Cari Di Blog Ini

Minggu, 04 Desember 2011

Nasihat untuk Kyai Bukhori Maulana: Jauhi Dusta & Fitnah, Jadilah Jujur, Adil & Sopan



Nasihat untuk Kyai Bukhori Maulana: Jauhi Dusta & Fitnah, Jadilah Jujur, Adil & Sopan

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam Kenal,
Maaf saya hanya sedikit  tertarik dengan kejadian demi kejadian yang terjadi antara sebagian kaum NU dan sebagian pengikut Salafusshalih. Apalagi saya membaca hasil ceramah Kyai yang  begitu berapi-api.
Maafkan saya, saya hanya sedikit memberikan masukan atau info yang mungkin dapat membuat penilaian itu dapat adil dan proporsional.
Saya memahami amarah dari Kyai yang begitu menggebu-gebu, sungguh’ saya paham dan bisa mengerti. Kenapa? karena saya belajar agama dan banyak bergaul dengan teman-teman Salafi –dan alhamdulillah sampai sekarang istiqamah di jalan sunnah karena pengajaran yang diberikan ustadz-ustadz pengikut Salaf-.
Untuk itu maka saya ingin memberikan sedikit sharing degan Kyai: Pertama, saya ingin memberikan gambaran yang gamblang yang ada di seputar Salafi Indonesia. Kedua, gambaran salafiyun terhadap sebagian kaum NU. Ketiga, pelurusan pola berpikir, persepsi dan persangkaan yang keliru dari sebagian muslimin NU

PERTAMA, Mengenai sejarah Salafi, istilah Salafi, apakah itu Salafi, dan apakah itu Wahabi? Untuk memberikan penjelasan yang benar bukan fitnah, maka jalan yang paling baik adalah membaca buku-buku tentangnya yang ditulis langsung oleh orang salaf sendiri. Dengan demikian Kyai akan mendapatkan info yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, kalau ada ketidakjelasan tanyalah langsung Ustadz-nya jangan pendengarnya agar info pemahaman yang masuk tidak keliru. Dan tidak memahami sesuatu itu dari orang lain yang sebenarnya tidak paham akan sesuatu itu. Ibaratnya seperti dua orang buta, ketika ditanya gajah bentuknya seperti apa, ketika orang buta pertama memegang telinga dia bilang tipis lebar, ketika orang buta kedua memegang belalai dia bilang lonjong dan panjang namun ketika orang yang  bisa melihat, menggambarkan gajah dia mendiskripsikan yang sebenarnya. Maka bertanyalah pada orang yang bisa melihat..
Karena saya lihat dari perkataan Kyai, Salafusshalih dalam pengertian Kyai berbeda dengan yang dipahami kaum Salafi. Maka bertanyalah pada Ustadz Salafi, apa itu sebenarnya Salafi, Salafi atau salafiyun, atau benarkah istilah Wahabi, itu kalau sekiranya Kyai sudah baca buku tentangnya; agar pemahaman Kyai tentangnya sama sebagaimana yang kaum Salafi pahami, baru Kyai bisa memberikan penilaian secara objektif, tidak subjektif lagi.
Di sisi lain, Salafi diajarkan untuk bersikap ilmiah dan kritis. Ilmiah dalam artian harus berilmu dengan sumber yang valid, dengan rujukan yang detail dan kutipan yang benar serta dengan banyak perbandingan, tanpa boleh bersikap fanatic pada satu pendapat dan tanpa bertaklid pada satu tokoh tertentu, ditambah dorongan keharusan untuk menambah ilmu. Kritis dalam artian mengoreksi jika ada kesalahan meskipun pada Ustadz atau …pada Syaikh sekalipun, dengan membawakan dalil dan hujjah yang jelas dan benar, kemudian tidak mengikuti suatu pendapat sebelumnya, sebelum tahu dalilnya dari Qur’an dan sunnah dan pendapat ulama Salafusshalih yang  menyertainya.
Ini semua dilakukan karena begitu banyaknya ajaran Islam yang sudah bercampur baur, mulai dari kecampuran hadits palsu, munkar, dhaif; kecampuran tradisi turun temurun nenek moyang yang berasal dari agama Hindu yang di versi Islamkan kemudian di legalkan; kecampuran paham-paham manusia yang mengaburkan arti sesungguhnya, yang dapat di ketahui dari tidak adanya sumber yang benar yang jadi pegangan dan pertentangannya terhadap dalil yang shahih dan sharih.
Landasan kaum Salafi pun menjalankan agama sangat sederhana dan simpel, berpijak pada Qur’an dan sunnah dengan pemahaman mengikuti Salafusshalih. Dan orang-orang yang mengikuti prinsip ini, di manapun dia berada, dari manapun asalnya, dari organisasi manapun dia berkecimpung dan dari latar belakang apapun dia; maka dia dinamakan  ahlut Tauhid, ahlus sunnah, ahlul hadits, ahlul atsar, ahlusunnah wal jama’ah, salafy dan salafyun.
Dan untuk mendapatkan nama ini dia tidak perlu mendapatkan pengakuan siapa pun juga, cukup hanya dengan mengamalkan prinsip tersebut dengan benar maka secara otomatis dia berhak menyandang nama-nama tersebut. Dan pengakuan semata tanpa pelaksanaan yang nyata dan benar, maka pengakuan itu hanya dianggap sebagai pengakuan yang kosong belaka, yang hanya sekedar pengakuan.
Misal pengakuan Ahlussunnah wal Jama’ah, kalau dia benar-benar mengikuti hadits-hadits nabi yang shahih mulai dari tata cara ibadahnya sampai tata cara hidupnya dalam kesehariannya maka jadilah dia Ahlus Sunnah wal Jama’ah meskipun dia di puncak gunung sendirian, dan tanpa perlu harus masuk organisasi tertentu. Di katakan Al- Jama’ah karena dia mengikuti sunnah-sunnah/ hadits-hadits nabi yang dilakukan umat Islam yang lain mulai dari zaman dulu sampai zaman sekarang, maka secara bersama-sama mereka disebut Al-Jama’ah. Meskipun dia berada sendirian di tengah lautan dia tetap di sebut Al-Jama’ah. Itulah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Mengenai perselisihan di kalangan salafiyun, itu benar memang ada dan terjadi tapi perselisihan ini hanyalah yang berkenaan dengan masalah furu’iyah, sedangkan masalah aqidah dan prinsip tetap sama. Hal yang lumrah, karena di kalangan Kyai NU pun ada yang berselisih entah Kyai akui atau tidak, karena berita di Koran dan televisi tidaklah dapat dipungkiri.
Hanya saja memang terjadi, pemberian nasihat yang terkadang atau seringkali terasa blak-blakan tanpa etika sopan santun atau tanpa tata karma yang dapat diterima di sebagian masyarakat. Sifat-sifat yang seperti inilah yang seringkali menimbulkan kontroversi baik di kalangan salafiyun sendiri atau di khalayak umum. Para Masyaikh dan asatidz Salafi sendiri sudah seringkali memberikan nasihat untuk masalah ini dan terus di lakukan sampai sekarang, agar mereka dalam berdakwah lebih santun dan halus dalam penyampaian serta lebih mengedapankan contoh perilaku ketimbang perkataan.
Berkenaan dengan tujuan dari dakwah Salafi atau Ahlussunnah, adalah mengembalikan ajaran Islam sebagaimana asalnya, memperingatkan akan hadits-hadits dhaif , palsu dan munkar yang telah banyak beredar, meluruskan penyimpangan demi penyimpangan, membersihkan tambahan-tambahan yang berasal dari bid’ah, takhayul dan khurafat serta kesyirikan lainnya. Dengan hanya berpedoman pada Qur’an dan Hadits-hadits yang shahih berdasarkan pemahaman Salaf. Hanya melakukan apa saja yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabatnya dan  penerusnya. Dan tidak melakukan apa yang mereka belum pernah lakukan dalam perkara ibadah.

KEDUA. NU (Nahdlatul Ulama) merupakan organisasi yang berbasis keagamaan, dengan background keagamaan yang sangat beragam, mulai dari yang sangat traditional, modern sampai pluralis orientalis liberalis sejati pun ada.

NU dipandang hanyalah sebagai organisasi semata, dan yang menjalankan adalah kaum muslimin, dan bukanlah sekumpulan orang musyrik sebagaimana persangkaan Kyai terhadap orang-orang Salafi, buktinya  ketika pulang ke Desa atau sedang di jalan ketika shalat tetap shalat di masjid yang di jalankan kaum muslimin dari kalangan NU dan ikut shalat berjamaah bersama mereka, jikalau mereka dianggap musyrik maka tentunya orang-orang Salafi tidak akan pernah shalat di belakang mereka, tapi kenyataannya tidak.
Sedangkan masyarakatnya, orang-orang Salafi menganggap masyarakat NU juga masyarakat Islam, tidak pernah mereka mengatakan masyarakat musyrikin.
Jadi tidak ada yang berbeda antara pandangan orang-orang Salafi dengan pandangan Kyai.
...Saya harap kebaikan hati Kyai ketika menukil pendapat itu dengan jujur agar kita bisa bersikap adil, meskipun dalam keadaan emosi...

KETIGA. Pelurusan pola berpikir, persepsi dan persangkaan yang keliru dari sebagian muslimin NU.

1. Orang-orang Salafi tidak akan pernah berani menyebutkan hadits palsu….dan tolong sebutkan haditsnya yang mana….kalau ada yang Kyai atau teman Kyai anggap hadits palsu, …sebab mereka akan tunjukkan dengan sedetail-detailnya tentang sumbernya. And...Berani berbuat berani bertanggungjawab, kalau tidak bisa tunjukkan hadits-nya, sebaiknya Kyai atau teman Kyai meminta maaf secara terbuka dari fitnah yang mengada-ada.
Kyai Zainal Akifin juga menuding Salafi Wahabi sebagai gerakan yang  seenaknya memalsukan hadits, mengafirkan orang lain di luar kelompoknya dan menghalalkan darah kaum muslimin (http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/11/22/16776/masya-allah-warga-nahdiyin-boikot-muslim-yang-dituduh-salafi-wahabi).
2. Salafi tidak mengafirkan orang dengan seenaknya, karena untuk mengafirkan orang tertentu artinya tunjuk hidung atas nama si Fulan, diperlukan penerapan kaidah-kaidah/persyaratan:
a. Hujjah sudah disampaikan dengan jelas dan lengkap
b. Tidak ada penghalang yang menghalangi sampainya maksud dari hujjah tersebut.
c. Dia sadar setelah sampainya hujjah tersebut bahwa dia melakukan kekafiran dan tetap melakukannya
d. Yang memberikan vonis kafir tidak boleh sembarang orang tapi haruslah seorang ‘ulama.

Prinsip inilah yang dipakai dalam menjatuhkan kekafiran pada seseorang, lihatlah bagaimana bisa orang-orang Salafi seenaknya menjatuhkan sifat kafir pada orang lain. Apalagi subhanallahu ‘menghalalkan darah kaum muslimin’, na’udzubillah mindzalik. Apakah pantas ucapan fitnah seperti ini diucapkan seorang Kyai….?
3. Penyebutan kata kafir atau musyrik itu dibolehkan apabila di ucapkan secara mutlaq/umum; tidak mengkhususkan pada individu tertentu. Dan bisa juga ditujukan pada sebagian kelompok, itupun tidak menyalahi aturan manapun; misal: “Sebagian kaum muslimin telah melakukan kesyirikan dengan memotong tumbal hewan kambing untuk pembangunan jembatan”, “apabila ada kaum muslimin yang percaya pada ramalan ia telah melakukan kekafiran”.
...Janganlah karena kebencian  Kyai memberikan penilaian yang sangat subjektif dan sangat tidak adil. Apakah Kyai berani bertanggungjawab dunia-akhirat?...
Ini hanyalah permainan bahasa, kalau sekiranya Kyai tenang ketika menyimak, tentunya Kyai akan paham. Kecuali, kemungkinan adalah Kyai merasa tersinggung ketika disebutkan perbuatan tertentu itu ada di masyarakat yang Kyai asuh, sehingga Kyai bereaksi atas perkataan tersebut karena terkesan memojokkan Kyai dan masyarakat Kyai, padahal maksud sebenarnya nya tidak pernah ada tujuan mengarahkan pada subyek tertentu. Karena tidak mungkin ada satu Ustadz Salafi satupun yang berani menuding subyek tertentu, karena dia akan melanggar kaidah di atas, yang sudah di tetapkan para ulama.
4. Saya harap kebaikan hati Kyai ketika menukil ucapan/pendapat itu dengan jujur tanpa ditambah-tambahi ataupun dikurangi, agar kita bisa bersikap adil, meskipun dalam keadaan emosi.
5. Kalau Kyai ingin menasehati mereka secara baik, maka berilah mereka masukkan dengan hujjah yang benar, dengan dalil yang jelas, rujukannya jelas, disertai pendapat ulama (nama kitab, nomor hadits, nomor halaman, cetakan semuanya tolong disebutkan secara detail agar bisa di cek kebenaran rujukkannya). Saya yakin orang-orang Salafi tidak tertutup dari segala kritik, kalau misalnya Kyai ingin menasehati Ustadz Zainal Abidin Lc, Kyai bisa kirim surat ke beliau disertai dengan keterangan yang telah disebutkan di atas. Insya Allah Kyai bisa berteman baik dengan beliau.
...Kyai, bersikaplah yang adil dan jujur dalam menilai. Berkatalah yang sopan dan halus, ibarat padi 'semakin merunduk semakin jadi'.  Orang berilmu se harusnya semakin tawadhu’ dan rendah hati...
6. Menyimak berita berikut: “Ketua Lembaga Bahsul Masail FOSWAN Drs Muhammad Bukhori Maulana MA menyebutkan empat ciri fisik Salafi, yaitu celana cingkrang (tidak isbal), berjenggot tidak rapi, kening berbekas hitam dan wajah yang tidak enak dipandang”.
Saya hanya bisa tersenyum Kyai, sungguh, saya heran dari mana Kyai bisa mengambil kesimpulan seperti itu, sekiranya Kyai pernah membaca Kitab Shahih Muslim sampai selesai, mungkin Kyai tidak akan mengambil kesimpulan yang kesannya sangat dipaksakan dan mengada-ada. Atau mungkin Kyai kenal, Syaikh Sudais Imam Masjidil Haram yang suaranya sering diputar di masjid-masjid NU atau ketika ada acara keagamaan, beliau seorang Salafi; bagaimana jenggotnya apakah tidak rapi? Bagaimana wajahnya apakah tidak enak dipandang? Bagaimana suaranya apakah tidak enak di dengar?
Janganlah karena kebencian akhirnya Kyai memberikan penilaian yang sangat subjektif dan sangat tidak adil, dan yang sangat disayangkan ajaran islam pun Kyai jadikan kriteria, sekarang pertanyaannya berapa banyak orang yang mendengar perkataan Kyai kemudian mereka praktikkan, apakah Kyai berani bertanggungjawab dunia-akhirat?
Kyai saya yakin adalah orang yang bijaksana, jadi bisa menilai mana oknum dan mana yang bukan. Jadi jangan karena perbuatan segelintir orang akhirnya Kyai menyebut semua orang sama seperti itu.
...Orang  berilmu seharusnya semakin tawadhu’ dan rendah hati, jauh dari peribahasa 'tong kosong nyaring bunyinya'...
Misal: ketika banyak terjadi kasus korupsi yang menimpa orang Islam, maka orang di luar Islam banyak yang menuding orang Islam tukang korupsi, Islam agama yang mengajarkan korupsi, apakah Kyai terima? Apakah opini ini benar? Tidak bukan. Sama juga antara Salafi dan manhaj Salaf, yang menjalankan juga tetap saja seorang manusia, bisa berbuat salah. Sedangkan manhaj Salaf adalah manhajnya sahabat nabi, tentunya adalah manhaj yang selamat (Ahlussunnah).
Perihal acara tradisi yang diadakan sebagian masyarakat NU seperti tahlilan, tawassul ke kuburan dan lain-lain. Mungkin Kyai lupa, yang tidak melakukannya juga banyak dari kelompok atau organisasi lain, misal: Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islam, Masyumi dan bahkan LDII pun sepengetahuan saya tidak melakukan acara tradisi semacam itu. Bahkan menurut hemat saya satu-satunya yang melakukan tahlilan di dunia cuma ada di Indonesia saja hanya dari kalangan NU, kecuali agama lain-Hindu, koreksi saya jika penilaian ini salah. Lalu manakah yang benar?
Jadi Kyai, bersikaplah yang adil dan jujur dalam menilai. Berkatalah yang sopan dan halus, terlebih adab berbicara terhadap ‘Ulama seperti Ibnu Taimiyah, dan muridnya, bagaimana mungkin Kyai mengambil Ilmu kepada muridnya dengan mencela guru-nya, tahukah siapa yang saya maksud Kyai? Ibnu Katsir…Bukankah kitab Tafsirnya banyak di pakai di pondok-pondok NU. Ibarat padi, “semakin merunduk semakin jadi”, orang yang berilmu harusnya semakin tawadhu’ dan rendah hati, jauh dari peribahasa “tong kosong nyaring bunyinya”.
...Takutlah pada ucapan-ucapan  dusta, bersikaplah yang ilmiah. Jangan hanya karena nafsu hilang sifat terpuji pada diri Kyai...
Takutlah pada ucapan-ucapan yang dusta, bersikaplah yang ilmiah. Jangan hanya karena nafsu hilang sifat terpuji pada diri Kyai. Hargai orang lain maka kita pun akan dihargai, jauhi prasangka buruk kedepankan ukhuwah dan silaturahmi. Semoga Hidayah datang menghampiri.
Kalau ada kata-kata yang salah saya mohon maaf, ini semua hanyalah demi tujuan dan maksud yang baik. Apabila benar semua datangnya dari Allah jika salah itu dari diri saya pribadi dan syaitan.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ismail Abdullah

Tidak ada komentar: