Cari Di Blog Ini

Senin, 28 November 2011

Kisah sesungguhnya larangan dari Rasulullah, Kenapa Sayyidah Fatimah tidak boleh dipoligami oleh Ali bin Abu Tholib ?

Debater Kristen copas fitnah Faithfreedom:
Mari kita lihat pendapat putrinya nabi muhamamad,fatimah ketika hendak dipoligami sama Ali bin Abi Thalib,
Ali bin Abi Thali berniat menikahi putri Abu Jahal. Ali bin Abi Thalib meminta izin kepada istrinya. mendengar berita itu, Fatimah marah dan melaporkannya kepada ayahanda, Muhammad. Seketika nabi Muhammad marah besar. para sahabat bersaksi bahwa mereka tidak pernah melihat muhammad semarah itu. Muhammad berkata kepada putrinya, “engkau adalah putriku. siapa yang membuatmu marah, berarti membuatku marah juga.”
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadist Almiswar bin Makhromah berkata : “Ali melamar putri Abu Jahal, lalu Fatimah mendengarnya lantas ia menemui Rasul Saw berkatalah Fatimah : kaummu meyakini bahwa engkau tidak pernah marah karena putrimu; Ali menikahi putri Abu Jahal, maka berdirilah Rasulullah Saw dan saya mendengar ketika dia membaca dua kalimat syahadat lalu berkata : aku menikahkan anakku dengan Abul As bin Robi’ dan diatidak membohongiku, sesunggunhya Fatimah itu bagian dari saya, dan saya sangat membenci orang yang membuatnya marah. Demi Allah putri Rasulullah dan putri musuh Allah tidak pernah akan berkumpul dalam naungan seorang laki-laki maka kemudian Ali membatalkan (lamaran itu)”. diriwayatkan Bukhori dan Muslim.
Rasulullah saw bersabda:
فاطمة بضعة مني يريبني ما أرابها ويؤذيني ما آذاها
“Fatimah adalah bagian dari diriku, menggoncangkan aku apa saja yang menggoncangkan dia, dan menyakitiku apa saja yang menyakitinya.”

Rasulullah berkhutbah di dalam mesjid di hadapan kaum muslimin. di situ hadir Ali bin Abi Thalib. maka Rasulullah berkata, “Demi Allah, selama Fatimah adalah putri Rasulullah, maka aku tidak akan mengizinkan putriku serumah dengan putri musuh Allah.”
Ali bin Abi Thalib pulang dari mesjid dengan sedih, karena merasa telah membuat rasulullah marah besar. sesampainya di rumah, Ali bin Abi Thalib langsung berbicara kepada Fatimah. “Wahai istriku, aku minta maaf, karena telah berniat menikahi putri Abu Jahal. hari ini, dimesjid rasulullah berkhutbah dan dengan marah mengatakan bahwa beliau tidak akan mengizinkan engkau serumah dengan putri abu jahal. aku tidak ingin membuat rasulullah dan putrinya marah. sudikah engkau memaafkanku?”
Fatimah menganggukan kepala dan menyatakan bersedia memaafkan Ali Bin Abi Thalib.. yg akhirnya tidak melakukan poligami. na loh kalian yg setujuh poligami !.. Fatimah aja nggak mau di madu !! Mengenai Fathimah Azzahra ra tentulah tak mengingkari poligami, dan ia tak akan mengingkari semua hukum Allah dan Sunnah Rasul saw.
Jawaban:
Sebagaimana ketika Usamah bin Zeyd ra meminta keringanan untuk seorang wanita muhajirin yg mencuri, maka Rasul saw naik mimbar dan berwasiat, “sungguh ummat sebelum kalian bila oran orang terhormat maka diringankan atas mereka, bila kaum dhuafa maka didirikanlah hukum, Demi Allah bila Fathimah putri muhammad mencuri maka Muhammad akan memotong tangannya” (shahih Bukhari hadits no.6406).
ini menunjukkan bahwa tak mungkin Rasul saw mengajarkan sunnah poligami namun melarang khusus untuk putrinya, maka ini adalah pemahaman yg keliru, dan tentunya Putri Rasulullah saw ini sangat mulia dg mencintai sunnah Nabi saw, dan bisa dipastikan bahwa wanita mulia ini adalah wanita yg paling mencintai sunnah, karena Fathimah ra adalah didikan Rasulullah saw.
Mengenai Rasul saw melarang Ali  bin Abu Tholib berpoligami, itu karena Ali Bin Abu Tholib berencana menikah dengan  putri Abu Jahal, dan tentunya Ali bin Abu Tholib ingin menyelamatkan putri Abu Jahal yang muslimah dari kekejian ayahnya, namun Rasul saw tak menyetujui itu, karena mensejajarkan putri beliau saw dengan Putri Abu Jahal akan membuat fitnah baru dengan mengatakan bahwa Rasul saw memerangi kuffar namun berbesan dengan musuh Allah, memerintahkan muslimin memerangi orang orang kafir namun menyambung hubungan keluarga dengan pimpinan Musuh Allah.
Kalangan antipoligami juga sering mengetengahkan hadits tentang larangan Rasulllah saw terhadap Ali berpoligami saat masih beristeri dengan puteri beliau, Fatimah ra. Mereka mengutip Hadits: Nabi saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah (kerabat Abu Jahl) meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka (anak Abu Jahl) dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku terlebih dahulu, Fatimah Bagian dari diriku, apa yang meragukan dirinya meragukan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya menyakiti hatiku, aku sangat kwatir kalau-kalau hal itu mengganggu pikirannya (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, Hadits: 9026).
Penggunaan Hadits ini untuk melarang poligami ternyata tidak sesuai dengan latar-belakang pelarangan tersebut. Nabi saw melarang Ali ra menikah lagi karena hendak dinikahi Ali ra anak musuh Allah Swt, Abu Jahl. Menurut Rasulullah saw tidak layak menyandi putri utusan Allah dengan putri musuh Allah. Sehingga, letak pelarangan tersebut bukan pada poligaminya, namun lebih kepada person yang hendak dinikahi. Beliau sendiri juga menegaskan, tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Hal ini dapat disimpulkan dari Hadits yang sama dari riwayat lain.
Dalam riwayat al-Bukhari, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Fatimah adalah dari diriku dan aku khawatir agama akan terganggu. “Kemudian beliau menyebutkan perkawinan Bani Abdi Syams dan beliau menyanjung pergaulannya, “Dia bicara denganku dan mempercayaiku, dia berjanji padaku dan dia penuhi. Dan sungguh aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah, jangan sekali-kali bersatu putri Utusan Allah dengan putri musuh Allah.” (H.R. Bukhari)
Sebab yang paling mungkin adalah sesuai perkataan beliau sendiri, bahwa mengguncang Fatimah sama saja dengan mengguncang Rasul. Beliau mencintai putrinya dan tidak ingin membiarkan keguncangan (apapun yg bisa beliau cegah, termasuk poligami) menyusahkan putrinya itu. Rasulullah pastilah sangat mengenal putrinya, tahu apa yg sanggup menguatkannya dan apa yg mengguncangkannya. Kalau Abu Bakar melepaskan putrinya Aisya mjd istri ke-sekian Nabi, maka itu adalah hak Abu Bakar karena ia mengenal putrinya itu. Tapi kalau Rasulullah melarang putrinya di poligami, hadis itu memberi pelajaran pada saya, bahwa seorang ayah bisa saja melepas putrinya dipoligami tapi bisa juga ia mencegahnya.
Selain itu penolakan Fatimah untuk dipoligami adalah memang karena Fatimah tidak siap dipoligami. Kesiapan setiap perempuan berbeda-beda. Dan seorang laki-laki tidak bisa menyamaratakan semua perempuan. Sebagaimana diisyaratkan dalam riwayat berikut ini:
Ibn Sa‘ad (168 H/764 M–230 H/845 M) dalam kitabnya, Al-Thabaqât Al-Kabîr, mencatat dialog menarik berikut ini: Amrah binti Abdurrahman berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Rasulullah, mengapa engkau tidak menikahi perempuan dari kaum Anshar? Beberapa di antara mereka cantik-cantik.’ Rasulullah menjawab, ‘Mereka perempuan-perempuan yang mempunyai kecemburuan besar yang tidak akan bersabar dengan madunya. Aku mempunyai beberapa istri, dan aku tidak suka menyakiti kaum perempuan berkenaan dengan hal itu.’”
Kesiapan mental setiap perempuan berbeda-beda. Karena itu, suami bijak yang ingin meneladani Nabi tidak akan memaksakan kehendaknya untuk berpoligami jika istrinya tidak siap dan sabar dimadu serta sangat pencemburu. Sebab, Nabi pun tidak suka menyakiti perasaan perempuan dalam hal ini. Memaksakan poligami terhadap istri yang tidak sanggup dimadu hanya akan menimbulkan gejolak yang tidak perlu dalam kehidupan berumah tangga. Ini tentunya menyalahi tujuan perkawinan sebagaimana diajarkan Allah:
untuk menciptakan ketenteraman (sakînah) dalam hati suami-istri (QS Al-Rûm [30]: 21).
Kutipan dari ENSIKLOPEDI MUHAMMAD, Afzalur Rahman, Jilid 4 (Muhammad sebagai Suami dan Ayah), h. 99, Pelangi Mizan, 2009):

Tidak ada komentar: