II. ARABIA PRA ISLAMAjaran Ibrahim Adalah Agama yang Lurus dan Kepasrahan…
MILLATU IBRAHIM DITANAH ARAB
Oleh : Irene handono
menjawab buku Islamic Invation (robert morey)
Kehidupan Kesukuan
Kebanyakan penduduk Arab
pada saat itu merupakan angota suku yang hidupnya mengembara, meskipun
ada juga suku-suku yang hidupnya menetap di satu tempat atau kota kecil, seperti Makkah. Mereka menjalani kehidupan dengan mengandalkan unta dan
ternak yang lainnya. Karena itu, kehidupan suku-suku ini ditentukan
oleh kondisi geografis. Di banyak daerah hujan sangat jarang terjadi.
Setelah musim penghujan di beberapa daerah akan muncul tumbuhan selama
beberapa minggu dan ke daerah itulah suku-suku pengembara bergerak,
tetapi ketika tumbuhan sudah kering mereka harus ke areal di mana
terdapat sumur dan tampungan air. Setiap suku membutuhkan daerah yang
lebih luas daripada yang bisa mereka pergunakan dalam satu waktu. Oleh
karenanya, terdapat suatu pemahaman tentang adanya hak sebuah suku
terhadap satu padang rumput, dan
sebuah suku yang kuat akan tetap mempertahankan haknya dengan
kekuasaan. Ketika sebuah suku sudah terlalu lemah untuk mempertahankan
haknya, suku tersebut dapat menarik suku lain yang kuat untuk mendukung dan melindungi, hubungan ini merupakan sesuatu yang lazim.
Selama berabad-abad, suku Badui di kawasan Hijaz dan Nejed telah hidup dalam persaingan tajam satu sama lain
demi memperebutkan kebutuhan-kebutuhan pokok. Untuk membantu
masyarakat menanamkan semangat komunal yang esensial bagi pertahanan
hidup, orang Arab telah mengembangkan sebuah ideologi yang disebut
Muru’ah, suatu konsep etik yang banyak mengandung fungsi agama. Dalam
pengertian konvensional, orang Arab hanya memiliki sedikit waktu bagi
agama. Mereka mempunyai sekumpulan dewa-dewa pagan dan beribadat di
tempat-tempat suci ini bagi kehidupan ruhani. Mereka tak memiliki
pandangan tentang kehidupan sesudah mati, tetapi percaya bahwa dahr,
yang dapat diterjemahkan sebagai “waktu” dan “nasib”, sangatlah penting
-sebuah sikap yang barangkali esensial dalam masyarakat yang angka
kematiannya begitu tinggi.
Muru’ah sering diterjemahkan sebagai “kejantanan”, namun kata itu memiliki cakupan pengertian yang
jauh lebih luas: Muru’ah bisa berarti keberanian dalam peperangan,
kesabaran dan ketabahan dalam penderitaan, dan kesetiaan mutlak kepada
suku.11
Nilai-nilai muru’ah menuntut seorang Arab untuk mematuhi sayyid atau
pemimpinnya setiap saat, tanpa peduli keselamatan dirinya sendiri: dia
harus mendedikasikan diri kepada tugas-tugas mulia melawan semua
kejahatan yang dilakukan terhadap suku dan melindungi
anggota-anggotanya yang lemah. Untuk menjamin kelangsungan hidup suku,
sayyid membagi kekayaan dan harta miliknya dan membalas kematian satu
anggotanya dengan membunuh satu anggota suku si pelaku pembunuhan. Balas
dendam atau utang nyawa balas nyawa merupakan satu-satunya cara untuk
menjamin sedikit keamanan sosial di wilayah yang tak mengenal kekuasaan
sentral ini, di mana setiap kelompok suku merupakan hukum bagi dirinya
sendiri dan tak terdapat sesuatu yang bisa dipersamakan dengan
angkatan kepolisian zaman sekarang. Jika seorang pemimpin suku gagal
membalas dendam, sukunya akan kehilangan martabat sehingga suku-suku
lain akan merasa bebas untuk membunuh anggota sukunya tanpa dihukum.
Hukum balas, dengan demikian telah menjadi bentuk keadilan yang lazim.
Ini berarti bahwa tak ada satu suku pun yang dengan gampang dapat
memperoleh yang derajat lebih tinggi daripada yang lain. Ini juga
berarti bahwa berbagai suku dapat dengan mudah terlibat dalam lingkaran
kekerasan tanpa akhir, di mana satu penuntutan balas akan menimbulkan
pembalasan yang lain jika orang-orang merasa bahwa balas dendam itu
dilakukan secara tidak proporsional terhadap kesalahan asalnya.
Meskipun tak diragukan lagi kebrutalannya, muru’ah tetap memiliki banyak kelebihan. Muru’ah sangat menekankan egalitarianisme dan ketidakpedulian pada materi, yang, lagi-lagi, barangkali esensial dalam wilayah yang
tidak memiliki persediaan kebutuhan pokok dalam jumlah yang memadai:
kedermawanan merupakan kebajikan yang penting dan mengajarkan
orang-orang Arab untuk tidak mengkhawatirkan hari esok. Sifat-sifat
ini, sebagaimana akan kita saksikan, penting maknanya bagi Islam.
Muru’ah telah berdampak baik bagi orangorang Arab selama berabad-abad,
namun sejak abad keenam konsep itu tak lagi mampu menjawab kondisi
modernitas. Selama fase terakhir periode Pra Islam, yang oleh kaum
Muslim disebut periode jahiliyah (masa kebodohan), ketidak puasan dan
kekosongan spiritual telah menyebar luas. Orang Arab dikepung dari
semua sisi modern mulai menembus masuk ke Arab dari wilayah-wilayah
yang berpenghuni; para saudagar yang bepergian ke Suriah atau Irak
membawa pulang kisah-kisah mengagumkan tentang kehebatan peradaban.
Namun, tampaknya mereka ditakdirkan untuk terus hidup dalam barbarisme. Peperangan antar suku yang
tak hentihentinya terjadi membuat mereka tak mampu mengumpulkan
sumber daya mereka yang hanya sedikit itu dan menjadi orang Arab
bersatu. Merek adapat menentukan nasib sendiri dan mendirikan sebuah
peradaban sendiri. Sebaliknya mereka justru Senantiasa terbuka untuk
dieklploitasi oleh kekuatan-kekuatan besar: buktinya, wilayah yang lebih
subur dan canggih di Arab Selatan yang
kini dekenal sebagai Yaman (yang memiliki keuntungan dari hujan muson)
telah menjadi sekadar satu provinsi dalam wilayah kekuasaan Persia.
Pada saat yang sama, ide-ide baru yang menembus kawasan itu
memperkenalkan individualisme yang meruntuhkan etos komunal lama.
Jazirah Arab
selatan, Arabia Felix kuno, dikenal karena kekayaannya, namun ketika
Rasulullah saw lahir (570) masa kegemilangannya tidak ada. Politeisme
kuno secara luar digantikan oleh pengaruh-pengaruh agama Yahudi dan
Kristen. Di Arab Tengah, agama yang lebih “primitif” masih tetap eksis,
disertai dengan kebiasaan membanggakan kekuatan suku yang hebat.
Gua-gua dan batu dianggap suci dan memiliki kekuatan yang diberkati,
barakah. Hal ini adalah kebiasaan bangsa Semit. Sebuah pusat
peribadatan batu adalah Mekkah, tempat Hajar Aswad (batu hitam) di
sebelah tenggara Ka’bah yang merupakan tujuan tahunan dari Haji
tahunan. Hubungan dagang dan pasarpasar didirikan selama empat bulan
suci, saat itu perang dan pembunuhan dilarang, serta anggota seluruh
suku dan keturunan bangsa Arab melakukan perjalanan ke tempat suci.
Bangsa Arab disituasikan dalam wilayah pengaruh Byzantium dan Persia,
keduanya merupakan rekan dagang masyarakat Mekkah dan ini memfasilitasi
kontak seluruh koloni Kristen mungkin tidak ditemukan dalam hati orang
Arab. Demikian pula, terdapat wilayah Yahudi dekat Madinah, bahkan
Raja Sheba berpindah ke agama Yahudi pada sekitar tahun 500.
Orang Yahudi dan Kristen,
mitra dagang yang sering berhubungan dengan orang-orang Arab, acap
mencela mereka sebagai orang-orang barbar yang tidak memperoleh wahyu
dari Tuhan. Orang Arab merasakan campuran rasa benci dan hormat kepada
orang-orang yang memiliki pengetahuan yang tak mereka punyai ini.
Yudaisme dan Kristen tidak mendapat banyak kemajuan di kawasan itu,
meskipun orang Arab mengakui bahwa bentuk agama yang progresif ini
sebenarnya lebih unggul daripada paganisme tradisional mereka. Ada beberapa suku Yahudi yang
tidak jelas asal-usulnya di pemukiman Yatsrib (kernudian menjadi
Madinah) dan Fadak, hingga ke utara Makkah, serta beberapa suku utara
di perbatasan antara imperium Persia dan Byzantium yang telah beralih
menganut aliran Monofisit atau Kristen Nestorian. Akan tetapi, orang
Badui sangat independen, mereka bertekad untuk tidak jatuh ke bawah
salah satu kekuatan adidaya seperti saudara-saudara mereka di Yaman dan
sangat menyadari bahwa baik orang Persia maupun Byzantium telah
menggunakan agama Yahudi dan Kristen untuk mengembangkan pola-pola
imperial mereka di kawasan itu. Mereka barangkali juga menyadari bahwa
baik orang Persia maupun Byzantium
telah menggunakan agama Yahudi dan Kristen untuk mengembangkan
pola-pola imperial mereka di kawasan itu. Mereka barangkali juga
menyadari secara naluri bahwa mereka telah mengalami dislokasi cultural
yang cukup parah, seiring erosi tradisi-tradisi mereka sendiri. Mereka
sama sekali tak merasa menginginkan sebuah ideologi baru, apalagi yang
terungkap dalam bahasa dari tradisi asing.
Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian ini pun
sampai kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di Najran
dan agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya memberikan kelonggaran
kepada mereka, kemudian turut menerimanya. Hubungan mereka dengan orang
Arab yang menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu
baik-baik saja.
Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab
dahulu banyak sekali macamnya. Setiap kabilah atau suku mempunyai
patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahansesembahan zaman
jahiliah ini pun berbeda-beda pula antara sebutan shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub. adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa
kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri.
Ada tiga sesembahan Arab
kuno yang secara khusus disenangi oleh orang-orang Arab Hijaz, yaitu
Al-Lat (yang secara sederhana berarti “Dewi”) dan Al-Uzza (Yang
Perkasa), masing. masing memiliki kuil suci di Thaif dan Nakhlah,
sebelah tenggara Makkah, dan Manat (Sang Penentu), yang kuil sucinya
bertempat di Qudaid, di pesisir Laut Merah. Mereka sering disebut banat Allah, yang
arti harfiahnya Anak Perempuan Allah, tetapi tidak merupakan
sesembahan yang telah berkembang sepenuhnya, Orang Arab menggunakan
istilah kekeluargaan seperti itu untuk menyatakan suatu hubungan yang
abstrak: dengan demikian, banatal-dahr (harfiahnya “putri-putri nasib”) sekedar bermakna ketidak beruntungan atau pasang surut kehidupan. Istilah banat Allah mungkin
sekedar merujuk kepada “wujud-wujud suci”, Sesembahan ini tidak
diwakili oleh patung yang realistic di dalam kuil-kuil, tetapi oleh
batu-batu besar yang berdiri tegak, seperti yang terdapat di kalangan
orang Kanaan kuno. Batu itu tidak disembah oleh orang-orang Arab secara
langsung, tetapi hanya menjadi sebuah focus keilahian. Seperti Makkah
dengan Ka’bahnya, kuil-kuil di Thaif, Nakhlah, dan Qudaid telah menjadi
lambing spiritual yang penting di dalam hati orang-orang Arab.
Mereka beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun agaknya itu adalah batu kawah atau yang
serupa itu. Tidak cukup dengan berhala-berhala besar itu saja buat
orangorang Arab guna menyampaikan penyembahan mereka dan memberikan
korban-korban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula
patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka
mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau sesudah kembali
pulang, dan dibawanya pula dalam perjalan bila patung itu mengizinkan ia
bepergian. Namun ketika mereka menyembah patung-patung berhala itu,
maka tidaklah serta merta dikatakan bahwa mereka tidak meyakini adanya
tuhan, semua patung itu, baik yang ada dalam Ka’bah atau yang ada
disekelilingnya, begitu juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atau
kabilah-kabilah dianggap sebagal perantara antara penganutnya dengan
Allah. Sebagaimana disebutkan Allah dalam Al-Quran surat Az Zumar : 3: “Tidaklah kaml menyembah mereka melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Kepercayaan mereka tidak sebatas pada pengakuan adanya Tuhan saja. Orang Arab juga percaya bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan alam semesta. Hal ini juga tergambar dari pemberitaan Allah dalam Al-Quran surah Luqman ayat 25: “Jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka menjawab: Allah”. Tetapi
menurut pandangan Islam kondisi seperti ini mereka masih dikatakan
kafir dan musyrik. Sebab, mereka tidak menuhankan Allah SWT dalam
ubudiah. Mereka tidak tunduk kepada aturan yang ditetapkan oleh Allah.
Mereka membuat cara, ajaran, dan nilai sendiri dalam mendekatkan
dirinya kepada Allah dengan cara membuat tuhan-tuhan dari kayu dan batu
untuk menjadi perantara mereka dengan Allah. Mereka lebih patuh kepada
peraturan yang mereka buat sendiri untuk menggantikan hukum yang telah
diturunkan Allah. Tauhid inilah (tauhid uluhiyyah) Yang membedakan
antara seorang Islam dan orang yang kafir / musyrik.
Setelah ekonomi pasar mulai terbangun, pandangan orang Arab
mulai berubah. Banyak yang masih puas dengan aliran kuno memuja
berhala, tetapi berkembang kecenderungan untuk menyembah satu Tuhan ;
dan kekhawatiran makin meningkat terhadap ketidakadilan peradaban baru
yang berkembang di Mekkah. Sebagian orang Arab mulai mencari kebenaran,
yang tidak puas dengan agama dominan bangsa Arab, yang berada dalam
wilayah keyakinan yang lebih tinggi. Orang-orang ini disebut hanif, dan
tampaknya percaya pada Tuhan Yang Maha Tinggi. Ini adalah upaya untuk
menemukan bentuk monoteisme Yang lebih netral dan tidak ternoda kaitan
imperialistik. Sejarahwan Kristen Palestina, Sozomenos, mengemukakan
kepada kita bahwa pada awal abad kelima beberapa orang Arab di Suriah
telah menemukan kembali apa yang mereka sebut agama asli Ibrahim, yang
berkembang sebelum Tuhan menurunkan Taurat atau Injil dan, dengan
demikian, bukan Yahudi atau Kristen. Tidak lama sebelum Rasulullah
menerima panggilan kenabiannya sendiri, penulis biografinya yang
pertama, Muhammad ibn Ishaq (w. 767), menjelaskan kepada kita bahwa
empat orang tokoh Quraisy Makkah memutuskan untuk mencari hanifiyyah, agama asli Ibrahim. Sebagian sarjana Barat telah menyatakan bahwa sekte hanifiyyah yang
kecil ini adalah sebuah fiksi agama yang menyimbolkan kegelisahan
spiritual zaman jahiliah, tetapi pasti memiliki dasar pijakan yang
faktual. Tiga di antara keempat hanif itu cukup dikenal oleh generasi
pertama muslim: Ubaidillah ibn Jahsy, keponakan Rasulullah; Waraqah bin
Naufal, yang akhirnya beragama Kristen; dan Zaid ibn Amr, paman Umar
bin Khattab, salah seorang sahabat dekat Rasulullah dan khalifah kedua
dalam pemerintahan Islam. ada sebuah kisah bahwa pada suatu hari,
sebelum meninggalkan Makkah menuju Suriah dan Irak untuk mencari agama
Ibrahim, Zaid berdiri di sisi Ka’bah, bersandar ke bangunan suci itu
clan berkata kepada orang Quraisy yang sedang melakukan ritus
mengelilinginya dalam cara yang sudah dilakukan sejak lama: “Wahai
Quraisy, demi yang jiwa Zaid berada di tangannya, tak ada seorangpun
dari kalian yang mengikuti agama Ibrahim kecuali aku.” Kemudian dengan
sedih dia menambahkan, “Ya Tuhan, andaikan aku tahu bagaimana engkau
ingin disembah, niscaya aku akan menyembahmu dengan cara itu; namun aku
tidak tahu.”12
Kerinduan Zaid terhadap wahyu ilahi akhirnya terpenuhi di Gua Hira pada tahun 610 di malam ketujuh belas bulan Ramadhan, dengan kenabian Muhammad.
NOTES
11 . Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Op. cit., hal 192
12. Muhammad Ibn Ishaq, Sirah, 145 dikutip dari A. Guillame, terj., The Life of Muhammad, dalam Karen Amstrong, hal 192
Tidak ada komentar:
Posting Komentar