IV. SYARI’AT ISLAMKalian tiada berarti sebelum
menjalankan Taurat dan Injil…
DUNIAWI DAN ROHANI
oleh :Irene handono
Pada
dasarnya manusia memiliki perjanjian dengan penciptanya di alam
praeksistensi -seperti yang telah kita bahas dalam bab tauhid-, setelah
dilahirkan penjagaan fitrah manusia tersebut kadang terdistorsi oleh
lingkungan yang membuatnya lupa akan Penciptanya. Oleh sebab itu Rasul
pembawa risalah memiliki kewajiban untuk mengembalikan manusia kepada
fitrahnya. Kewajiban pertama adalah mengajarkan tauhid, dan kedua yaitu
memperbaiki keadaan umat agar tidak lalai; dalam hubungan vertikal
antara manusia dan Penciptanya diajarkan dalam bentuk ibadah vertikal (ibadah mahdlah), dan perbaikan secara horizontal antar manusia secara individu maupun kelompok melalui ibadah horizontal (mu’amalah bi husnil khuluq) .
Kesaksian
manusia pada masa praeksistensi, tetap dituntut pada masa eksistensi,
yaitu pentauhidan Allah, yang dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah
syahadah (kesaksian). Syahadah adalah modal awal bagi manusia untuk
bisa mengenal Penciptanya, untuk kemudian diperkuat dengan Ibadah
vertikal atau horizontal. Allah tidak membutuhkan ibadah manusia,
justru sebaliknya manusia sangat membutuhkan ibadah, sebagai sarana
untuk bertemu dengan penciptanya, dalam batas-batas tertentu sesuai
kemampuan masing-masing individu. Sebab syahadah (kesaksian) harus
dibuktikan dengan tindakan yang
menunjukkan ketaatan dan kepasrahan terhadap sang Khaliq, dan bukti
ketaatan itulah yang menjadikan manusia sedapat mungkin mendekat kepada
Penciptanya. Lain dari pada itu, ibadah merupakan sarana peningkatan
energi sepiritual, yang dengannya seseorang dapat membuka mata hatinya.
Mata hatilah yang mampu membawa manusia untuk bertemu dengan Pencipta,
sebagaimana yang dialami para nabi dan orang-orang saleh yang
dikehendaki oleh Allah Swt. Rasulullah dalam haditsnya mengajarkan agar
kita menyembah Allah seakan kita melihatNya, namun jika kita tidak
mampu melihatNya maka sebenarnya Dia melihat kita.1
Dalam ibadah vertikal, bentuk peribadatan yang
diajarkan oleh Allah kepada para nabi dan rasulnya sebenarnya tidak
jauh berbeda; dalam ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa dikenal ada shalat
(arti shalat menurut etimologi adalah berdo’a) dan puasa, seperti yang
akan kita bahas nanti.
Kesamaan bentuk ibadah dikalangan nabi-nabi seperri Musa, Isa dan
Muhammad bukanlah suatu kebetulan atau sekedar tradisi Semit, namun
lebih merupakan kesatuan risalah ilahi yang dibawa oleh para nabi pada
setiap masa hingga masa nabi Muhammad. Jika dikemudian hari cara
peribadatan itu ada yang berubah atau malah hilang, maka yang perlu
dipertanyakan adalah umat itu sendiri, sebab para nabi telah
menyampaikan risalah yang dibawanya.
Dalam hubungan antar manusia, para nabi mengajarkan pentingnya moral,
individu dan kelompok. Secara individu mereka mengajarkan agar manusia
bersikap mengasihi dan berbuat adil terhadap diri sendiri clan orang
lain. Nabi Musa yang menerima 10 perintah Allah, selain masalah tauhid
yang merupakan pokok pertama, juga menyebutkan ajaran-ajarau sosial.
Dalam Injil, tentang perintah utama -setelah yang pertama, masalah
pengesaan Allah-, disebutkan: :
“Perintah yang kedua ialah : Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Markus 12: 31).
Dan Rasulullah mengajarkan :
Dari Abdullah bin
Amru: Rasulullah Saw. bersabda: “Orang yang mengasihi akan dikasihi
oleh yang Maha Pengasih. Kasihilah siapapun yang di atas bumi, maka
engkau akan dikasihi yang ada dilangit…. ” (HR. Tirmidzi).2
Mengasihi
diri sendiri dengan tetap memperhatikan tubuh kasar untuk mendapatkan
hak-haknya, berbuat adil terhadap diri sendiri dengan menuntut diri agar
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab yang dipikulnya. Mengasihi
orang lain dengan segala perbuatan yang mendatangkan manfaat, berbuat
adil kepada orang lain dengan tidak melanggar hak-hak orang lain.
Ajaran untuk peduli sesama dalam Islam di wakili dalam salah satu
rukunnya yaitu zakat, setelah sebelumnya dilatih untuk menumbuhkan
empati melalui puasa -menahan lapar dan haus seperti yang dialami
mereka para fakir miskin-. Mengeluarkan harta benda untuk diberikan
pada mereka yang berhak dan tentunya tanpa keinginan mendapat ganti
dari manusia, merupakan simbol utama dari kepedulian terhadap sesama,
sebab kecintaan manusia terhadap harta kadang melebihi kecintaan
terhadap seseorang yang dekat sekalipun. Apalagi masyarakat modern yang
sering menganggap segala sesuatu berdasarkan nilai uang, mengeluarkan
harta seringkali dengan harapan imbalan, minimal promosi.
Selain ajaran untuk mengasihi sesama, prinsip keadilan luga ditekankan agar tidak ada individu yang terdzalimi oleh individu lain.
Dalam Taurat disebutkan :
Maka
jangan kamu sayang akan dia, melainkan jiwa akan ganti jiwa, dan mata
akan ganti mata, dan gigi akan ganti gigi, dan tangan akanganti tangan,
dan kaki akanganti kaki adanya. (Ulangan 19:21)3
Dalam Injil, nabi Isa menyebutkan seperti hukum Taurat
Kamu sudah mendengar perkataan demikian: Mata ganti mata, dan gigi ganti gigi; (Matius S: 38).
Hal ini ditegaskan lagi oleh al-Qur’an:
Dan
Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada
kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan ( hak kisas) nya, maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim. (Al-Maidah 45).
Ayat Qishas dalam ketiga kitab samawi ini mencerminkan prinsip keadilan yang
paling mendasar; pelanggaran atas hak orang lain yang jika ringan maka
diganjar ringan tapi jika berat maka harus diganjar berat. Jika
terbalik maka ketidak-adilan akan merebak, mereka yang berkuasa akan
sewenang-wenang dan hukum dapat dibeli, palu kedzaliman bisa diketok di
meja pengadilan dengan senyum manis, ketidak percayaan masyarakat
terhadap aparat hukum menjadikan mereka bisa lebih kejam dari yang
dibayangkan -akibat mencuri seseorang bisa dibakar-, yang tersisa hanya
hukum rimba. Jika itu yang terjadi, maka fitrah manusia menjadi
tumpul, hingga mengeras melebihi batu, dan agama hanya dijadikan ritual
tahunan saja untuk menjaga gengsi clan populeritas, bagaimana mungkin
dapat mencapai kedekatan dengan Penciptanya?
Moralitas individu dan sosial, selain demi kenyamanan hidup manusia, merupakan sarana pembersihan jiwa agar
fitra manusia tidak terkikis oleh hiruk-pikuk keduniaan, seperti halny
ibadah vertikal. Maka tidak heran jika Rasulullah mengajarkan bahwa
memotong kuku termasuk fitrah4, dan memungut pak dan sejenisnya dari jalanan adalah sebagian dari iman, seper dalam hadits berikut ini:
Dari Abu
Hurairah mengatakan, bersabda Rasulullah Saw.: “Iman itu ada tujuh
puluh lebih atau enam puluh lebih macamnya, yang paling baik adalah
mengatakan tiada ilah selain Allah, dan yang terendah adalah rnernungut
adza (halhal yang rnembahayakan pejalan) dari jalan; dan malu adalah
bagian dari pada iman”. (HR. Muslim) 5
Penyebutan angka tujuh puluh dan enam puluh lebil adalah gaya bahasa hiperbol yang
sering dipakai oleh bahasa Arab (Semit) untuk menyatakan banyaknya
sesuatu. Dari hadit di atas kita mendapat gambaran bahwa keimanan
kepada Allah dijabarkan dalam ibadah vertikal seperti syahadat, serta
ibadal horizontal dengan menyempurnakan moral seperti memungut paku
(dan sejenisnya) dari jalanan. Seperti halnya shalat dan puasa, maka
berbuat baik pada diri sendiri clan orang lain adalal untuk menjaga
fitrah manusia. Dan fitrah adalah universal merupakan anugrah Allah
kepada makhluqnya, hanya saja manusia kadang tertutup fitrahnya oleh
hawa nafsunya sendiri tidakkah kita melihat, jika ada seseorang
tertimpa musibah – misalnya- kita akan merasa iba dan ingin menolong,
namui perasaan itu bisa terkubur ketika nafsu mengatakan bahwa dia
adalah “orang lain” dan mungkin berubah 180% menjadi sikap nyukurin
ketika hawa nafsu mengatakan ia adalah “musuh” Maka dari itu perang
terhadap hawa nafsu yang dihembuskan oleh Setan menjadi jihad terbesar
dalam ajaran Islam.
Hal yang sama telah disampaikan oleh Nabi Isa dalan nasehatnya kepada murid-muridnya, ia mengatakan :
“Berjaga jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam percobaan; roh memang berniat baik, tetapi tabiat manusia lemah.” (Markus l4: 38).
Roh manusia menurut al-Qur’an dibekali dengan fitrah ilahiah6
maka cenderung lurus, namun tabiat manusia seringkali kalah menahan
godaan setan, hingga hawa nafsu menguasi dirinya dan fitrahnya menjadi
redup. Itulah sebabnya baik Nabi Muhammad maupun para nabi sebelumnya,
mengajarkan disiplin diri dalam ritual
peribadatan seperti shalat dan puasa, juga budi pekerti dan menjaga
diri dari perbuatan tercela yang dapat mengotori fitrahnya.
Dari seluruh ibadah vertikal dan horizontal, pemungkasnya adalah mengunjungi bait Allah, dalam ajaran Islam disebut haji, yang dilakukan di Makkah dalam waktu
tertentu. Pembahasan tentang masing-masing ibadah di atas akan kami lengkapi pada bahasan tersendiri.
Apa yang
diajarkan oleh para nabi dan rasul serta kitabkitab yang diturunkan
kepada masing-masing rasul, pada hakekatnya sama, hanya saja umatnya
yang menyikapi berbeda.
Oleh sebab itu maka Allah
memperingatkan agar hukum yang pernah diturunkan kepada masing-masing
umat untuk dijaga dan ditegakkan. Dalam Al-Qur’an Allah menegur mereka
yang telah diberi kitab:
|
Katakanlah:
“Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu
menegakkan ajaranajaran Taurat, Injil dan al-Qur’an yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”. Sesungguhnya apa yang diturunkan
kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan
kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih
hati terhadap orang-orang yang kafir itu.
Teguran Allah
melalui nabi terakhirnya bukanlah tanpa alasan, kita saat ini dapat
melihat apakah shalat, dan puasa dijalankan di dua agama samawi sebelum
Islam? Kalaupun sebagian mereka menjalankan -khususnya puasa-, namun
tata cara yang ada di dalam bibel hanya bersifat global, seperti wudlu’
misalnya, dalam perjanjian lama hanya disebutkan membasuh tangan dan
kaki sebelum memulai peribadatan, demikian juga dengan shalat dan
puasa; semuanya bersifat global tidak tidak ada rinciannya.
Apalagi pada masa sekarang, ketika panggung agama Yahudi dan Kristen
beralih ke Amerika dan Eropa, sisi ibadah vertikal yang begitu sakral
sudah berubah, apalagi ibadah horizontal. Pesan-pesan agama tentang
aturan hidup sudah dianggap kuno, maka ajaran kitab suci kadang
terpaksa diganti (lihat bahasan tentang kitab suci). Kemegahan duniawi
yang dicapai oleh kiblat kedua agama di atas tidak disertai dengan
kemajuan spiritual, yang membuat masyarakat keduanya menjadi kering dan
bimbang, tanpa tujuan hidup yang berarti, maka tidak mengherankan jika
tolak ukur keberhasilan adalah materi. Kekeringan ruhani yang menjurus
kepada kehidupan tanpa aturan, akan lebih terlihat dalam jawaban atas
hujatan buku Islamic Invasion pada kajian berikut :
NOTES
1. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Daar al-Fikr-Beirut, 1994, Vol. I, hal, 23.
2.
Menurut Abu Isa hadits ini hasan-shahih. Jami’ at Tirmidzi, Imam
Tirmidzi, kitab al-birri wa ash-shilah, bab maa jaa’a fi rahmat
an-naas.
3. Lihat juga: Keluaran 21: 23-25, Imamat 24: 19-21.
4.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. bersabda: “Fitrah itu ada lima (atau
lima macam dari fitrah): Khitan, bercukur, memotong kuku, mencabut
(bulu) ketiak, dan memotong kumis”. Diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Daar al-Fikr, Beirut, 1992, vol. l, hal. 135.
5. Al Bukhari, Op. cit., I/42.
6.
Robert Morey, Robert Morey, The Islamic Invasion – confronting the
World’s Fastest Growing Relegion, Scholars Press, Las Vegas, 1991′
ha1183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar