http://fankinet.blogspot.com/2012/01/kesalahan-yang-sering-dilakukan-ikhwan.html
Kami sempat melakukanya diawal-awal kami mengenal dakhwah
ahlus sunnah wal jama’ah karena kebodohan kami akan ilmu. kemudian kami
ingin membagainya supaya ikhwan-akhwat bisa mengambil pelajaran dan
mengingatkan mereka yang telah lama mengenal anugrah dakwah ahlus
sunnah khususnya kami pribadi. Beberapa hal tersebut ada sepuluh berdasar pengalaman kami:
- Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar
- Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain
- Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah
- Keras dan kaku dalam berdakwah
- Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar
- Menganggap orang diluar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh
- Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu
- Tidak serius belajar bahasa arab
- Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik
- Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tengelam dengan kesibukan dunia
6. Menganggap orang diluar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh
Ikhwan-akhwat baru “ngaji” yang sedang semangat-semangatnya
berdakwah ada sebagian yang melihat orang diluar dakwah ahlus sunnah
adalah saingan mereka. Padahal mereka adalah sasaran dakwah juga bukan
saingan dakwah. Mereka adalah saudara seiman kita. Mereka berhak
medapatkan hak-hak persaudaraan dalam islam. Seharusnya kita
lebih mengasihi dan menyayangi mereka karena mereka punya semangat
membela dan menyebarkan islam hanya saja mereka sudah terlanjur salah
dalam memahami Islam. Mereka tidak seberuntung kita medapatkan anugrah dakwah ahlus sunnah. Contohnya:
- dikampus, ketika bertemu dengan teman-teman yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah, maka mukanya sangar, cemberut, tidak mau menyapa dan tidak membalas salam. Tidak mau duduk bermejelis dengan mereka dan merasakan suasana kekeluargaan islami. Dan parahnya, malah dengan orang kafir mereka lebih akrab dan hangat. Ketahuilah mereka saudara-sudara seiman kita yang lebih patut mendapat perhatian dan dakwah dari kita. Tidak heran jika saudara-saudara kita mengatakan:
“kok kita sesama orang islam saling gontok-gontokan, tapi berbaikan dengan orang kafir”
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
bertakwalah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” [Al-Hujurat:10]
- dikampung, ada ustadz /kiayi haji/ tuan guru/ tokoh masyarahat yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang seolah-olah meremehkan mereka, menganggap mereka aliran sesat, ilmunya salah dan ngawur, Tidak menghormati mereka. Padahal belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi mereka amalnya sedikit yang benar tapi sangat ikhlas, mengalahkan amal kita yang –sekiranya benar insyaAllah- tapi tidak ikhlas dan dipenuhi dengan riya’ dan dengan rasa sombong mampu beramal. Seharusnya kita memposisikan mereka sesuai dengan posisi mereka, menghormati mereka dan memilih kata-kata dakwah yang baik dan tidak terkesan menggurui. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memerintahkan agar kita memposisikan manusia sesuai dengan kedudukuannya masing-masing. Salah satu penerapan beliau adalah surat beliau kepada raja Romawi Heraklius:
Kemudian jika mereka tidak menerima dakwah kita maka ada sebagian
ikhwan-akhwat yang langsung mengangapnya sebagai musuh. Mereka akan
merusak agama islam, mencap sebagai ahli bid’ah dan syirik dan tahu
kaidah pembid’ahan dan pengkafiran. Padahal mereka tetap saudara kita dan masih berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تحاسدوا ولا تَناجَشُوا ولا تباغضوا ولا
تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ,وكونوا عباد الله
إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا
يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ
“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy,
jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi,
jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan
jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia
menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan
jangan merendahkannya.[HR. Muslim no. 2564]
Jika mereka tidak menerima, maka tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka terima Alhamdulillah , jika tidak diterima jangan dipaksa dan dimusuhi.
Karena kita hanya memberikan hidayah ‘ilmu wal bayan berupa penjelasan, sedangkan hidayah taufiq hanya ditangan Allah. Seharusnya kita mendoakan mereka semoga mandapatkan hidayah, bukan dimusuhi.
Lihatlah tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala
pergi ke Thaif untuk berdakwah sekaligus meminta perlindungan kepada
mereka dari tekanan kafir Quraisy setelah meninggalnya paman beliau Abu
Thalib. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dengan lemparan batu, caci-maki dan ejekan. Tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sampai berdarah-darah.
Perasaan beliau makin sedih karena saat itu tahun-tahun ditinggal juga oleh istrinya Khadijah radhiallahu ‘anha, pendukung dakwah beliau. Kemudian datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam memberi
tahu bahwa malaikat penjaga bukit siap diperintah jika beliau ingin
menimpakan bukit tersebut kepada orang-orang Thaif. Malaikat tersebut
berkata:
يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ، ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْن
“Wahai muhammad, terserah kepada engkau, jika engkau mnghendaki aku menghimpitkan kedua bukit itu kepada mereka”
Tapi apa yang keluar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ? doa kepada penduduk Thoif. Beliau berdoa:
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi
mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya
dengan apa pun” [kisah yang panjang bisa dilihat di shahih Bukhari no. 3231]
Subhanallah, kita sangat jauh dari cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah.Dan
terbukti doa beliau mustajab. Penduduk thoif tidak lama menjadi salah
satu pembela islam dan mengikuti peperangan jihad membela islam.
Mengenai berwajah sangar, seram dan cemberut terus seolah-olah prajurit perang yang marah. Mungkin
ini salah persepsi sebagian ikhwan-akhwat karena mereka sering dan
terlalu banyak melihat syirik, bid’ah dan maksiat dimana-mana.
Seolah-olah menunjukan mereka ingin mengingkari semuanya.
Tetapi Islam tidak mengajarkan demikian, seorang muslim berprinsip
“Berwajah ceria bersama manusia dan berlinang air mata akan dosanya saat
sendiri bermunajat kepada rabbnya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun
engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. [HR. Muslim no. 2626]
7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu
Ada sebagian ikhwan-akhwat yang terlalu tenggelam dan sibuk
membicarakan masalah perpecahan dan firqoh. Memang kita harus
mempelajarinya agar tahu mana yang selamat, akan tetapi kita jangan
terlalu menyibukkan diri membicarakan kelompok-kelompok tersebut.
Tema yang terlalu sering diangkat dalam
kumpul-kumpul,majelis dan pengajian adalah sesatnya kelompok ini,
jangan ikut kajian dengan kelompok itu, menerapkan hajr/memboikot disana-sini tanpa tahu kaidah meng-hajr. Akhirnya sibuk dan lalai mempelajari tauhid, aqidah, akhlak, fiqh keseharian dan bahasa arab.
Hendaknya kita lebih memprioritaskan pembicaraan tentang tauhid dan akidah. Itulah seruan pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin berdakwah. Beliau bersabda kepada Muadz radhiallahu ‘anhu yang diutus ke Yaman:
إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله ” – وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli kitab maka
hendaklah dakwah yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka
adalah syahadat Laa ila Illallah , dalam riwayat yang lain: supaya
mereka mentauhidkan Allah”. [Muttafaqun ‘alaih, lihat kitab tauhid syaikh Muhhammad bin Abdul Wahhab]
Selain membicarakan kelompok, sebagian ikhwan-akhwat juga sibuk membicarakan kesalahan dan kejelekan ustadz/tokoh tertentu. Mencap sebagai ahli bid’ah tanpa tahu kaidah pembid’ahan atau mencap kafir tanpa tahu kaidah pengkafiran.
Tidak mau ikut pengajian ustadz fulan, bahkan sampai tingkat ulama.
Syaikh fulan terjatuh dalam aqidah murji’ah, syaikh fulan ikut merestui
kelompok sesat, syaikh fulan sudah ditahzir/diperingati oleh syaikh fulan. Parahnya, info yang sampai ke dia hanya qiila wa qoola, berita-berita yang tidak jelas dan belum tahu apakah sudah tabayyun/klarifikasi atau belum. Akhirnya sibuk mencari-cari aib orang lain. Membicarakan kesalahan orang lain.
Seharusnya kita lebih banyak mencari kesalahan kita, merenungi
dosa-dosa kita yang banyak. Seharunya kita ingat perkataan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu:
يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع – في عين نفسه
“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” [HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih]
Ustadz/ tokoh tersebut jika memang ia salah. Belum tentu
kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi amal mereka sedikit yang benar
tapi sangat ikhlas. Sedangkan kita, seandainya banyak amal kita yang
sesuai sunnah tapi tidak ikhlas, dipenuhi riya’ dan rasa sombong mampu
beramal banyak. Ajaran islam mengajarkan agar kita tawaddhu’, rendah hati dan mengaggap orang lain lebih baik dari kita.
‘Abdullah Al Muzani rahimahullah berkata,
إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان
أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان
أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني،
فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.
“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia
dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih
tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.”
Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau
melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.”[ Hilyatul Awliya’
2/226, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Asy-Syamilah]
8. Tidak serius belajar bahasa arab
Mungkin ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” sekalipun sudah tahu bahwa
hukum mempelajari bahasa Arab, yaitu fardhu. Ada juga yang merinci
fardhu ‘ain bagi mereka yang mampu belajar dan bagi orang-orang yang
akan banyak berbicara agama seperti calon ustadz dan aktifis dakwah.
Kemudian fardhu kifayah bagi mereka yang tidak mampu otaknya seperti
orang yang sangat tua. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah:
“Disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan
hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi
Syaibah, dari ‘Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Umar bin Yazid, beliau
berkata: Umar bin Khottob menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang
isinya), “Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah
Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.” [Iqtidho’Shirotal Mustaqim hal 527 jilid I, tahqiq syaikh Nashir Abdul karim Al–‘Aql, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof]
Bahasa Arab sangat penting, karena sarana memahami islam. Sehingga
kita bisa mudah menghapal Al-quran dan hadist, mudah tersentuh dengan
Al-Quran, memahami buku-buku ulama. Hanya orang yang menguasai bahasa
arab yang bisa merasakan manisnya menuntut ilmu.
Tetapi ada sebagian ikhwan-akhwat yang lalai belajar bahasa Arab,
tidak serius dan ada juga yang menyerah belajar bahasa arab. Hal ini
membuat mereka kurang kokoh dalam beragama. Dan setelah
diperhatikan, Ikhwan-akhwat yang kemudian kendor menunut ilmu dan
hilang semangat belajar agama bahkan futur adalah mereka yang tidak
serius belajar bahasa arab.
Prosesnya mungkin seperti ini: pertama mereka
semangat ikut kajian disana-disini, kemudian mulai bosan dengan kajian
yang temanya itu-itu saja. Dan berpikir materi seperti ini bisa dibaca
dirumah dan diinternet. Akhirnya hilang dari pengajian dan kumpulan
orang-orang shalih. Kemudian dengan membacapun agak bosan [inipun kalau
ia rajin membaca], Karena buku-buku terjemahan dan artikel materinya
sangat terbatas. Akhirnya ia malah disibukkan dengan hal-hal yang
kurang bermanfaat seperti facebook dan internet terus, ngobrol-ngobrol
tentang akhwat padahal belum mau nikah dan lain-lain. Bahkan
terjerumus dalam hal-hal yang haram. Ibnu Qayyim Al Jauziyah berkata:
“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa Asy Syafi, hal. 109).
Berbeda dengan mereka yang mengusai bahasa arab. Mereka
semakin tertantang untuk belajar banyak ilmu dan tingkatan ilmu yang
lebih tinggi seperti ilmu mustholah hadist, kaidah fiqh, ushul fiqh,
mendengarkan muhadharah/ceramah syaikh dan menelaah kitab-kitab ulama yang tebal dan berjilid-jilid. Sehingga mereka selalu disibukkan dengan ilmu, dakwah dan amal. Merasakan kebahagian dan manisnya ilmu syar’i.
9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik
Lingkungan dan teman sangat penting, karena sangat berpengaruh
dengan diri kita. Ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” biasanya masih mudah
goyang dan tidak stabil, karena diperlukan teman-teman yang shalih dan
baik. Bisa dilakukan dengan tinggal di wisma atau kost-kostan
khusus ikhwan dan khusus akhwat. Atau jika memungkinkan pindah
kelingkungan sekitar pondok atau perumahan yang banyak ikhwannya. Atau
jika tidak bisa, sering-sering silaturahmi ke ikhwan-akhwat yang shalih
dan shalihah serta berkumpul bersama mereka. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” [ At Taubah: 119]
ika tidak, maka sudah sering terdengar cerita banyak ikhwan-akhwat
yang dulunya semangat “ngaji” sekarang sudah futur dan hilang dari
peredaran dakwah.Bahkan lingkungan dan teman yang baik dibutuhkan bagi
semua orang.
Mengenai teman yang baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ
الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ
الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ
الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا
خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang
yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan
pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau
bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan
pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus
terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” [HR. Bukhari no. 2101]
Perlu diperhatikan bahwa hati manusia lemah, apalagi jika sendiri. Perlu dukungan, saling menasehati antarsesama. Selevel Nabi Musa ‘alaihissalam saja memohon kepada Allah agar punya teman seperjuangan yang bisa membantunya dan membenarkan perkataannya, yaitu Nabi Harun alaihissalam . Beliau berkata dalam Al-Quran:
وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ
“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku , maka
utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan
(perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”.[Al-Qashash:34]
10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tengelam dengan kesibukan dunia
Penyebab terbesar futur adalah point ini.
Majelis ilmu adalah tempat mere-charge keimanan kita, setelah terkikis dengan banyaknya fitnah dunia yang kita hadapi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ
كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ
عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ
الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka
membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka
ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi
mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya”.
[HR. Muslim nomor 6793]
Dan orang-orang shalih adalah pendukung dan penguat iman kita dengan
saling menasehati. Dimana dengan berteman dengan mereka, maka kita
akan sering mengingat akherat dan menjadi tegar kembali dalam beragama.
sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,
وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه، فما
هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً
وطمأنينة
“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan
takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka
buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi
beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan
ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan
berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” [Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Asy-Syamilah]
Tidak sedikit kita mendengar berita:
- ikhwan yang dulunya semangat mengaji dan menjadi panitia-panitia kajian, kemudian bekerja di perusahaan kota A dengan gaji yang menggiurkan sekarang sudah potong jenggot, isbal, berpacaran dan seolah-olah menjauh dari ikhwan-ikhwan jika di sms atau ditelpon.
- akhwat yang dulunya semangat menuntut ilmu,memakai jilbab lebar, memakai cadar bahkan purdah, kemudian melanjutkan studi S2 atau S3 dikota B atau diluar negeri, kemudian terdengar kabar bahwa ia sudah memakai jilbab ala kadar yang kecil “atas mekkah bawah amerikah”.
Terkadang kita tidak percaya dengan berita-berita seperti ini.
Bagaimana mungkin dulu ia adalah guru bahasa arab, imam masjid dan jadi
rujukan pertanyaan, sekarang menjadi seperti itu. semua ini bisa jadi
karena tenggelam dengan kesibukan dunia dan terkikis fitnah secara
perlahan-lahan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkannya seperti tikar, beliau bersabda:
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا
“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. [HR.Muslim no 144]
Demikian yang dapat kami jabarkan. Dan dampak dari beberapa kesalahan tersebut adalah:
- Merasakan kesempitan hidup setelah mengenal dakwah ahlus sunnah
- Dakwah tidak diterima oleh orang lain
- Merusak nama dakwah salafiyah ahlus sunnah dan memberi kesan negatif
- Memecah belah persatuan umat Islam
Kemudian marilah kita banyak-banyak berdoa agar diberi istiqomah beragama yang merupakan anugrah terbesar.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik” artinya: ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu’ [HR. Tirmidzi no 2066. Ia berkata: “Hadits Hasan”, dishahihkan oleh Adz-Dahabi]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa
sallam.
Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
6 Syawwal 1432 H, Bertepatan 5 September 2011
Penyusun: Raehanul Bahraen
Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar