Cari Di Blog Ini

Jumat, 16 Maret 2012

Islam dihujat : Ibadah Horisontal

IV. SYARI’AT ISLAMKalian tiada berarti sebelum
menjalankan Taurat dan Injil

IBADAH HORISONTAL
Oleh : Irene handono
menjawab buku islamic Invation (robert morey)
Dalam masalah ibadah horizontal yang diajarkan oleh para nabi, khususnya Rasulullah, pembahasan dibatasi pada permasalahan yang dihujat oleh Dr. Robert Morey. Namun demikian ajaran-ajaran sosial lainnya, dapat kita temui dalam bab-bab lain yang menyinggung masalah ini, seperti bahasan tentang al-Qur’an dan al-Hadits.
Hukum Islam dikenal dengan nama Syariah yang mencakup setiap aspek kehidupan manusia -persoalan-persoalan hukum, moral, ritual bahkan masalah kesehatan. Awalnya, kaum muslim memang bertindak berdasarkan kebiasaan masyarakat Arab, tetapi pembentukan masyarakat politico-religius di Madinah mengharuskan mereka berhadapan dengan persoalan­persoalan baru, secara perlahan Al-Quran menetapkan aturan­aturan tentang hal tersebut. Bagaimanapun juga, peraturan­peraturan ini tidak berhubungan dengan seluruh persoalan yang mungkin timbul. Dan, di masa setelah Rasulullah saw. wafat, mereka melengkapinya berdasarkan Sunnah atau praktik yang biasa dilakukan Nabi.
Pengkajian Syariah dikenal dengan nama fiqh, ‘yurisprudensi’ dan praktisinya dekenal sebagai fuqaha,‘ hakim Selain kata tersebut digunakan kata ulama’ untuk menyatakan orang yang mengetahui’. Akan tetapi istilah ini lebih dimaknai sebagai “ilmuwan” atau “ahli hukum”. Beberapa saat sepeninggal Rasulullah SAW, orang-orang saleh yang biasa berkumpul dimasjid mengumpulkan orang-orang yang tertarik mendiskusikan interpretasi aturan Al Quran dan persoalan-persoalan sejenis. Perlahan-lahan kelompok-kelompok ini menjadi aliran yang lebih terorganisir dan dari sinilah fuqaha’dan ulama’dilahirkan. Pada akhirnya dikenal empat mazhab.
Kemudian empat Mazhab ini dengan status mufti, yakni orang-orang yang berkualifikasi untuk mengeluarkan “opini” resmi mengenai hukum (fatwa). Mereka memang diangkat, namun tidak memperoleh gaji sekalipun mereka dapat meminta bayaran atas fatwa yang dikeluarkannya itu. Dengan demikian, institusi keagamaan yang berada dibawah Syaikh Al-Islam itu mengawasi seluruh pendidikan tinggi, pelaksanaan hukum, dan yang dalam hal tertentu, harus memperjelas perumusan undang­undang. Namun demikian, opini seorang mufti, sekalipun memegang posisi resmi, bukanlah opini akhir, melainkan dapat ditentang oleh mufti lain asalkan dia memang mampu menandingi argumen-argumen mufti pertama. Jadi tidak benar bila dikatakan : “Pimpinan suku yang memutuskan apakah anda perlu hidup atau harus mati.”25
Para fuqaha’ generasi pertama dikenal sangat tegas pendiriannya dalam menyatakan bahwa administrasi negara Islam dan system yudisialnya wajib dilandasi prinsip-prinsip Islam, bukan didasari adat istiadat Arab, sebagaimana yang dituduhkan oleh Dr. Robert Morey.
Karakter syariah juga mempengaruhi penentuan fungsi hakim di pengadilan syariah. Karena tak ada teks yang otoritatif, dalam pembuatan keputusan, sang hakim memiliki tingkat fleksibilitas tertentu, dan dia dapat memasukkan modifikasi­modifikasi ringan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kondisi-kondisi setempat dengan menyeleksi teks-teks yang pas sebagai dasarnya. Pada masa Khalifah Abbasiyah (750-1258), selain mahkamah syariah terdapat pula yuridiksi lainnya. Karena terdapat kelemahan tertentu dalam pemfungsian pengadilan­pengadilan syariah, Khalifah Abbasiyah mengangkat seorang petugas yang disebut muhtasib yang diberi yuridiksi dalam urusan-urusan sehari-hari dan sebagai juru sensor bagi moral rakyat. Para perwira polisi tertentu juga diberi kekuasaan yuridiksial, dan di Baghdad untuk menangani kasus-kasus pidana dan perdata yang serius, didirikan sebuah mahkamah tinggi yang disebut mazalim.
Pelembagaan peradilan-peradilan seperti itu tidak bertentangan dengan syariah sebab urusan-urusan kriminal (keputusan) diserahkan pada kebijakan luas sang penguasa. Jadi jelas disini bahwa yang memutuskan apakah anda perlu hidup atau harus mati adalah bukan pimpinari suku sebagaimana yang ditulis Dr. Robert Morey. 26
Hukum Islam pada hakikarnya berbeda dari hukum Barat dalam hal sumber hukumnya, dan juga dalam hal area yang dapat diperkarakan: dalam Islam praktis tidak ada aspek kehidupan manusia yang tidak tersentuh hukum. Hukum Islam merupakan tatanan yang mengatur segala segi kehidupan, di mana, yang hanya terdapat dalam hukum Musa, bahkan aturan­aturan protokoler dan etiket ditetapkan dalam hukum. Akibatnya, mustahil untuk menarik perbedaan yang jelas antara ahli teologi dan ahli hukum Muslim. Kenyataan bahwa teologi dan yurisprudensi itu disamakan mengandung arti bahwa Islam sebagai suatu kepercayaan dan peradaban, agama dan budaya, tidak dapat dipahami tanpa memahami yurisprudensi Islam.
Hak-hak Warga Negara (Sipil)
Boleh dikatakan bahwa Islam telah banyak memperbaiki (adat jahat) Jahiliyyah. Di Arabia pra-Islam individu tak memiliki hak-hak sebagai individu, melainkan hanya sebagai anggota dari suatu kelompok kerabat. Apabila ada yang menjumpai seseorang di padang pasir dan tak menyukai penampilannya, maka tak ada yang dapat melarangnya untuk membunuh orang tersebut selain dari rasa takut retaliasi dari sukunya. Tegasnya, hak untuk hidup bergantung pada “perlindungan” (kemampuan untuk melakukan balas dendam) dari kelompok kerabat. Ketika ummah Islam mengganti (system) kelompok kerabat itu, hak ini seperti hak-hak lainnya juga jelas ditegaskan secara lebih terjamin.27
Berdasarkan al-Quran, hak dasar berikut ini sudah dijamin secara hukum selama 1400 tahun sampai sekarang: hak hidup,
hak jasmaniah untuk tidak diganggu, hak untuk mendapatkan perlakuan setara/non-diskriminasi, hak atas kekayaan, hak mempertahankan kebebasan hati nurani, hak perkawinan, hak mendapat pengadilan hukum, hak untuk dinyatakan tidak bersalah sebelum terbukti sebaliknya hak untuk tidak mendapatkan hukuman tanpa ancaman hukuman sebelumnya, hak perlindungan dari siksaan, dan hak suaka.28
Dr. Robert Morey menganggap bahwa hukum dunia Islam, sebagai sejarah hukum barbar, meskipun anggapan tersebut tentu saja berlawanan dengan fakta yang telah kita bahas di atas. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berupaya menunjukkan Islam dalam bentuk yang paling mengerikan, atau tidak punya pengetahuan sedikitpun mengenainya.
Konsep Barat mengenai hak asasi manusia dianggap sebagai tuntutan Negara. Seperti yang telah diketahui secara luas, perumusan hak asasi menusia yang klasik di abad-abad sebelumnya ditujukan untuk membatasi kekuasaan Negara saja, dengan memberikan kepada warga negara kebebasan dari sesuatu atau keleluasaan untuk melakukan sesuatu. Negara, yang dikendalikan dengan undang-undang hak asasi, dicegah agar tidak menarik pajak, menahan, merampas atau menjatuhkan hukuman mati semau-maunya. Tekanannya bukan pada apa yang harus dilakukan Negara, melainkan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh negara. Namun, balakangan ini, hak asasi manudia telah dirumuskan dalam pengertian tuntutan akan aksi kesejahteraan Negara. Negara harus menjamin lapangan kerja, perumahan, perawatan kesehatan, bahkan hak untuk menikmati alam dan kebahagiaan individu. Ini telah mendorong pada turunnya nilai “hak asasi manusia” dan turunnya nilai sektor negara. Penyimpangan-penyimpangan ini sama-sama dapat membahayakan kelangsungan hidup cita-cita yang mulia dari hak asasi manusia karena hilangnya kaitan transendental.
Sedangkan bagi ummat Muslim, setiap hak harus bersumber dari ilahi -Al-Quran dan Sunnah Nabi-. Dan hak dasar tidak mungkin diciptakan oleh manusia melainkan hanya dapat ditampilkan kembali olehnya.
Lebih jauh lagi, hukum Islam berbeda dari barat karena mempertimbangkan bahwa semua hak, termasuk hak asasi manusia, hanya terjamin dengan sungguh-sungguh jika seluruh sistem sosial clan hukum berada dalam kondisi yang baik, yaitu bahwa tujuan mulia keadilan hanya bisa diwujudkan sebagai produk sampingan dari system sosial yang komprehensif clan adil, dan bukan secara terpisah.29
Menurut hukum Islam, hak untuk beralih agama tanpa menimbulkan kerugian hukum tidak berlaku bagi seorang Muslim. Paling-paling, peralihannya ke agama lain akan mendatangkan konsekuensi menyangkut warisan dan kemungkinan perkawinannya (batalnya keabsahan perkawinannya dengan seorangwanita Muslim), meskipun jelas tidak ada perintah Al-Quran untuk menghukum mati orang yang murtad tersebut. Sedangkan ayat 5:33 adalah hukuman mati bagi pengkhianat di masa perang, karena kebanyakan yang murtad adalah orang yang berkhianat. Situasi ini akan dapat dipahami dengan mudah jika menjadi seorang Muslim disamakan dengan mendapatkan kewarganegaraan di sebuah negara Barat. Tidak ada yang menyangkal bahwa hak istimewa atau kewajiban tertentu ada kaitannya dengan pemilikan kewarganegaraan.
Pada kenyataannya, demokrasi yang berkembang di dunia saat ini, adalah demokrasi berdasar suara mayoritas. Negara yang berpenduduk mayoritas Kristen tentu risih dipimpin seorang Muslim, begitu sebaliknya. Hanya bedanya, minoritas non­muslim di negara muslim lebih aman ketimbang minoritas muslim di negara non-muslim. Berita penganiayaan atas mereka tidak berhenti hingga sekarang. Berita yang masih hangat, Perancis ingin melarang pemakaian jilbab oleh pelajar muslim dengan alasan sekulerisasi, dipihak lain mereka menuduh Saudi yang mewajibkan jilbab sebagai negara yang tidak demokratis. lantas apa arti demokrasi yang sebenarnya? Apa yang diterapkan dengan setandar ganda?
Wahita dalam Islam
Sistem hukum di seluruh dunia dihadapkan pada masalah: apa yang harus dilakukan jika ada pasangan suami-istri tidak sepakat tentang cara mengatasi urusan keluarga dalam berbagai hal. Bagaimanapun juga, keputusan berdasarkan suara terbanyak mustahil diambil. Hanya ada dua solusi yang mungkin: Pertama Islam memberikan solusi bahwa salah satu pihak secara umum, atau dalam kasus-kasus tertentu, menyerahkan keputusan kepada pasangannya (yang berarti memberinya hak veto). Kedua, bahwa masalah tersebut dibawa keluar dari lingkup keluarga untuk dicarikan pemecahan atau keputusannya dalam lingkup keluarga besar, kantor catatan sipil atau pengadilan. Inilah cara Barat, dengan hasil keputusan yang tidak masuk akal sehingga, pernah kejadian, para petugas kantor catatan sipil di Jerman secara harfiah melempar dadu untuk menentukan nama keluarga apa yang harus diberikan kepada istri jika pasangan itu berselisih paham.
Islam lebih cenderung pada pendapat bahwa urusan keluarga harus diputuskan oleh keluarga itu sendiri dan, secara umum, memberi hak veto kepada suami -yang biasanya merupakan pemberi nafkah dan pelindung. Sebagaimana firman tuhan:
“Kaum pria adalah pelindung bagi kaum wanita, sebab Allah telah melebihkan golongannya dari golongan perempuan, dan karena pihaknya adalah sebagai pemberi nafkah dengan hartanya. “
Ayat ini tidak bisa ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa pria lebih unggul daripada wanita. Ayat ini tidak mempermasalahkan status melainkan isu-isu praktis yang berkaitan dengan perawatan dan perlindungan. Namun hal ini merupakan penghormatan bagi kaum wanita. Bahkan Rasulullah sendiri mencontohkan pernah membantu istrinya memasak di dapur. Para pewaris nabi -yaitu Ulama- banyak yang lebih memilih memenuhi kewajiban sebagai suami ketimbang meminta haknya. Alm. Kiai Hamid (Pasuruan) memberikan suri tauladan bagaimana beliau tidak pernah menang-menangan (gengsi) apalagi berbuat eksploitatif terhadap istrinya, beliau selalu diam jika sang istri sedang marah, padahal semua tahu bagaimana wibawa Kiai Hamid yang dikenal sebagai seorang wali.30
Dalam Islam, seorang laki-laki jika hendak mempersunting Wanita maka ia harus memiliki kesiapan mental menjadi penanggung jawab dan pemberi nafkah atas seluruh keluarga.
Kesiapan mental untuk mengayomi dan mendidik istri dan keluarga, serta kesiapan finansial, hal ini menjadi penetapan adanya persyaratan kufu’ dan ba’ah dalam Islam.
Perkawinan merupakan institusi penting yang dilindungi dalam Islam, sehingga perkawinanpun diharapkan bisa kekal. Tujuan ini menjelaskan adanya larangan mutlak terhadap hubungan seksual di luar pernikahan31, celaan terhadap homoseksualitas,32 dan pencegahan perceraian.
Upaya melindungi perkawinan inilah merupakan alasan utama di balik aturan Al-Quran yang sering disalahgunakan dan paling banyak dipahami secara keliru, yang menyatakan bahwa seorang suami boleh “memukul” istrinya. Ayatnya berbunyi sebagai berikut:
“Sedangkan wanita-wanita yang kamu khawatirkan kedurhakaannya, berilah pengajaran yang baik, hukumlah dengan berpisah tidur, dan pukullah mereka. “33
Tradisi Islam menyepakati bahwa aturan ini dimaksudkan untuk menyelamatkan perkawinan yang bermasalah, dan dengan cara itu mencegah terjadinya perceraian yang tidak bisa diperbaiki lagi. Dengan mengingat ini, ada persetujuan umum di kalangan Muslim dari masa paling awal bahwa “memukul” hanya boleh dilakukan dalam gerakan isyarat saja, dan jelas tanpa maksud untuk melukai secara fisik. Jika reaksi yang diberikan lain justru akan sia-sia -menghancurkan, bukannya melestarikan ikatan perkawinan yang terancam. Nabi secara pribadi menolak hukuman badan apa pun terhadap istri-istrinya.
Dalam mengulas masalah wanita ini sekali lagi Dr. Robert Morey bersikap tidak tahu-menahu tentang sejarah Pra Islam dan sejarah setelah datangnya Islam. Setelah menyitir perkataan Ali Dashti tentang perlakuan masyarakat sebelum Islam terhadap wanita34 kemudian ia menampilkan ayat Al-Quran tentang kepemimpinan pria atas wanita dalam Surah 4:34. Sehingga gambaran perlakuan Islam terhadap wanita terlihat sampai pada puncak sadisme.
Hukum Islam tidak menunjukkan diskriminasi terhadap kaum wanita jika dibandingkan dengan kaum pria, selama apa yang sama diperlakukan sama. Dan inilah inti masalahnya: sebab teori Barat semata-mata menolak relevansi perbedaan hukum antara pria dan wanita, sementara Islam menolak untuk menuruti fiksi tersebut.
Demikian juga ajaran Islam tentang kewajiban istri untuk izin kepada suami sebelum meninggalkan rumah, adalah untuk mengembalikan martabat sebagai seorang istri, yang mempersembahkan dirinya hanya untuk suaminya dan tidak ingin kelihatan seakan-akan dia masih mencari-cari suami. Dengan izin kepada suami maka akan terjaga dari kecurigaan­kecurigaan, sehingga kesucian keluarga masih tetap terjaga. Jadi tujuan aturan ini bukan berarti merendahkan perempuan dan meniadakan hak-hak sipil kaum wanita.35
Dalam situasi perkawinan dimana tidak ada jalan keluar lain, perceraian tetap diizinkan sebagai pintu darurat yang dibutuhkan dan boleh dilakukan oleh suami maupun istri. Yang membedakan hanyalah prosedurnya. Perceraian yang diusulkan oleh pria (thalaq) lebih mudah prosedurnya. Perceraian sudah final jika secara sepihak diucapkan oleh suami dalam jangka waktu tiga bulan. Ini berarti bahwa dengan perceraian itu dia kehilangan seluruh uang yang mungkin jumlahnya sangat besar (al-mahr) yang harus diberikannya kepada istrinya sebelum perkawinan. Jika istri juga datang memutuslcan ikatan perkawinan dengan cara yang begittt mudah, itu dapat mendorong timbulnya penyalahgunaan hadiah perkawinan dengan cara sistematis. Karena alasan inilah maka pengadilanlah yang harus memutuskan perceraian yang dimintakan oleh pihak istri (khulu’). Jadi ajaran Islam tidak meniadakan hak wanita dalam perceraian.36
Hukum waris Al Quran menetapkan warisan diberikan kepada anak laki-laki maupun perempuan jika orang tua mereka meninggal,37 di mana anak perempuan mendapatkan warisan hanya separo bagian dari yang diterima anak laki-laki.38 Alasan di balik aturan ini adalah karena pewaris laki-laki merupakan satu-satunya penanggung jawab keuangan -pemberi nafkah- atas seluruh keluarga. Dengan kewajiban berbeda, maka berbeda pula hak yang diberikan.
Secara umum, hukum Islam mensyaratkan bahwa suatu fakta harus didukung oleh kesaksian dua orang, tetapi kesaksian dari dua wanita nilainya sama dengan kesaksian dari satu pria.39 Murad Hofman menganggap bahwa alasan dibalik peraturan ini adalah hanya berakar pada kondisi fisik yang biasanya mempengaruhi wanita pada waktu-waktu tertentu, yaitu, siklus yang sering menimbulkan sindroma pra-menstruasi; depresi pasca-kelahiran; pengaruh menopouse). Mengakhiri bahasan ini, ada baiknya kita simak laporan sebuah majalah hukum di Perancis “LA VIE JURIDIQUE DES POYPLES”, menyatakan:
“Dalam hukurn Islam, hak-hak kaum warrita jauh lebih luas dari pada hak-hak kaum wanita dalam konsepsi hukum sekarang.
Kerudung Wanita
Di Dunia Islam, seksualitas dan percintaan tidak dipamerkan dijalan jalan. Pornografi tidak bisa diterima. Gadis­gadis yang ingin menikah lazimnya tidak mau melakukan hubungan seks sebelum menikah. Anak haram merupakan sesuatu yang amat langka. Kebanyakan mempelai wanita masih perawan saat mereka menikah. Iklan-iklan yang menawarkan pertukaran istri, pesta nudis di pantai, bar homoseks, komune mahasiswa jarang ditemui di negara-negara Muslim pada umumnya.
Pakaian pria dan wanita, termasuk apa yang dinamakan kerudung (hijab), mencerminkan ini; sebab dari sudut pandang Islam, logis saja bahwa kita tidak berusaha memancing sesuatu hal yang tidak kita inginkan untuk terjadi.
Sepanjang menyangkut tubuh manusia, ada satu consensus dasar antara Timur dan Barat: kedua peradaban ini tidak mengizinkan orang, kecuali bayi, untuk berjalan telanjang ke Sana kemari dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, ada banyak perbedaan menyangkut sejauh mana pakaian dibutuhkan di muka umum.
Di dunia Islam sendiri, tidak ada pandangan yang seragam mengenai masalah ini, seperti yang dapat kita lihat dari pakaian wanita di Maroko, Aljazair, Tunisia, Anatolia, Mesir, Yordania. Negara-negara Teluk, Saudi Arabia, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia.
Di dalam al Quran, ini hanya protokoler yang diterapkan bagi istri-istri Nabi. Sedangkan untuk Perempuan Muslim di Mesir diartikan dengan pakaian dengan tangan dan muka saja yang terbuka, sedangkan di Iran diinterprestasikan dengan Chador (cadar). Sedangkan laki-laki diwajibkan untuk berpakaian pantas, namun perempuan tidak disuruh mencadari diri dari pandangan, atau memencilkan diri dari laki-laki dalam bagian terpisah di rumah. Ini merupakan perkembangan kemudian, dan tidak menyebar di kerajaan Islam sampai tiga atau empat generasi setelah kematian Rasulullah SAW Terlihat bahwa adat pencadaran dan pemisahan perempuan memasuki dunia Muslim dari Persia dan Byzantium, dimana perempuan sudah lama diperlakukan demikian.
Kenyataannya, cadar atau hijab tidak dirancang untuk merendahkan istri-istri Rasulullah SAW melainkan sebagai symbol status tertinggi. Setelah kematian Rasulullah SAW, istri­I strinya menjadi orang-orang yang amat berpengaruh. Mereka memiliki otoritas dalam hal agama dan kerap dimintai konsultasi tentang praktik (sunnah) dan pendapat-pendapat Rasulullah SAW Aisyah menjadi amat penting di dunia politik. Tampak bahwa kelak perempuan-perempuan lain iri akan status istri­istri Rasulullah SAW dan menuntut agar mereka diizinkan memakai cadar juga. Kebudayaan Islam sangat egaliter dan tampak tidak pantas bahwa istri-istri Nabi harus dibedakan dan dihormati dengan cara ini. Maka banyak perempuan Muslim yang mula-mula memakai cadar memandangnya sebagai simbol kekuatan dan pengaruh, bukan sebagai tanda tekanan laki-laki. Jelas ketika para istri prajurit Perang Salib melihat penghormatan yang didapat oleh perempuan Muslim, mereka juga mengenakan cadar dengan harapan mengajari laki-laki mereka untuk memperlakukan mereka dengan lebih baik. Selalu sulit untuk mengerti simbol-simbol dan praktik-praktik kebudayaan lain. Maka sulit dimengerti bila Dr. Robert Morey menguraikan bahwa kerudung dianggap sebagai memaksakan busana gurun kepada para wanita di manapun mereka berada, dan hal itu merupakan suatu bentuk imperialisme budaya.41 Hal ini menunjukkan kurangnya pengetahuan dia terhadap sejarah. Di Eropa, orang barat mulai menyadari bahwa mereka kerap salah interprestasi dan memandang rendah kebudayaan tradisi lain di koloni-koloni dan protektoriat mereka. Banyak perempuan Muslim hari ini, bahkan mereka yang dibesarkan di Barat, merasa tersinggung ketika kaum feminis Barat mengutuk kebudayaan mereka sebagai kebencian terhadap perempuan. Kebanyakan agama berisikan hal-hal (bersifat) laki-laki dan memiliki bias patriarki. Namun salah bila memandang Islam sebagai yang lebih buruk dalam hal ini dibanding dengan tradisi lainnya. Di Abad Pertengahan, posisinya adalah kebalikannya: pada masa itu kaum Muslim terperangah melihat cara-cara orang Kristen Barat memperlakukan perempuan-perempuan mereka di negara-negara Perang Salib. Kaum terpelajar Kristen mencela Islam karena memberikan terlalu banyak kekuatan kepada makhluk yang mereka pandang rendah seperti para budak dan perempuan.42 Kini ketika sebagian perempuan Muslim kembali pada busana tradisional mereka, ini tidak selalu berarti bahwa otak mereka telah dicuci oleh agama yang sovinis, melainkan karena mereka menemukan bahwa kembali ke akar budaya sangat memberikan kepuasan. Jika kita simak Bibel, ternyata ada kewajiban bagi umat Kristiani yang perempuan untuk berkerudung.
“Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia rnenudungi kepalanya.”43
Ini merupakan bantahan pada sikap imperialis Barat yang mengaku lebih memahami tradisi-tradisi dari pada mereka sendiri.
NOTES
25. Robert Morey, Ibid.
26. W Montgomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. Kurnia Sastrapraja & Badri Khoiruman, CV Pustaka Setia, Bandung, 2003, hal 141
27. Murad VV Hofman, Menengok kembali Islam kita, terj. Rahmani Astuti, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, hal 207.
28. Murad W Hofman, lok. cit.
29. Hamid Ahmad, KIAI HAMID Pasuruan, LISLam-Pasuruan, cetakan V, tahun 2003, hal. 40.
30. Q.S. 17:32
31. Q.S. 7 :81 ; 27 :55
32. Q.S. 4:34
33.Lihat Robert Morey, op. cit. hal 32,
Ali Dashti, seorang ahli mengenai Islam yang sangat terkenal, menyatakan:
“Dalam Masyarakat Arab sebelum Islam, para wanita tidak mempunyai status sebagai seorang merdeka, mereka dianggap menjadi milik kaum laki-laki. Segala macam perlakuan tidak manusiawi terhadap wanita masa itu sudah menjadi pemandangan yang biasa dan memang diijinkan.”
34. Robert Morey, op. cit., hal 34
35. Robert Morey, lok. cit.,
36.Q.S.4:7
37.Q.S.4:11
38. Q.S. 2:282
39. LA VIE JURIDIQUE DES POYPLES : (majalah hukum di Perancis), terbitan tahun 1949, volume VII, hal. 154.
40. Robert Morey, op. cit., ha132
41. Karen Armstrong, Muhammad sang nabi, terj. Sirikit Syah, Risalah Gusti, Surabaya, 2003, ha1-284
42. I Korintus, 11:6

Tidak ada komentar: