dewasa -apalagi sebagai biarawati yang selalu
mengkaji masalah keagamaandoktrin Trinitas yang selama ini ia pahami
membuat dirinya kebingungan untuk menalarnya. Kebingungan dalam
memahami doktrin Trinitas dan masalah ketuhanan -yang menjadi dasar
dari sebuah keyakinan keagamaan- mendorongnya untuk mencari sumber lain,
yang akhirnya bertemu al-Qur’an. Karena tidak mengerti cara membuka
kitab suci Al-Qur’an, maka ayat Al-Qur’an yang pertama kali dipelajari
adalah yang letaknya di belakang, yaitu surat A1 Ikhlas. Surat pendek yang mengajarkan masalah ketuhanan dengan sangat jelas dan tegas, tanpa analogi yang bertele-tele. Surat al-Ikhlas inilah yang kelak merubah kehidupannya secara drastis.
Malam hari ia mempelajari surat A1
Ikhlas, pagi harinya ia mendapat kuliah theologi dari salah satu
dosennya yang mengatakan bahwa Tuhan itu satu tetapi pribadinya ada
tiga yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Tuhan Ruh Kudus. Satu Tuhan
didalam tiga, tiga Tuhan di dalam satu, itulah yang disebut Trinitas.
Terhadap pandangan ini ia mengatakan kepada dosennya, bahwa ia belum
paham mengenai hakikat Tuhan seperti itu. Maka si dosen maju ke papan
tulis menggambar segitiga sama sisi. Dosen bertanya: “Segitiga ini ada
berapa?” Irena menjawab: “Satu!” Sisinya ada berapa? “Tiga”, jawab
Irena. Lebih lanjut si dosen menjelaskan bahwa itulah hakikat Tuhan.
Tuhan Bapak sama kuasanya dengan Tuhan Anak dan sama kuasanya dengan
Tuhan Roh Kudus.
Dengan
penjelasan seperti itu, Irena mengutarakan pendapatnya kepada si
dosen: “Kalau demikian Pater, suatu saat nanti kalau dunia ini semakin
maju, iptek semakin canggih, maka Tuhan itu kalau hanya tiga pribadi
tidak cukup, paling tidak harus ada penambahan menjadi empat pribadi.
Jawab dosen: “Tidak bisa!”
“Bisa saja!” sambung Irena, sambil maju ke papan tulis ia menggambar bujur sangkar, segi empat sama sisi.
Kalau tadi gambar segitiga sama sisi disimpulkan bahwa Tuhan itu Pribadinya ada tiga, maka gambar bujur sangkar adalah sah-sah saja kalau dikatakan bahwa Tuhan itu pribadinya ada empat.
Si dosen kaget dan menjawab: “Tidak boleh!”
Mengapa tidak boleh?, Tanya Irena. Segera si dosen menjawab: “Trinitas itu sudah merupakan dogma”. Dogma itu adalah aturan atau hukum yang dibuat oleh para pemimpin gereja.
Tidak puas, Irena bertanya lagi: “Kalau saya masih belum paham dengan dogma itu bagaimana?”
Dengan
tegas si dosen menjawab: “Anda paham atau tidak, terima saja dan telan
saja, jangan dipertanyakan. Jika anda ragu hukumnya dosa.”
Meskipun ia sudah diancam dengan dosa, namun pada malam harinya ada dorongan yang sangat kuat pada dirinya untuk kembali mempelajari surat Al Ikhlas. ALLAHU AHAD! Suara hatinya mengatakan: “ini yang benar”.
Hari-hari berikutnya Irena selalu bertanya kepada para dosen yang lain. la mengawali pertanyaan dengan menggunakan bahasa perumpamaan, antara lain: “Pater, siapakah yang membuat meja dan kursi? “Dosennya tidak mau menjawab, justru Irena diperintahkan menjawab pertanyaannya sendiri. la
pun segera menjawab:”Yang membuat meja dan kursi ialah tukang kayu.”
Dosen nya balik bertanya: `Apa maksud anda dengan pertanyaan seperti
itu?”, jawab Irena: “Meja dan kursi itu, meskipun dibuatnya satu tahun
yang lalu, sampai seratus: tahun kemudian bahkan sampai hari kiamat,
meja dan kursi tetap sebagai meja dan kursi, tidak ada satupun meja
kursi yang mampu mengubah dirinya menjadi tukang kayu, dan tukang kayu
tidak boleh dipersamakan dengan meja kursi. Demikian pula bahwa Allah
menciptakan alam semesta berikut segenap isinya termasuk manusia;
meskipun manusia itu dilahirkan satu tahun yang lalu, sampai seratus
tahun kemudian bahkan sampa hari kiamat, manusia akan tetap manusia,
tidak ada seorangpun manusia yang mampu mengubah dirinya menjadi Tuhan,
dan Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan manusia.
Pada hari-hari yang
lain Irena bertanya lagi kepada dosen Yang lain: “Pater, siapakah yang
melantik Walikota?”, Dosen balik bertanya: “Seorang suster tidak tahu
siapa yang melantik Walikota?”, Ia jawab: “Sebenarnya saya tahu Pater;
bahwa yang melantik Walikota itu pasti echelon di atasnya yaitu
Gubernur.” Dosen lantas menanyakan: “Mengapa anda bertanya seperti
itu?”, Ia jawab: “Kalau ada Walikota dilantik oleh Camat, maka
pelantikan itu tidak sah. Demikian pula bahwa manusia itu kedudukannya
adalah sebagai hamba Tuhan, maka kalau ada manusia melantik sesama
manusia menjadi Tuhan, maka pelantikan itu tidak sah selamanya.”
Dengan berbagai dialog
yang dilakukan itu, ia mendapat predikat sebagai seorang biarawati
yang kritis. Sampai pada klimaksnya, ia berdialog dengan dosen sejarah gereja. la
bertanya: “Pater, menurut literatur yang saya baca dan kuliah yang
saya terima, Yesus itu baru dilantik dan mendapat sebutan Tuhan,
terjadinya pada tahun 325 Masehi. Yang menobatkan Yesus sebagai Tuhan
ialah Kaisar Romawi yang bernama Constantin. Dilakukan dalam rangka
konsili di kota Nicea. Benarkah demikian? Jawab si dosen: “Ya, benar. Mengapa?”
Maka ia katakan: “Kalau demikian Pater, menurut kesimpulan saya, Yesus itu bukanlah Tuhan melainkan manusia yang
dipertuhankan oleh manusia dan penuhanan itu tidak sah selamanya”.
Iman Kristianinya menjadi goyang total, selanjutnya dia mendapatkan
keyakinan baru yang teguh dan bulat bahwa Islam adalah satu-satunya
agama tauhid dan satu-satunya agama yang hak.
Selain permisalan “segi tiga” analogi yang
lain adalah “telur”, yang terdiri dari kulit, putih dan kuning telur
ketiganya tidak bisa dipisahkan. Dan layaknya sebuah telur
pemanfaatannya pun tergantung kebutuhan, kadang kulitnya saja, atau
kuning saja. Maka walaupun sebelumnya berwujud satu, jika kemudian
dipahami secara parsial tetap saja bukan satu.
Analogi lainnya adalah “matahari”, yang
memiliki sinar, panas dan bulatannya itu sendiri. Mataharipun akan
dimanfaatkan secara parsial, dalam gelap orang sering mengambil
sinarnya, atau menolak panasnya karena takut kulitnya hitam. Analogi
matahari ini malah lebih mirip dengan kepercayaan masyarakat Mesir
Kuno, yang sebelumnya hanya mempercayai matahari, dan kemudian
berkembang menjadi tiga kekuatan ketika mereka menafsirkan, bahwa dewa
matahari pada pagi hari berbentuk anak kecil (Khabire), siang hari
menjadi dewasa (Re), dan malam hari berwujud seorang tua (Atom); namun
ketiganya adalah satu yaitu dewa matahari yang naik kapal solar
(matahari) berlayar di angkasa dari timur hingga ke barat13.
Namun demikian kita tidak lantas buru-buru mengatakan bahwa mereka
menyembah dewa Matahari -seperti pola pikir Dr. Robert Morey-, hanya
saja pandangan yang parsial terhadap eksistensi Tuhan tidak jauh
berbeda dengan pandangan masyarakat Mesir kuno yang belum mampu menalar
wujud Penguasa Tunggal alam semesta.
Penjelasan yang
lebih argumentatif datang dari Thomas Aquinas yang mendasarkan pada
pandangan Yesus sebagai firman Tuhan. Menurut pandangannya bahwa dua
oknum -selain Allah- adalah “Yang keluar” dari Allah, ia tamsilkan
sebagaimana produk yang keluar dari akal. Ia umpamakan: Roh kudus
keluar dari Tuhan Bapa, seperti keluarnya obyek pemikiran dari akal,
tanpa memisahkan antara yang keluar dengan sumbernya. Atau seperti
keluarnya kalimat dari manusia.14
Pandangan ini tetap saja parsial dan tidak lepas dari bantuan “permisalan”, sebab apa “yang keluar” adalah wujud lain yang keluar dari kekuasaanNya. Dan pandangan ini bertentangan dengan keterangan Bible sendiri yang menyatakan bahwa Allah adalah yang Awal dan yang Akhir, maka yang keluar adalah bukan yang awal.
Ketika aku melihat Dia, tersungkurlah aku di depan kakiNya sama seperti orang yang
mati; tetapi la rneletakkan tangan kanan-Nya di atasku, lalu berkata:
‘Jangan takut! Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir, (Wahyu 1:17)
Penggunaan logika yang
benar dapat mengantar manusia mengenal penciptanya, yaitu dengan
merenungi ciptaanNya serta tanda-tanda kekuasaannya. Hal ini akan lebih
lengkap jika dibarengi dengan kalbu yang tidak pernah membohongi
pemiliknya. Kedua anugrah dari pencipta tersebut dilengkapi dengan
panduan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan logika umat manusia.
Itulah makanya penjelasan dalam kitab suci samawi selalu bertambah,
dari yang paling awal hingga yang paling terakhir. Ibarat sebuah
software maka setiap edisi akan lebih baik hingga pada edisi sempurna.
Namun demikian pesan utama selalu sama, walaupun umat yang menerima
petunjuk tersebut tidak mau atau memang tidak memahami pesan dari kitab
suci tersebut. Pesan tauhid selalu nomor satu dalam semua kitab
samawi, dari Shuhuf Ibrahim, Taurat, Zabur/Mazmur, Injil hingga
Al-Qur’an. Sekuat apapun manusia menutupi kebenaran dan membelokkan
ajaran tersebut, sunnatullah berkata lain, kebenaran itu akan terkuak
walaupun masih ada yang tetap tidak mau menerima kebenaran itu. Ajaran
Ibrahim As (2000-1900 SM) hingga Musa As (1400 SM) yang sempat punah,
ditulis kembali Oleh Ezra (Uzair) pada 536-456 SM. yang masuk dalam
Perjanjian Lama sebagai “The book of Ezra”15. Ajaran
Ezra yang dibelokkan oleh bani Israel diperbarui dan digenapi oleh
Injil yang diturunkan kepada Isa As (abad I M), saat ajaran Injil
dibelokkan lagi Al-Qur’an diturunkan dan tidak berubah hingga akhir
zaman. Dan ketika pelurusan al-Qur’an tidak diterima oleh para ahli
kitab, Allah mengingatkan ahli kitab dengan dua peristiwa besar, yaitu
penemuan Naskah Laut Mati yang lebih banyak menyinggung kitab Perjanjian
lama (Taurat) serta kajian sarjana Bible yang objektif dalam
meluruskan ajaran Injil (Gospel/Perjanjian Baru). Umat Yahudi yang suka
sekali bermain-main dengan sejarah untuk kepentingan semangat
nasionalisme diperingati dengan penemuan naskah Qumran, dan
umat Kristen yang suka mengunggulkan rasionalisme diperingati dengan
kajian yang objektif dan rasional, masihkan mereka belum percaya? Jika
umat muslim ikut-ikutan meninggalkan al-Qur’an entah peringatan apa
yang akan mereka terima…?
Upaya
membelokkan pengESAan menjadi paham Trinitas dalam tradisi Gereja,
sebenarnya sangat bertentangan dengan kitab suci yang menjadi panduan
gereja itu sendiri. Namun kepercayaan yang sudah mengendap ± 20 abad
lamanya ini agaknya menjadi penghalang yang paling besar untuk
menghargai nalar yang pada sisi lain sangat diunggulkan, aneh memang.
Bibel menyatakan dengan tegas:
Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? firman Yang Mahakudus. (Yesaya 40: 25).
Sama tegasnya dengan pernyataan al-Qur’an:
Tidak ada satupun yang menyerupaiNya. (as Syura: 11)
Dengan pernyataan Bible
di atas, maka sebenarnya ajaran tentang pribadi dan roh, hanyalah
bualan semata. Tapi karena kepercayaan berkata lain, sebagian kelompok
Kristen tidak menerima ayat ini, karena ayat ini terdapat di dalam
kitab perjanjian lama yang mereka tolak, walaupun pada sisi lain para
penolak perjanjian lama menggunakan beberapa ayatnya untuk melegalisir
beberapa kepercayaannya.
Dengan tidak mengakui perjanjian lama
maka upaya legalisasi dicarikan dari perjanjian baru walaupun dengan
menafsirkan sesuka hati, atau kalau perlu menambah dan mengurangi ayat,
agar sesuai dengan paham trinitas. Salah satu ayat yang dijadikan
alasan untuk doktrin ketuhanan Yesus yang pada gilirannya akan dapat
memperkuat paham trinitas, yaitu pada Yohanes 1:1, yang berbunyi:
“Pada mulanya adalah firman; firman itu bersama-sama dengan Allah dan firman itu adalah Allah. “
Keberadaan ayat ini memang sangat janggal, karena banyak ayat Bible yang menyebutkan bahwa tuhan itu Esa/Satu, Sedang ayat di atas menunjuk adanya `dua’ sebab dikatakan firman itu bersama-sama dengan Allah. Kejanggalan bukan pada kalimat ini, tapi pada kalimat lanjutannya yang berbunyi: .. dan firman itu adalah Allah.
Artinya setelah menyatakan bahwa terdapat `dua’ yang bersama-sama,
kemudian dikatakan keduanya adalah satu, dengan kekuasaan yang sama,
sebab disebut tuhan.
Abu Mahmoud Muhajir dalam bukunya “All Church’s Doctrines Contradicts The Bible?’, mencoba mencermati ayat ini. Bahwa jika diperhatikan ayat-ayat lain yang menggunakan gaya bahasa yang sama dengan ayat ini, maka akan didapatkan satu ayat yang mirip yaitu pada I Korintus 3:23 yang berbunyi:
Tetapi kamu adalah milik kristus dan kristus adalah milik Allah.
Jika mengacu pada gaya bahasa ini, maka penulisan Yohanes 1:1 mestinya …dan Firman adalah milik Allah.
Dalam bahasa Indonesia mungkin hal ini terlihat agak berlebihan sebab
harus menambah satu kata, namun dalam bahasa Inggris dan Latin
perbedaannya sangat tipis yaitu satu huruf, yang menandakan kepemilikan.
Dalam edisi bahasa Inggris, Yohanes 1:1 ditulis…and the words was God, mestinya.. . was God’s
(milik Tuhan) ada huruf “s” setelah kata God. Penulisan seperti ini
akan lebih jelas dalam bahasa Yunani yang merupakan bahasa kedua
setelah bahasa aslinya yaitu Aramaik. Dalam bahasa Yunani kata Theos artinya Tuhan, tetapi Theou artinya milik Tuhan. Perbedaannya sangat kecil, satu huruf, tapi resikonya sangat besar.16
Al-Qur’an juga menyinggung soal firman (kalam) namun dalam pengertian yang
sangat berbeda, dengan pemahaman gereja yang sering memakai ayat
al-Qur’an sebagai legalitas pemahaman ketuhanan Yesus, karena ayat ini
justru meluruskan pemahaman tentang firman.
Ayat Ali Imran 45.
(Ingatlah) ketika malaikat berkata: Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberi
kabargembira kepada engkau dengan kalimat dari pada-Nya, namanya Almasih “Isa anak Maryam, yang mempunyai kebesaran di dunia dan akhirat dan termasuk orang-orang yang dekat (kepada Allah).
Kalimat yang dimaksud adalah seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam surat yang sama pada ayat sebelumnya yaitu Ali Imran 47, yaitu:
Ayat….
Maryam berkata: Wahai Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai
anak, padahal aku belurn pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun.
Allah berfirman: “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikendaki-Nya.
Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup
berkata kepadanya: “Jadilah “, lalu jadilah.
Dengan pengertian bahwa firman adalah perkataan Allah untuk mewujudkan kehendakNya, maka kata milik atau
dari tidak bisa dihilangkan. Hal ini sekaligus merupakan jawaban atas
ketidak mampuan manusia untuk menalar adanya seorang manusia yang lahir
tanpa pertemuan antara ovum dan sperma, bahwa jika Allah berkehendak
maka cukup berfirman “Kun/jadilah”
maka jadilah apa yang dikehendakiNya, termasuk penciptaan Adam dan
Yesus, karena keduanya terwujud dengan proses yang berbeda dari manusia
biasanya. Namun jika “ciptaan” itu kemudian dianggap sekaligus sebagai
“tindakan” (dari Allah berupa firman: Kun),
apalagi kemudian “tindakan” tersebut dianggap sebagai Pelaku mekanisme
itu sendiri, maka akan berapa banyak yang dipertuhankan oleh manusia.
Sebab alam semesta inipun terjadi atas kehendak Allah dengan proses KUN
(jadilah).
Dalam surat al-A’raf :172 telah diinformasikan bahwa manusia telah berikrar kepada Allah sebelum ia dilahirkan, sebagaimana firman-Nya: Alastu birabbikum (bukankah aku ini Tuhanmu)? Tanya Allah kepada manusia sebelum ia dilahirkan. Kemudian dengan tegas dijawab: “Bala Syahidna (Betul,
kami bersaksi bahwa engkau adalah Tuhan kami). Dari sini kita ketahui
bahwa manusia yang lahir telah dibekali tauhid kepada Allah Sang
Pencipta.
Setelah lahir keadaan di sekitar sang
bayi yang kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap akidah sang anak
adalah: secara umum lingkungan sang anak, dan orangtua bayi khususnya;
sebagaimana sabda Rasulullah:
“Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua arang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. “
Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata
wahhada ( ) yuwahhidu ( ), Secara etimologis, tauhid berarti peng-esa-an. Maksudnya, iktikad atau keyakinan bahwa Allah
SWT adalah Esa/Tunggal/Satu. Pengertian inl sejalan dengan pengertian
dalam bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah”; mentauhidkan berarti
mengakui ke-esaan Allah; meng-esakan Allah”. Kata tauhid tidak
tercantum dalam al-Quran kecuali dalam hadits, yaitu pada saat
Rasulullah mengirim Mu’adz ibn Jabal sebagai Gubernur di Yaman.
Inti dari ajaran tauhid adalah keyakinan bahwa Allah
SWT adalah Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Selain Allah. Penegasan akan
keEsaan Allah banyak sekali dinyatakan dalam Al Quran, hal ini menepis
tuduhan Dr. Robert Morey bahwa Al Quran tidak pernah menguraikan makna
atas kata-kata seperti “Allah”. Ayat tersebut antara lain:
1. Surat al Ikhlas : 1-4 :
“Katakanlah, “Dialah Allah,
Yang Maha Esa”. Allah adalah Tuhan yang betgantung kepada-Nya segala
sesuatu. Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tak ada seorang pun
yang setara dengan-Nya.
2. Surat az Zumar : 4
“Maha suci Tuhan, Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”
3. Surat an-Nisa’ 171, Surat al Maidah 73, Surat al-Ambiya : 22,
dan beberapa ayat yang lain, baik secara eksplisit maupun implisit
menyebutkan bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak ada
Tuhan selain Dia.
Keesaan Allah SWT tidak hanya kesaan pada zat-Nya, tapi Juga esa pada sifat dan af’al (perbuatan)
-Nya. Yang dimaksud dengan esa pada zat ialah Zat Allah itu tidak
tersusun dari beberapa bagian. Tidak ada sekutu bagiNya dalam
memerintah. Esa pada sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan
sifat-sifat Yang lain dan tak seorangpun yang mempunyai sifat
sebagaimana sifat Allah SWT Esa pada af’al (perbuatan) berarti tidak
ada seorangpun memiliki perbuatan sebagaimana Perbuatan Allah. la Maha Esa clan menyendiri dalam hal menciptakan, membuat, mewujudkan, dan membentuk sesuatu.17
Tuhan
yang tunggal ini bukanlah suatu wujud seperti diri kita, yang dapat
kita indera namun terkadang tidak kita pahami eksistensinya. Dan Allah
telah berkehendak untuk membuat dirinya diketahui. Di dalam sebuah
hadis qudsi, Allah berfirman kepada Muhammad: “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi; Aku ingin dikenal. Kemudlan Aku ciptakan alam agar Aku bisa dikenal. Dengan
merenungkan tanda-tanda (ayat) alam dan ayat-ayat Al Quran, kaum
Muslim dapat memperoleh kilasan aspek keilahian yang telah dituangkan
di alam semesta.
Seperti
kedua agama yang lebih tua, Islam menekankan bahwa kita hanya bisa
melihat Tuhan melalui aktivitasnya, yang menyesuaikan wujudnya yang tak
terlukiskan itu dengan pemahaman kita yang terbatas. Al Quran
memerintahkan kaum Muslim untuk menanamkan kesadaran yang tak terputus
tentang Zat Tuhan yang melingkupi mereka dari semua sisi: Ke manapun
engkau berpaling, maka disanalah Allah.18
Al Quran memandang Tuhan sebagai yang Mutlak, pemilik eksistensi
sejati: Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Tuhanmu
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Di
Dalam Al Quran, juga disebutkan sembilan puluh sembilan nama atau
sifat Tuhan. Ini menekankan bahwa Dia “lebih besar”, sumber dari semua
kualitas positif yang kita jumpai di alam semesta. Dengan demilcian,
dunia menjadi ada hanya karena Dia yang adalah Al Ghani (kaya dan tak terbatas); memberi kehidupan (al Muhyi); mengetahui segala sesuatu (al Alim), berbicara (al Kalim); tanpa
Dia, takkan ada kehidupan, pengetahuan, atau kata-kata. Ini merupakan
penegasan bahwa hanya Allah yang memiliki eksistensi yang sejati dan
nilai positif. Nama-nama Tuhan memainkan peran sentral dalam
peribadatan Muslim: nama-nama itu dibaca, dihitung pada bulir-bulir
tasbih, dan diucapkan untuk mempertajam kemampuan lain -selain logika-
berupa mata hati yang sanggup mengenalkan manusia kepada penciptaNya.
Semua ini mengingatkan kaum Muslim bahwa Tuhan yang mereka sembah tidak
bisa dicakup oleh kategori-kategori manusia dan mengelak dari definisi
yang sederhana.
Rukun
Islam yang pertama adalah syahadat, pengakuan keimanan seorang Muslim;
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad
utusan Allah.” Ini bukan sekedar penegasan atas eksistensi Tuhan tetapi
sebuah pengakuan bahwa Allah merupakan satu-satunya realitas sejati,
satu-satunya bentuk eksistensi sejati. Dia adalah satu-satunya
realitas, keindahan, atau kesempurnaan sejati. Mengucapkan penegasan ini
menuntut kaum Muslim untuk mengintegrasikan kehidupan mereka dengan
menjadikan Allah segagai fokus dan prioritas tunggal mereka. Penegasan
tentang keesaan Allah bukan sekedar penyangkalan atas kelayakan
dewa-dewa, seperti “dewa bulan” untuk disembah.
NOTES
13. Mu’jam al-Hadlarah al-Mashriyah al-Qadimah, Op.cit., hal. 170-171.
14. Abas Mahmud al-Aqad, Allah, Op. cit., hal. 119.
15. The World University Encyclopedia, Publishers Company, Ync., Washington D.C., Th. 1963, Vol. 4, hal. 1824.
16.
Abu Mahmoud Muhajir, All Church’s Doctrines Contradicts The Bible,
terjemah: Masyhud SM, “Doktrin Gereja Kontra Bibel”, Pustaka Da’I, Cet.
I, 2002, hal. 73-74.
17. Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, dalam Yusron Asmuni, Ilmu Tauhid, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal 17.
18. Q.S. 2:177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar