Cari Di Blog Ini

Jumat, 16 Maret 2012

Islam dihujat : Kodifikasi AI-Qur’an

V. KITAB SUCIKenapa kalian mengingkari
ayat-ayat Allah…?
SEJARAH DAN KEASLIAN AL-QUR’AN
Kodifikasi AI-Qur’an I
Oleh : Irene handono

Setelah Rasulullah wafat tampillah Abu Bakar sebagai khalifah (pengganti) untuk memimpin umat. Pelayanan umat Muslim terhadap al-Qur’an pada masa kepemimpinan khalifah Abu Bakar mengalami suatu kemajuan yang sangat signifikan. Hal ini tidak lepas dari kondisi umat pada masa itu. Riwayat dari Imam Bukhari menerangkan seperti berikut ini :
Berkata kepada kami Musa bin Isma’il dari Ibrahirn bin Sa ‘ad, berkata kepada karni Ibnu Syihab dari ‘Ubaid bin as-Sibaq bahwa Zaid bin Tsabit Ra rnengatakan : Telah datang kepadaku Abu Bakar as-Siddiq setelah peperangan di Yamamah, kebetulan umar bin Khattab bersamanya, Abu Bakar mengatakan : Sungguh Umar telah datang kepadaku dan berkata: “Peperangan telah menyebabkan kematian beberapa pembaca al-Qur’an, dan saya sungguh khawatir jika kematian meluas kebeberapa Qurra’ di daerah-daerah hingga menyebabkan hilangnya kebanyakan al-Qur’an, dan saya berpendapat agar engkau seyera memererintahkan kodifikasi atas al-Qur’an”. Saya mengatakan kepada Umar : “Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. ?, Urnar berkata : “Demi Allah hal ini adalah sangat baik”, maka Urnar tetap memintaku hingga Allah melapangkan dadaku atas hal itu dan aku melihat masalah itu sehagai mana penglihatan Urnar”. Zaid berkata: bahwa Abu Bakar rnengatakan : “Sesungguhnya engkau seorang yang masih muda lagi cerdas, bukannya kami menuduhmu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah Saw. maka cermatilah al-Qur’an dan lakukan kodifikasi”. Maka demi Allah seandainya saja mereka memerintahkanku memindahkan salah satu gunung dari beberapa gunung tidaklah lebih berat dari perintah kondifikasi atas Qur’an. Saya berkata: “Bagaimana mungkin kalian melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. ?. Berkata Abu Bakar : “Demi Allah inilah yang terbaik”. Abu Bakar tetap memintaku hingga Allah melapangkan dadaku untuk dapat memahami pendapat Abu Bakar dan Umar, maka segera saya lakukan penelusuran dan pengurnpulan al-Qur’an dari rumput dan pelepah pohon serta
hafalan para Qurra’, sampai saya temukan akhirdari Surat at-Taubah pada Abu Khuzaimah al-Anshari yang tidak terdapat pada yang lainnya {Telah datang kepadamu.. .. } hingga akhir surat al-Baro’ah (at-Taubah), lembaran­lembaran tersebut berada ditangan Abu Bakar hingga beliau wafat, kemudian Umar dan kemudian di tangan Hafshah binti Umar bin Khattab. 36
Upaya penyalinan oleh para penulis wahyu dengan dibantu para Qurra’(penghafal Qur’an) telah menghasilkan tulisan al­-Qur’an dalam bentuk lembaran-lembaran yang dapat meminimalisir perbedaan pendapat dalam hal tulisan dan bacaan al-Qur’an bagi umat Muslim.
Dengan adanya upaya kodifikasi tersebut di atas tugas para penghafal al-Qur’an bukannya selesai, sebab tugas tersebut tidak semata-mata untuk penjagaan al-Qur’an saja namun lebih dari itu merupakan suatu ibadah yang membuat para pelakunya memiliki keutamaan dimata Allah.
Kodifikasi II (Upaya pewujudan mushaf Induk)
Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab masalah perbedaan dalam membaca Al-Qur’an belum merupakan hal yang mengkhawatirkan, walaupun begitu mereka telah mengantisipasinya dengan melakukan kodifikasi atas al­-Qur’an sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Namun setelah dua masa kepemimpinan, masalah tersebut mulai menimbulkan kekhawatiran sehingga para sahabat segera mengambil tindakan seperti yang disebutkan pada riwayat berikut ini :
Berkata kepada kami Musa, berkata kepada kami Ibrahim, berkata kepada kami Ibnu Syihab bahwa Anas bin Malik mengatakan kepadanya: “Khudzaifah bin al-Yaman datang kepada Utsman, dan sebelumnya ia memerangi warga Syam dalam penaklukan Armenia dan Azarbaijan bersama warga Irak, maka terkejutlah Khudzaifah akan adanya perbedaan mereka dalam hal bacaan al-Qur’an, maka berkatalah Khudzaifah kepada Utsman: “Wahai pemimpin orang-orang yang beriman, beritahulah umat ini sebelum mereka berselisih dalam masalah kitab sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani”, Utsman lantas berkirim surat kepada Hafshah : “Kirimkan kepada kami lembaran-lembaran untuk kami tulis dalarn mashahif (bentuk plural dari mushhaf -kumpulan lembaran dengan diapit dua kulit seperti buku-) kemudian kami kembalikan kepadamu”, Hafshah segera mengirimkannya kepada Utsman, maka Utsman segera memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, serta Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam mushhaf mushhaf, dan dia (Utsman) mengatakan kepada ketiga otoritas Quraisy tersebut di atas: Jika kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang masalah Qur’an, maka tulislah dengan lesan Quraisy sebab al-Qur’an diturunkan dengan dialek mereka (Suku Quraisy), dan mereka melakukan hal itu, maka ketika mereka selesai menyalin lembaran-lembaran tersebut kedalam beberapa mushaf, Utsman segera mengembalikan lembaran-lembaran tersebut kepada Hafshah, (Utsman) kemudian mengirim ke tiap tempat satu mushaf yang telah mereka salin, dan memerintahkan agar selain mushaf tersebut entah berupa lembaran (sahifah) atau sudah berupa mushaf untuk dibakar.37
Pada masa itu tulisan Arab (kaligrafi Arab) masih belum berharakat dan bertitik seperti yang kita jumpai saat ini, perbedaan harakat dan panjang pendek bacaan akan menunjukkan makna yang berbeda, hal ini tidak mustahil menimbulkan kesulitan tersendiri bagi masyarakat Muslim non­ Arab. Cara baca dan pemaknaan yang salah sangat mungkin dilakukan oleh mereka.
Berdasarkan laporan dari Khudzaifah bin al Yaman yang baru datang dari Armenia dan Adzarbaijan (kedua wilayah tersebut bukan wilayah yang berbahasa Arab) Utsman sebagai khalifah dengan dibantu para sahabat segera mengambil tindakan. Demi mengatasi hal itu maka al-Qur’an yang pernah ditulis pada masa Abu Bakar (masih dalam bentuk lembaran) di salin lagi dalam bentuk mushaf (diapit dua kulit-spt buku) untuk dibagikan ke daerah-daerah sebagai al-Qur’an standar, sedang yang selainnya harus dimusnahkan.
Keputusan yang diambil oleh para sahabat khususnya Utsman sebagai pemimpin umat pada waktu itu sangatlah tepat, sebab tugas seorang khalifah tidak hanya masalah ekonomi, politik dan sosial, tapi juga menyangkut masalah keagamaan, seperti penjagaan keaslian al-Qur’an baik bacaan maupun tulisan. Jika merebak suatu bacaan yang salah dan beraneka ragam, maka tugas pemimpin umat lah untuk membetulkan sehingga umat ini selamat dari apa yang pernah dilakukan oleh umat sebelumnya. Tapi yang perlu diingat bahwa standarisasi tersebut tidak menafikan adanya tujuh macam bacaan yang memang sudah ditetapkan oleh Rasulullah. Dengan adanya Mushaflmam (Induk) kemudian kita kenal dengan mushaf Utsmany ini secara tidak langsung Khalifah Utsman telah meletakkan dasar-dasar untuk tumbuh kembangnya ilmu Ulum al-Qur’an yang diawali dengan pembahasan masalah rasm (bentuk tulisan) Utsmany atau Ilmu Rasm al-Qur’an.
Jika diruntut dari awal: Wahyu ditulis oleh tim yang ditunjuk oleh Rasulullah pada saat bersamaan dihafalkan oleh para Qurra; kemudian pada masa khalifah Abu Bakar apa yang ditulis oleh tim tersebut disalin kedalam (shahifah) lembaran­lembaran dengan dibantu hafalan para Qurra; dan pada masa khalifah Utsman lembaran-lembaran tersebut disalin dalam bentuk mushhaf (berbentuk seperti buku) dan menjadi standar satu-satunya. Dan mushafsetandar inilah yang sampai kepada kita hari ini. Menurut Ibnu Mandzur (630-711 H) dalam kamusnya yang terkenal Lisan al-Arab, kata shahifah artinya “lembaran yang ada tulisan di atasnya”, sedangkan mushhaf atau mishhaf bermakna “himpunan dari lembaran yang ada tulisannya dengan dibatasi dua kulit”.38 Makna yang sama disampaikan oleh penulis kamus lain -yang lebih dahulu- yaitu Al-Azhari, 39 juga Al-Jauhari (393 H) dalam Ash-Shihah-nya.40
Standarisasi penulisan dan bacaan al-Qur’an pada masa Utsman dijadikan bahan hujatan oleh Dr.Robert Morey terhadap keaslian Qur’an. Dasar riwayat yang dipakai adalah sama dengan yang tertulis di atas, namun dengan plintlran yang sangat kentara, satu hal yang sangat tidak layak dilakukan oleh seorang yang dikatakan internationally recognized scholar. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat bagaimana Dr. Robert Morey memanipulasi riwayat dari Imam al-Bukhari seperti berikut ini :
[Dalam usahanya untuk 'menyatukan' isi dan bentuk Qur'an menjadi Mushaf Uthman yang standard, patut disesalkan tindakan khalif Ufhman yang mendekritkan pemusnahan semua himpunan (atau bahkan bagian) dari naskah-naskah lain yang telah ada sebelumnya yang merupakan naskah-naskah Qur'an yang paling primer: "Uthman mengirim kepada setiap propinsi satu kitab yang telah mereka salin, dan memerintahkan agar semua naskah-naskah al-Qur'an yang lain, apakah dalam bentuk yang terbagi-bagi atau yang lengkap, harus dibakar". (Hadits Shahih Bukhari, VI/ 479)]. 41
Kata-kata [dalam..... paling primer] bukan termasuk riwayat melainkan kata-kata Dr. Robert Morey sendiri, disajikan seakan menjadi satu kesatuan riwayat agar dapat memanipulasi pembacanya. Kutipan riwayat oleh Dr. Robert Morey ini silahkan dirujuk pada riwayat Hudzaifah selengkapnya di atas. Tentang tuduhan bahwa upaya pembakuan al-Qur’an standar dengan ancaman hukuman mati oleh Uthman, Dr. Robert Morey tidak mencantumkan dasar pernyataannya, karena memang tidak ada. Adapun tentang kematian sahabat Uthman, adalah disebabkan fitnah masalah kekuasaan. Dan kejadian tersebut telah diberitakan oleh Rasulullah sebelumnya. 42 Maka adalah satu hal Yang mengada-ada jika kematian Uthman dikaitkan dengan keberhasilannya dalam melayani al-Qur’an.
Setelah meninggalnya Khalifah Utsman, sahabat Ali bin Abi Thalib yang memegang tampuk pimpinan, -dan seperti Pendahulunya- pelayanan terhadap al-Qur’an tidak pernah absen. Dengan berkembangnya daerah kekuasaan umat Islam, mereka yang tidak menguasai bahasa Arab seringkali melakulcan kesalahan dalam membaca Al-Qur’an. Melihat yang sedemikian itu Khalifah Ali memerintahkan Abu al-Aswad ad-Dualy untuk menulis beberapa kaidah bahasa Arab agar masyarakat bisa membaca al-Qur’an dengan benar. Upaya tersebut menjadi dasar peletakan ilmu Nahwu (gramatika Arab) dan ilmu I’rab al- Qur’an. 43
AI-Qur’an Pasca Khulafa’ Rasyidin
Setelah berakhir masa kepemimpinan khulafa’ ar-rasyidun, menyusul kemudian pemerintahan Bani Umayyah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai pemimpin pertama dari dinasti ini. Dan seperti pendahulunya Mu’awiyah telah memberikan sentuhan yang sangat berarti dengan menggalakkan pemberian tanda baca pada mushaf. Ini dilakukan ketika salah satu Gubernurnya di Basrah yaitu Ziyad bin Samiyah menyaksikan kekeliruan sebagian orang dalam membaca surat at-Taubah ayat 3, yang dapat melahirkan makna yang salah.
Pada masa ini mainstream pengajaran al-Qur’an oleh para sahabat dan tabiin masih menggunakan motode at-talaqqy wal ‘ardli yang mengacu kepada periwayatan dan talqin (pengajaran dengan cara instruksi dan dikte) karena tradisi tulisan belum membudaya. Selain empat khalifah sahabat-sahabat lain yang mempelopori pengajaran Qur’an dengan metode di atas adalah : Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ ari serta Abdullah bin Zubair. Sedangkan yang dari tabiin mereka adalah : Mujahid, Atho’, `Ikrimah, Qotadah, Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubair, clan Zaid bin Aslam. Merekalah yang -dianggap- telah meletakkan dasar-dasar dari ilmu-ilmu al-Qur’an seperti : Ilmu Tafsir, ilmu Asbab an-Nuzul, ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Ghanb al-Qur’an dan lain sebagainya. 44
Pada masa-masa selanjutnya ketika perkembangan keilmuan dalam peradaban Islam mulai berkembang, pelayanan dan interaksi dengan Qur’an oleh para sarjana Muslim telah menghasilkan berbagai ilmu, baik yang ditujukan untuk penjagaan Qur’an seperti: Ilmu Tajwid (untuk menjaga kesalahan dalam membaca), Ilmu Qiroat (membahas variasi bacaan seperti yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw.), Ilmu Rasm (membahas tata cara penulisan huruf), Ilmu Dlobth (membahas tata cara pemberian tanda baca), Ulum al-Qur’an (yang mencakup seluruh kajian tentang al-Qur’an seperti sebab-sebab turunnya wahyu dll.); ataupun yang merupakan hasil dari interaksi mereka dengan al-Qur’an seperti Ilmu Tafsir, ilmu Balaghah (retorika), Fan al-Qoshos al-Qur’aniyah (seni pengkisahan dalam Qur’an); termasuk juga Nahwu (gramatika Arab -yang merujuk kepada al-Qur’an-), atau yang bersifat seni seperti seni baca al-Qur’an dengan dilantunkan juga Kaligrafi.
Walaupun begitu kegiatan penghafalan al-Qur’an tetap berjalan sebagaimana mestinya, bahkan menjadi pelajaran dasar wajib bagi para pelajar khususnya pada abad-abad pertengahan. Tidaklah keterlaluan jika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Umat kita tidaklah sama dengan ahli kitab, yang tidak menghafalkan kitab suci mereka. Bahkan jlkalau seluruh mushhaf ditiadakan maka al-Qur’an tetap tersimpan di dalam hatl umat Muslim “ 45
Pada masa sekarang, pengawasan ada di bawah lajnah pentashih Qur’an di bawah Departemen Agama RI. Di negara­negara Islam pun terdapat badan yang serupa. Berkat kemajuan tehnologi umat Muslim telah diuntungkan -khususnya dalam masalah Qur’an-. Kini umat Muslim bisa mendengarkan alunan ayat-ayat al-Qur’an dari manapun di penjuru dunia tanpa merasa asing akan bacaan mereka, dengan media bermacam-macam. Dalam upaya mempelajari ayat-ayat al-Qur’an pun sudah banyak kernudahan yang mereka dapatkan baik berupa tafsir maupun terjemahan serta ilmu-ilmu pendukung lainnya.
Namun demikian tradisi penghafalan Qur’an tetap berlanjut hingga hari ini, madrasah (sekolah) dan pesantren al­-Qur’an tersebar di mana-mana di dunia Islam. Di Indonesia kita hdak sulit untuk mencari pesantren untuk Tahfidz al-Qur’an baik untuk tingkat anak-anak maupun dewasa. Beberapa diantaranya -untuk sekedar menyebut contoh- PP Yambu’ul Qur’an- Kudus Pesantren Krapyak Jogja, PP Nurul Huda-Malang, Pp 4 Munawwariyyah-Malang, Pondok Darul Huffadz-Sulawesi Selatan, dan banyak lagi selainnya yang tidak mungkin disebutkan di sini semuanya. Beberapa perguruan tinggi di Timur-tengah bahkan masih mensyaratkan hafalan beberapa juz tiap tahun ajaran bagi mahasiswanya. Sedang di Indonesia beberapa pesantren -non-tahfidz- mencantumkan hafalan Qur’an dalam kurikulum yang mereka pakai.
Patut diingat, bahwa dalam pengajaran al-Qur’an (Tahfidz al-Qur’an) yang menggunakan metode at-talaqqy wal `ardl juga disertai dengan sanad yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah, sanad tersebut hanya diberikan kepada murid yang benar-benar menguasai hafalannya. Berdasarkan sanad yang ada di Indonesia rata-rata para Qurra’tersebut merupakan generasi ke 28 ke atas.
Kita masih beruntung bahwa saat ini masih dapat menyaksikan kebenaran Janji Allah Saw. dalam menjaga kitab yang diturunkan melalui Rasulullah Saw.
[Dan telah Kami mudahkan al-Qur'an untuk dipelajari maka adakah orang yang mempelajari] (al-qamar: 17), kemudahan para penghafal Qur’an dalam menjalankan aktifitas hafalannya tidak lepas dari janji Allah ini, dan janji tersebut telah terbukti diantaranya dengan semangat umat Muslim dalam menghafal Qur’an yang tidak kurang peminatnya hingga saat ini. Janji Allah yang kedua adalah :
[Sungguh kamilah yang telah menarunkan al-Qur'an dan kamilah yang akan menjaganya] (al-Hijr: 9).
Dengan melihat realitas upaya penjagaan al-Qur’an dari masa diturunkan hingga saat ini janji tersebut telah terbukti kebenarannya. Dan tentunya merupakan bukti akan kemukjizatan al-Qur’an yang Pada gilirannya menunjukkan kerasulan Nabi Muhammad Saw. Sejarah dan realitas membuktikan hal itu dan pantas saja kalau al-Qur’an menantang manusia-manusia congkak untuk membuat
surat semisalnya. Adakah ayat-ayat palsu yang katanya nongkrong di Situs Internet itu dihafal dan dipelajari serta dijaga oleh umatnya?
Tradisi yang Unik.
Tradisi hafalan al-Qur’an dikalangan umat Muslim memang unik dan merupakan keistimewaan bagi umat ini. Kalaulah umat lain iri hati melihat fakta ini kita harus memakluminya. Dr. Robert Morey yang mungkin iri hati melihat penyikapan umat Muslim terhadap kitab sucinya, mengatakan :
Masalah lain yang berkenaan dengan AI-Qur’an yaifu bahwa al-Qur’an ditujukan unfuk dihafalkan oleh orang-orang yang bufa huruf dan fidak berpendidikan, sehingga AI-Qur’an menekankan pada pengulangan-pengulangan yang sama secara terus menerus.46
Selain mengatakan seperti kutipan di atas, penulis The Islamic lnvaslon ini juga mengutip pendapat ‘kawan-kawannya’ yang menyatakan bahwa struktur bahasa al-Qur’an campur aduk, menjemukan, melelahkan; dan segala macam hujatan yang dapat mereka temukan.47
Susunan al-Qur’an yang dikatakan oleh mereka yang mengaku ilmuan sebagai susunan yang campur aduk, ternyata dapat dihafal oleh ribuan umat Muslim tanpa ada keluhan dari mereka. Padahal menurut logika, materi hafalan yang tersusun rapi akan lebih mudah dihafal dari pada materi yang acak­acakan. Dilihat dari sisi kegiatan hafal menghafal -apapun materinya- pernyataan Dr. Robert Morey dan konco-konconya di atas sangat tidak masuk akal.
  • Coba anda bayangkan mana yang lebih mudah, menghafalkan sesuatu yang urut atau yang acak. Jika anda membeli kartu perdana untuk HP anda -misalnya-, dan dua nomer yang ditawarkan kepada anda; satu nomer biasa (misal, 081 36475146) dan satu lagi nomer cantik misalnya : 081 22334455, mana yang lebih cepat anda hafal yang acak-acakan atau yang teratur seperti dinomer cantik, tentu yang kedua yang akan anda pilih. Tapi jika ada pilihan yang ketiga misalnya nomer 081 17081945, yang sekilas terkesan tidak teratur tapi menurut hernat kami nomer tersebut akan sangat mudah dihafal oleh orang Indonesia bahkan untuk anak seusia SD, yang belum tentu mudah bagi warga negara lain, sebab nomer tersebut adalah tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia.
  • Pengulangan yang ada dalam al-Qur’an bukanlah pengulangan dengan pemakaian kata dan struktur kalimat yang sama. Kesamaan yang ada seringkali disajikan dengan gaya bahasa yang berbeda. Berdasarkan pengalaman penulis -salah satu dari kami- yang sempat menghafal al-Qur’an; menghafalkan ayat yang mirip adalah lebih sulit. Ketika menggabungkan ayat-ayat dalam satu surat hal itu relatif lebih mudah, kesulitan itu baru muncul ketika menggabungkan surat-surat dalam satu Juz, dan seluruh Juz dalam satu al-Qur’an.
  • Rata-rata ulama yang telah mewariskan karya-karya besar di dunia Islam yang bahkan mempengaruhi peradaban barat, seperti : Ibnu Sina, Ibnu Rush, Ibnu Khaldun dll, adalah orang-orang yang telah berbekal hafalan al-Qur’an pada masa kecilnya. Dan justru al-Qur’an itulah yang telah memberi inspirasi kepada mereka dalam karya-karnyanya. Lihat saja Ibnu Khaldun dari ayat (yang artinya) : [Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim] (QS. Ali Imran :140), beliau dapat melahirkan karya spektakuler dalam studi peradaban dengan sebuah teori The Culture Cycle Theory of History yang diakui bahkan menjadi acuan dalam kajian filsafat sejarah.
Bahkan pada zaman modern ini kita tidak heran jika ado seorang perwira tinggi militer di Mesir yang mengikuti lomba menghafal al-Qur’an tingkat nasional.
Sanad Qiraat al-Qur’an
Untuk melengkapi pembahasan tentang otentisitas al­Qur’an ini, maka kami sertakan salah satu sanad yang ada di Indonesia. Yaitu milik pengasuh PP Al-Munawwariyyah Sudimoro-Bululawang-Malang.
Riwayat Hafsh dari ‘Ashim.
  1. H. Muhammad Maftuh Sa’id Malang.
  2. Dari Ayahnya H. Muhammad Sa’id Mu’in Gresik.
  3. Dari Gurunya Kyai Munawwar Sedayu Gresik.
  4. Dari Syekh Abdul Karim bin Umar al-Bari al-Dimyathy.
  5. Dari Syekh Ismail.
  6. Dari Syekh Ahmad Rasyidi.
  7. Dari Syekh Mushthafa al-Azmiry.
  8. Dari Syekh Hijazy.
  9. Dari Syekh Ali bin Sulaiman al-Manshury.
  10. Dari Syekh Shulthon al-Mazhy.
  11. Dari Syekh Saifuddin bin Atho’illah al-Fudloily.
  12. Dari Syekh Syahadzah al Yamany.
  13. Dari Syekh Nashiruddin al-Thoblawy.
  14. Dari Syekh Zakaria al-Anshory.
  15. Dari Syekh Ahmad as-Shuyuthy.
  16. Dari Syekh Muhammad al-Jazry.
  17. Dari Syekh al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Khaliq al-Mashri as-Syafi’I
  18. Dari Syekh al-Imam Abi al-Hasan bin Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa al-Abbas al-Mashry.
  19. Dari Syekh al-Imam Abi al-Qashim as-Syathiby.
  20. Dari Syekh al-Imam Abi al-Hasan bin Hudzail.
  21. Dari Syekh al-Imam bin Daud bin Sulaiman bin Naijah.
  22. Dari Syekh al-Imam al-Hafidz Abi Umar al-Dany.
  23. Dari Syekh al-Imam Abi al-Hasan al-Ashnany.
  24. Dari Syekh al-Imam Ubaidillah as-Sibagh.
  25. Dari Syekh al-Imam Hafsh.
  26. Dari Syekh al-Imam Ashim.
  27. Dari Syekh al-Imam Abdurrahman as-Sullamy.
  28. Dari Shahabat Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’b.
  29. Dari Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam.
Sanad di atas dari KH. Muhammad Maftuh Sa’id. Dibandingkan dengan sanad lain yang kami kumpulkan sanad ini yang paling ringkas jalurnya, di mana nama-nama Qurra’ yang asal Indonesia hanya tiga di depan. Tradisi penyampaian qiraat masih mengikuti pendahulunya, di mana ayat-perayat dibacakan berikut waqaf (tempat berhenti membaca) harus dihafal para santri yang menghafalkan al-Qur’an. Apalagi harakat dan huruf.
NOTES
36. Al-Bukhari, VI/120.
37. Ibid, VI/120.
38. Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, al-Mu’assah al-Mashriyah al- Amah Li at-Ta’lif wa al-Anba’ wa an-Nashr, Kairo, Vol. XI, hal. 87.88.
39. Ibid.
40 Al-Jauhari, Ash-Shihah, Daar al-`Ilm li al-Malayin, Beirut, Cet. III, th.1984, Vol. IV ha1.1384.
41. Robert Morey, op. cit., hal 147.
42 Musnad Imam Ahmad, 4/235.
43 Zarqany, Manahil al-Irfan fi `Ulum al-Qur’an, Daar Ihya’ al. Kutub al-Arabiyah, Kairo, I/30.
44 Ibid, 1/30-31.
45 Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa syailch al-islam Ahmad ibnu Taimiyyah, th.1997, Vol. 17, hal. 436.
46 Robert Morey, op. cit., hal 131.
47 ibid, hal 124.

Tidak ada komentar: