ARIUS DAN KAISAR KONSTANTIN
Kehidupan Arius sangat erat kaitannya dengan Kaisar Konstantin I, kaisar Imperium Romawi. Sehingga kita tidak bisa memahami sejarah kehidupan salah satunya, tanpa memahami orang satunya lagi. Kisah Konstantin menaruh perhatiannya kepada Gereja berawal dari kekhawatirannya terhadap kedudukannya di Roma. Kaisar yang bernama lengkap Flarius Valerius Aurellius Constantinus ini merasa cemburu terhadap putra mahkota bernama Crispus (Flavius Julius Crispus). Putra ini sangat termahsyur, karena posturnya yang menawan dan sikapnya yang ramah, disertai keberaniannya di medan pertempuran. Agar namanya tetap bertahan sebagai figur kaisar Romawi, dan tidak tenggelam oleh ketenaran nama putra mahkotanya, maka Konstantin membunuh Crispus. Kematiannya menimbulkan duka rakyat Romawi. Di balik pembunuhan itu, ada berita bahwa ibu tiri putra mahkota itu menginginkan putra kandungnya sendiri yang akan menjadi kaisar, sehingga dia berniat untuk menghabisi Crispus. Akhirnya Konstantin menjatuhi hukuman mati kepada ibu tiri itu dengan membenamkannya ke dalam air mendidih. Para pendukung permaisuri yang mati itu bergabung dengan para pecinta putra mahkota menuntut atas kematian kedua orang itu. Konstantin dalam posisi tersudut dan meminta bantuan pendeta Kuil Yupiter di Roma. Tetapi para pendeta itu mengatakan, bahwa tidak ada kebaktian atau korban yang bisa menghapus dosa pembunuhan yang telah dilakukannya. Suasana yang tegang di Roma membuat dia tidak merasa tentram, sehingga Konstantin pun pergi ke Bizantium.
Setelah tiba di sana, dia mengubah nama kota di pinggir selat Bosporus itu sesuai dengan namanya, Konstantinopel, yang selanjutnya menjadi ibukota Kekaisaran Romawi Timur. Di tempat baru itulah dia melihat perkembangan Gereja Paulus yang sangat menakjubkan. Konstantin mendapat pelajaran, bahwa bila dia mau bertobat dan mengakui dosanya di gereja, maka dosa itu akan diampuni. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya untuk membersihkan nama dan tangannya yang telah dikotori lumuran darah dua pembunuhan dan keputusan-keputusan jahat selama dia berkuasa. Setelah merasa terbebas dari beban dosa, dia pun mencurahkan pikirannya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh imperiumnya. Dia melihat adanya kemungkinan memperalat Gereja untuk meraih tujuannya dan menunjukkan loyalitasnya, dengan cara memberi kebebasan kepada Gereja untuk berkembang, yang sebelumnya telah ditindas dan dibinasakan oleh Kaisar Diolektianus (284-305 M). Berkat dukungan Konstantin inilah perkembangan gereja semakin kuat dan pesat. Sebaliknya dia mendapatkan keuntungan yang besar, karena wilayah sekitar Laut Tengah dipenuhi oleh gereja, yang pemeluknya dapat dipergunakan untuk mendukungnya di medan perang. Bantuan pendeta merupakan faktor yang sangat penting untuk menyatukan Eropa dan Timur Tengah di bawah kekuasaan Konstantin. Karena rasa terima kasih kepada Gereja di satu sisi, dan ingin menyudutkan para pendeta Kuil Yupiter di Roma yang tidak mau membantunya, pada sisi lainnya, dia mengajak Uskup Roma (yang selajutnya dinamakan paus oleh Paus Gregorius XVI untuk membedakan dengan petinggi gereja atau patriarkh di Timur) untuk membangun gereja yang besar dan megah di kota Roma. Dari posisi terjepit di kota itu, Kristen kemudian diberi fasilitas-fasilitas yang luar biasa oleh Konstantin. Di samping itu dia membiayai pembangunan gereja yang besar dan megah di bukit Zion, Yerusalem.
Walaupun dia telah memberikan bantuan besar dan masuk agama Kristen, tetapi dia belum pernah dibaptis, sebab pengaruh paganisme yang menyembah Dewa Yupiter dan dewa-dewi lainnya masih sangat dominan. Oleh karena itu Konstantin bersikap menjaga keseimbangan, yang kadangkala dia menampakkan diri seakan-akan sebagai pemuja dewa itu. Sikap seperti itu berlangsung cukup lama sampai meledaknya pertentangan di tubuh Kristen, antara denominasi Gereja Paulus (Pauline Church) yang memegang konsep Trinitas dengan denominasi Gereja Rasuli (Apostolic Church) yang menganut paham Unitarian (Adopsionisme).
Tokoh paling terkemuka denominasi Unitarian (pandangan Adopsionis) waktu itu adalah Arius dari Aleksandria, salah seorang Dewan Gereja yang sangat terkenal dalam sejarah dunia Kristen. Dia lahir tahun 250 di Libya dan belajar di perguruan Antiokia yang dibimbing oleh Lucius. Ia merupakan kekuatan baru bagi Gereja Rasuli yang menghidupkan dan mempertahankan ajaran Yesus yang murni, dengan semboyan: “Ikutilah Yesus menurut yang diajarkan oleh-Nya”, serta menentang ajaran-ajaran Kristen yang diciptakan oleh Gereja Paulus. Keagungan nama Arius pada masa itu dapat dilihat dari namanya yang sampai sekarang disinonimkan dengan denominasi Unitarianisme, yakni aliran yang meyakini bahwa satu-satunya tuhan hanyalah Tuhan ALLAH (Bapa), dan Yesus adalah pelayan dan utusan yang dikirim Allah.
Gereja Paulus menerima pukulan telak dari pihak Arius. Mereka mengakui, Arius bukan hanya seorang ahli perencana saja, melainkan juga sebagai orang yang jujur dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Pada saat tradisi lisan (oral tradition)—yang mempertahankan ajaran Yesus—mulai lumpuh, dibarengi dengan pemahaman Tradisi Tulisan semakin menyimpang jauh, maka Arius tampil dengan segala keberanian dan kegigihannya mempertahankan ajaran Yesus yang telah disampaikan oleh para muridnya secara murni, serta menentang persekutuan pihak gereja dengan Kaisar Konstantin.
Arius adalah murid Lucian dari Antiokia (yang kemudian Santo Lucian) yang paling keras mengecam Gereja Paulus. Oleh karena dia selalu diincar pembunuhan oleh aliran Trinitas. Arius menyadari akan bahaya yang mengancam jiwanya. Walaupun riwayat hidup masa mudanya tidak begitu jelas, tetapi dia tercatat menjadi tokoh besar Gereja Becaulis Aleksandria.
Sampai pada masa Konsili Nicaea tahun 325 M, perbedaan keyakinan di kalangan Kristen sangat beragam. Karena kepercayaan di kalangan Kristen sangat beragam. Karena kepercayaan berdasarkan kemauan dan pilihan masing-masing individu. Sebelum gereja mendapatkan kebebasan dari Imperium Romawi, perbedaan keyakinan itu menimbulkan pertentangan sengit, yang pada akhirnya mengakibatkan pertikaian antarkelompok Kristen. Bahkan sering terjadi penangkapan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan gelap.
Ketika Konstantin menjalin aliansi dengan Gereja, terjadilah perubahan dramatis. Meskipun waktu itu Konstantin masih menjabat kepala negara yang penduduknya mayoritas menganut paganisme, tetapi secara terbuka memberi bantuan kepada gereja, yang pada masa itu mungkin perbedaan antara Gereja Paulus (Pauline Church) dengan Gereja Rasuli (Apostolic Church) belum begitu tajam. Dengan demikian, Kekristenan memperoleh kedudukan baru di bawah naungan Kaisar Romawi. Bagi kebanyakan orang, perkembangan Kristen seperti ini menimbulkan masalah politik. Sebagian orang yang dulunya menentang agama itu, berbalik mendukungnya karena mendapat tekanan dari pemerintah. Oleh karena itu mereka memeluk agama Kristen bukan karena panggilan hati nuraninya, melainkan karena tujuan-tujuan tertentu. Perubahan situasi itu sangat menguntungkan pihak Kristen. Gereja Paulus dan Gereja Rasuli masing-masing berkembang pesat ke seluruh wilayah Imperium Romawi, mengakibatkan pertentangan kedua aliran itu semakin tajam di setiap daerah.
Konstantin yang pada waktu itu masih belum memahami ajaran Kristen, hanya ingin mendapatkan keuntungan politis bila tercipta kesatuan gereja yang tunduk padanya, dan berpusat di Roma, bukan Yerusalem. Ketika para jemaat Gereja Rasuli (Apostolic Church) menolak untuk memenuhi keinginan kaisar itu, Konstantin berusaha melakukan tekanan-tekanan terhadap mereka. Tetapi setiap tekanan itu tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Para jemaat Gereja Rasuli yang menganut paham Unitarian itu tetap menolak untuk tunduk kepada Uskup Roma1 (Paus).
Pertentangan semakin tajam mengenai pokok-pokok keyakinan di dalam agama Kristen. Sementara itu doktrin Trinitas telah diterima sepenuhnya oleh pihak-pihak tertentu dalam dunia Kristen. Sedangkan pihak Donatus, Melitus, terutama Arius menentang doktrin tersebut. Setelah lebih dari dua abad, doktrin itu menjadi bahan perdebatan, tidak ada pihak yang bisa memberikan penjelasan dan penafsiran yang memuaskan. Karena banyak pihak yang menentangnya, semakin banyak membutuhkan penjelasan dan definisi dogma itu. Pihak gereja harus memberikan definisi tentang sifat kemanusiaan dan sifat ketuhanan Yesus. Serta memberikan penjelasan mengenai hubungan oknum yang satu dengan oknum lainnya dalam Trinitas. Gereja harus menunjukkan definisi yang akurat mengenai hubungan ketuhanan Yesus dengan Perawan Maria, ibunya. Karena setiap orang Kristen selalu dihadapkan pada sekian banyak masalah dogma Trinitas, maka surat pertanyaan yang dikirim kepada pihak Kepausan di Roma semakin menggunung.
Surat jawaban dari Paus ternyata tidak bisa memberikan kepuasan bagi semua pihak. Arius tampil mengajukan tantangannya kepada pihak Paus untuk memberikan definisi yang logis dan rasional mengenai doktrin Trinitas. Arius sendiri memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Jika Yesus itu sebagai anak Tuhan, berarti Bapa [Allah] harus ada terlebih dahulu dari pada Yesus. Justru sebelum ada Anak [Yesus], harus ada jarak waktu. Dalam jarak waktu itu sang Anak belum ada. Dengan demikian sudah pasti, bahwa Anak [Yesus] itu diciptakan oleh Allah dari esensi yang sebelumnya tidak ada. Oleh karena itu Yesus tidak sama dengan Bapa [Allah].”
Kalangan gereja Trinitas merasa terjungkal. Patriarkh Alexander mengundang Dewan Gereja untuk mempersoalkan pendapat Arius itu. Sekitar seratus uskup dari Mesir dan Libya menghadiri undangan itu untuk meminta pertanggungjawaban dari Arius. Untuk mempertahankan keyakinannya, Arius mengajukan argumentasi yang tidak bisa dibantah sebagai berikut:
“Ada suatu tempo, yang di dalam tempo waktu itu Yesus belum ada, sedang Allah bersifat Maha Dulu dan Maha Abadi. Karena Yesus adalah makhluk Allah, maka dia bersifat fana (tidak kekal), dan sudah tentu tidak memiliki sifat abadi. Karena Yesus itu makhluk, maka dia termasuk obyek bagi perubahan seperti makhluk berakal lainnya. Karena hanya Allah saja yang tidak berubah, maka Yesus bukanlah oknum Tuhan.”
Di samping menggunakan akal budi (logika), dia pun mengukuhkan argumentasinya dengan mengutip ayat-ayat Alkitab untuk membantah doktrin Trinitas seperti:
“Jika Yesus sendiri telah mengatakan: “Bapa lebih besar dari pada Aku.” (Matius 14:28), bagaimana kita bisa percaya bahwa Allah dan Yesus itu sama?. Kepercayaan seperti itu sangat bertentangan dengan firman Yesus sendiri di dalam Kitab Suci.”
Pendapat Arius ini tidak bisa dibantah oleh semua uskup yang hadir pada sidang itu. Tetapi Patriarkh Alexander, dengan menggunakan kekuasaan jabatannya, menjatuhkan vonis “Hukuman Pengucilan Gereja” terhadap Arius.
Dalam tradisi gereja, siapa yang mendapat hukum pengucilan (ekskomunikasi) itu, tumpahan darahnya menjadi “halal”. Pembunuhnya akan mendapatkan jaminan keselamatan (surga), karena telah berjasa membasmi pembawa ajaran sesat (bidaat)! Tetapi Arius mempunyai banyak pengikut yang pengaruhnya sangat luas, dan tidak dapat dianggap enteng oleh pihak Gereja Trinitas (Gereja Barat), apalagi para uskup wilayah Timur tidak membenarkan vonis Patriarkh Alexander itu.
Pertentangan masalah keyakinan ini semakin memuncak. Alexander berada pada posisi yang terjepit, bahkan sangat kecewa karena para uskup wilayah Timur mendukung Arius. Terutama Eusebius dari Nicomedia (wafat 342 M), sahabat Arius yang sangat berpengaruh di istana Konstantinopel, dan Eusebius Caesarea (260-340 M) memberikan dukungan yang sangat besar kepada Arius. Dua orang ini dan Arius adalah murid Lucian. Pembunuhan gelap terhadap guru mereka, membuat hubungan ketiga murid itu semakin erat.
Sampai sekarang kita bisa melihat surat Arius yang dikirim kepada Eusebius Konstantinopel, setelah dia dijatuhi vonis “hukuman pengucilan” (ekskomunikasi) dari Alexander. Di antara surat itu berbunyi: “Kami dihukum karena menyatakan, Yesus itu mempunyai permulaan, sedangkan Allah tidak mempunyai permulaan.”
Catatan mengenai pertentangan tajam waktu itu, sangat sedikit sekali yang bisa kita jumpai. Surat-surat yang masih selamat, menunjukkan, Arius tabah mempertahankan ajaran Yesus yang murni dan yang bebas dari perubahan, dan sama sekali tidak menghendaki perpecahan dalam Kristen. Sedangkan kumpulan surat-surat Alexander memperlihatkan, penggunaan bahasa yang tidak sopan terhadap Arius dan para pendukungnya. Di antara surat-surat itu Alexander pernah menulis sebagai berikut:
“Mereka sudah dikuasai Iblis yang merasuk dalam diri mereka. Mereka adalah tukang sulap dan penipu yang cerdik merayu. Mereka kelompok penyamun yang hidup dalam persembunyian, yang siang malam mengutuki Kristus mereka mendapatkan banyak pengikut dengan memperalat wanita tunasusila.”
Surat yang bernada kasar itu membangkitkan kemarahan Eusebius. Beliau mengundang uskup-uskup wilayah Timur untuk menjelaskan duduk persoalannya. Pertemuan para uskup itu menghasilkan keputusan untuk mengirim surat pada seluruh uskup wilayah timur dan barat, agar mendesak Patriakh Alexander untuk mencabut hukuman yang dijatuhkan kepada Arius. Alexander mau mencabut vonisnya, asalkan Arius mau tunduk kepadanya. Syarat itu ditolak oleh Arius, dan ia pergi ke wilayah Palestina untuk membina jemaat Kristen di tempat itu. Alexander mengirimkan surat kecaman terhadap Arius dan Eusebius kepada seluruh pelayan-pelayan gereja Katolik. Alexander menuduh, Eusebius mendukung Arius bukan karena keyakinan yang dianut oleh Arius, melainkan disebabkan oleh kepentingan ambisius.
Kaisar Konstantin melihat situasi di tubuh Kekristenan semakin memburuk. Dia terpaksa turun tangan dengan mengirimkan surat kepada kedua pihak. Kaisar itu sangat mengharapkan kesatuan pendapat dalam agama. Karena hal itu akan menjamin stabilitas daerah yang dikuasainya. Dia meminta keduanya melupakan masalah yang dipertentangkan.
Sementara itu terjadi persengketaan antara Konstantin dengan saudara iparnya, Lucianus, yang menguasai wilayah Tracia. Dalam pertempuran tahun 324 M, Lucianus tewas terbunuh. Karena dia termasuk pendukung Arius, kematiannya mengakibatkan posisi Arius mengalami banyak kemunduran. Sekalipun Konstantin memenangkan peperangan, tetapi dia tidak mampu membendung kerusuhan yang melanda beberapa wilayah Romawi. Kaisar tidak mempunyai jalan lain, kecuali dengan cara mengundang seluruh uskup untuk menyelesaikan persoalan rumit itu di bawah tekanan persenjataan. Posisi dirinya yang masih menganut paham paganisme, bisa menguntungkan dia, karena tidak termasuk pengikut salah satu aliran Kristen, dan bisa menjadi pemimpin sidang dan penengah yang tidak memihak. Konstantin diberi restu oleh para uskup untuk menjadi pemimpin sidang, karena tidak ada pihak yang menyetujui aliran lain memimpin sidang itu. Sidang para uskup tahun 325 Masehi yang dipimpin oleh Konstantin itu terkenal dengan sebutan Konsili Nicaea.
Anggota sidang Gereja Semesta yang pertama kali kebanyakan terdiri dari para uskup yang masih lugu, jujur, dan berpegang teguh pada keyakinan yang dianutnya. Di saat itulah secara mendadak mereka harus berhadapan dengan tokoh-tokoh yang menguasai filsafat Yunani. Sehingga mereka tidak bisa memahami ungkapan-ungkapan filosofis yang didengarnya. Sebaliknya, mereka kehilangan kemampuan untuk mengungkapkan pendapatnya, apalagi harus menghadapi argumentasi pihak lain yang berdasarkan logika. Oleh karena itu, mereka harus memilih salah satu dari dua pilihan, bertahan pada keyakinannya secara diam-diam, atau menyetujui apa saja yang diputuskan oleh pemimpin sidang.
Wakil-wakil dari pihak Gereja Paulus (Trinitas), seperti Gereja Roma, yang mempertahankan Tiga Oknum, ternyata mereka hanya mampu menunjukkan Dua Oknum (Binitarian), yakni Allah Bapa dan Anak (Yesus). Mereka tidak berdaya untuk mencari dalil dari Alkitab bahwa Roh Kudus itu adalah salah satu dari oknum Tuhan.
Para uskup murid Lucian seperti Arius, dengan mudah menyudutkan pihak Gereja Paulus dari masalah satu ke persoalan yang lain dalam Trinitas. Pihak Unitarian mengakui, di dalam Alkitab, Yesus memanggil Allah dengan kata “Bapa” dan menyebut dirinya dengan kata “Anak”, tetapi mereka menunjukkan kepada lawannya mengenai firman Yesus yang berbunyi: “Dan janganlah kamu memanggil Bapa kepada seorang pun di dunia ini, karena satu saja Bapa kamu, yaitu yang ada di Sorga.” (Matius 23:9) Dengan demikian oknum “anak” itu bukan hanya satu—bukan Yesus saja, melainkan berjuta-juta manusia!
Pihak Trinitarian tidak mampu mematahkan argumentasi pihak Unitarian (Adopsionisme), sebab kepercayaan terhadap doktrin Trinitas yang diyakini oleh mereka tidak berdasarkan pada Alkitab, terutama Injil. Dengan susah payah mereka berusaha ingin membuktikan (berapologi) bahwa Alkitab telah menyatakan “Yesus itu bayangan Allah yang Maha Benar”. Pihak Unitarian menjawab: “Kita sebagai manusia adalah bayangan dan kemegahan Tuhan. Jika dikatakan bahwa bayangan Allah adalah Tuhan, berarti seluruh manusia itu adalah Tuhan!”
Perdebatan dalam sidang semakin meruncing, dan semua pihak merasa pesimis terhadap hasil sidang itu. Pada akhirnya masing-masing pihak saling mengharapkan dukungan Kaisar yang memegang keputusan akhir. Constantia (Flavia Julia Constantia), adik tiri Kaisar Konstantin, adalah penganut paham Unitarian, memberitahu Eusebius dari Nicodemia bahwa sang Kaisar ingin mempersatukan gereja. Karena perpecahan akan membahayakan posisi kekaisaran. Jika tidak tercapai persetujuan dan kesamaan keyakinan, mungkin kaisar akan kehilangan kesabaran dan menarik bantuannya kepada Gereja, yang akan mengakibatkan keadaan Kekristenan lebih memprihatinkan dari pada sebelumnya.
Eusebius berunding dengan Arius bersama sahabat lainnya, dan mengambil kebulatan tekad untuk mempertahankan keyakinannya, serta menolak doktrin Trinitas yang mungkin akan mendapatkan suara mayoritas dalam Konsili Nicaea itu.
Dukungan Konstantin terhadap Gereja Paulus akan menambah kekuasaan Gereja, dan akan mampu mengakhiri Gereja Rasuli (Unitarian) di Afrika Utara dengan segala bentuk kekerasan. Untuk mendapatkan dukungan itu, Gereja Paulus menyetujui perubahan-perubahan pada ajaran Kristen. Karena pemujaan kepada Dewa Matahari Sol Inviticus sudah menjadi tradisi bangsa Romawi pada waktu itu, dan kaisarnya dipandang sebagai perwujudan dari Dewa Matahari, maka Gereja Paulus menyusun rumusan sebagai berikut:
1. Hari Minggu (hari Dewa Matahari Sol Inviticus) bangsa Romawi dijadikan hari Sabat bagi agama Kristen.
2. Hari kelahiran Dewa Matahari tanggal 25 Desember dijadikan hari kelahiran Yesus.
3. Lambang Dewa Matahari, Salib Sinar, dijadikan lambang agama Kristen [sebelumnya lambang salib ditolak oleh ajaran Kristen mana pun].
4. Untuk menyatukan upacara ritual bagi Dewa Matahari dan Yesus, patung Dewa Matahari pada salib diganti dengan patung Yesus.
Kaisar merasa puas, karena jurang perbedaan antara Kekristenan dengan paganisme yang dianut oleh bangsa Romawi bisa diakhiri. Akhirnya Trinitas itupun diterima dengan suara terbanyak sebagai keyakinan (ajaran) resmi dalam agama Kristen. Pengertian Keesaan Tuhan dalam bahasa Yesus telah berubah maknanya setelah disalin dalam bahasa filsafat Neo-Platonisme yang dikenal dengan Mystic Trinity (Misteri Trinitas). Setelah perubahan pengertian Keesaan Tuhan diterima oleh suara terbanyak, langkah perumusan ajaran Kekristenan lainnya semakin jauh menyimpang dari ajaran Yesus. Rumusan Syahadat Nicaea yang dikenal sampai saat ini adalah rumusan yang ditandatangani oleh peserta konsili itu, dengan mendapatkan dukungan kaisar Konstantin.
Karena pihak Arius tidak mau mengakui keputusan Konsili itu, maka diumumkan anatema (kutukan) terhadap ajaran Arius, sebagai berikut: “Bagi orang yang berkata: “Ada jarak waktu dimana Yesus belum ada. Sebelum dilahirkan, Yesus tidak ada. Yesus diciptakan dari yang tidak ada. Anak (Yesus) berbeda zatnya dengan Allah. Yesus adalah obyek perubahan, maka Gereja Katolik menjatuhkan kutukan.”
Setelah peserta konsili pulang ke daerahnya masing-masing, mereka terlibat kembali dalam perdebatan mengenai keputusan konsili itu. Pengikut Unitarian (Adopsionisme) yang selalu menentang keputusan konsili itu ditangkapi, dan sebagian dibunuh, dan yang tak mau tobat untuk menerima doktrin Trinitas dijebloskan dan disiksa di penjara bawah tanah. Arius sendiri sejak tahun 325 M, telah dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah di pulau kecil sekitar selat Bosporus. Walaupun begitu, perdebatan semakin meruncing di wilayah kekuasaan Romawi. Hanya Athanasius yang masih mematuhi keputusan tersebut, sedangkan para pendukungnya sendiri diliputi kebingungan menghadapi berbagai tantangan.
Sabinas, uskup tertua di Thracia, mengatakan, orang-orang yang hadir dalam Konsili Nicaea itu adalah orang dungu yang bodoh. Keputusan Konsili itu hanya disahkan oleh orang-orang tolol yang tidak memiliki pengetahuan dalam masalah itu. Setelah konsili selesai, Patriarkh Alexander wafat tahun 328 M. Terjadilah perebutan jabatan keuskupan Aleksandria. Athanasius dipilih dan ditasbihkan menjadi uskup di daerah itu. Pemilihan itu menimbulkan kecaman keras, karena dilakukan dengan intimidasi dan tindakan kekerasan lainnya. Pengikut Arius mengadakan perlawanan terhadap Athanasius.
Costantina Agusta, saudara kaisar Konstantin, menentang pembunuhan terhadap orang Kristen Unitarian, terutama menentang pembuangan Eusebius dari Nicomedia. Dia tetap mempertahankan bahwa Arius adalah pemimpin agama Kristen yang benar. Akhirnya, Konstantina berhasil membebaskan Eusebius agar kembali ke istana. Kembalinya Eusebius ini merupakan pukulan telak bagi kelompok Athanasius. Konstantin semakin condong kepada Arius. Ketika mendapat laporan tentang kecaman masyarakat Kristen atas pemilihan Athanasius, dia memanggil uskup itu agar datang ke Konstantinopel. Dengan berbagai alasan Athanasius tidak mau datang memenuhi panggilan itu. Pada tahun 335 M, ketika dilangsungkan konsili di kota Tyre untuk memperingati tiga puluh tahun pemerintahan kaisar Konstantin, Athanasius diwajibkan untuk menghadirinya. Dalam konsili itu, dia dituduh telah melakukan kelaliman di wilayah keuskupannya. Karena suasana sidang saat itu menyudutkan dirinya, maka dia segera keluar sebelum konsili menjatuhkan hukuman kutukan kepada dirinya. Para uskup kemudian melanjutkan sidang di Yerusalem dan mengukuhkan kutukan terhadap Athanasius, serta menerima Arius kembali ke pangkuan Gereja.
Konstantin mengundang Arius dan Eusebius ke Konstantinopel. Perdamaian antara Arius dan Kaisar terjalin baik, dan para uskup menjatuhkan kutukan kepada Athanasius.
Arius diangkat menjadi Patriarkh Konstantinopel, tetapi jabatan itu tidak berlangsung lama, dia wafat secara mendadak pada tahun 336 M, karena makanannya diberi racun. Pihak Gereja Barat menganggapnya suatu keajaiban, tetapi pihak istana mencurigai peristiwa itu. Kaisar membentuk komisi untuk menyelidikinya. Athanasius terbukti sebagai otak pembunuhan tersebut dan dijatuhi kutukan.
Konstantin yang perasaannya sangat terguncang atas kematian Arius itu, di bawah bimbingan Constantina, akhirnya dia memeluk agama Kristen Unitarian, dan dibaptis oleh Eusebius dari Nicomedia. Pada tahun 377 M, kaisar Romawi itu meninggal dunia dengan membawa keyakinan bahwa Tuhan ALLAH satu-satunya Tuhan Yang Disembah, dan Yesus adalah tidak lain hanya manusia biasa yang diutus oleh Allah, Bapa-Nya.
Arius memiliki peranan penting dalam sejarah Kekristenan. Bukan hanya karena jasanya yang berhasil menarik kaisar Konstantin memeluk agama Kristen, tetapi juga karena mewakili orang-orang yang tabah mempertahankan ajaran Yesus yang murni. Di saat itu ajaran Yesus tercampur aduk dengan kepercayaan-kepercayaan paganisme dan politeisme, sehingga ajaran Kristen yang asli dan yang palsu semakin kabur. Maka Arius dengan segala keberaniannya dan ketabahan hatinya, tampil mempertahankan kemurnian ajaran Yesus—walau selalu dianggap sesat oleh Gereja Trinitarian dan yang sealiran.
1 Kuasa Kepausan menjadi paling tinggi dalam dunia Kekristenan sejak tahun 538 M berdasarkan dekrit kaisar Roma bernama Justinian, yang mengumumkan bahwa uskup Roma sebagai kepala dari seluruh gereja (Undang-Undang Justinian).
(Sumber: Sejarah Kristen, Wikipedia, Abrahamic Faiths )
Kehidupan Arius sangat erat kaitannya dengan Kaisar Konstantin I, kaisar Imperium Romawi. Sehingga kita tidak bisa memahami sejarah kehidupan salah satunya, tanpa memahami orang satunya lagi. Kisah Konstantin menaruh perhatiannya kepada Gereja berawal dari kekhawatirannya terhadap kedudukannya di Roma. Kaisar yang bernama lengkap Flarius Valerius Aurellius Constantinus ini merasa cemburu terhadap putra mahkota bernama Crispus (Flavius Julius Crispus). Putra ini sangat termahsyur, karena posturnya yang menawan dan sikapnya yang ramah, disertai keberaniannya di medan pertempuran. Agar namanya tetap bertahan sebagai figur kaisar Romawi, dan tidak tenggelam oleh ketenaran nama putra mahkotanya, maka Konstantin membunuh Crispus. Kematiannya menimbulkan duka rakyat Romawi. Di balik pembunuhan itu, ada berita bahwa ibu tiri putra mahkota itu menginginkan putra kandungnya sendiri yang akan menjadi kaisar, sehingga dia berniat untuk menghabisi Crispus. Akhirnya Konstantin menjatuhi hukuman mati kepada ibu tiri itu dengan membenamkannya ke dalam air mendidih. Para pendukung permaisuri yang mati itu bergabung dengan para pecinta putra mahkota menuntut atas kematian kedua orang itu. Konstantin dalam posisi tersudut dan meminta bantuan pendeta Kuil Yupiter di Roma. Tetapi para pendeta itu mengatakan, bahwa tidak ada kebaktian atau korban yang bisa menghapus dosa pembunuhan yang telah dilakukannya. Suasana yang tegang di Roma membuat dia tidak merasa tentram, sehingga Konstantin pun pergi ke Bizantium.
Setelah tiba di sana, dia mengubah nama kota di pinggir selat Bosporus itu sesuai dengan namanya, Konstantinopel, yang selanjutnya menjadi ibukota Kekaisaran Romawi Timur. Di tempat baru itulah dia melihat perkembangan Gereja Paulus yang sangat menakjubkan. Konstantin mendapat pelajaran, bahwa bila dia mau bertobat dan mengakui dosanya di gereja, maka dosa itu akan diampuni. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya untuk membersihkan nama dan tangannya yang telah dikotori lumuran darah dua pembunuhan dan keputusan-keputusan jahat selama dia berkuasa. Setelah merasa terbebas dari beban dosa, dia pun mencurahkan pikirannya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh imperiumnya. Dia melihat adanya kemungkinan memperalat Gereja untuk meraih tujuannya dan menunjukkan loyalitasnya, dengan cara memberi kebebasan kepada Gereja untuk berkembang, yang sebelumnya telah ditindas dan dibinasakan oleh Kaisar Diolektianus (284-305 M). Berkat dukungan Konstantin inilah perkembangan gereja semakin kuat dan pesat. Sebaliknya dia mendapatkan keuntungan yang besar, karena wilayah sekitar Laut Tengah dipenuhi oleh gereja, yang pemeluknya dapat dipergunakan untuk mendukungnya di medan perang. Bantuan pendeta merupakan faktor yang sangat penting untuk menyatukan Eropa dan Timur Tengah di bawah kekuasaan Konstantin. Karena rasa terima kasih kepada Gereja di satu sisi, dan ingin menyudutkan para pendeta Kuil Yupiter di Roma yang tidak mau membantunya, pada sisi lainnya, dia mengajak Uskup Roma (yang selajutnya dinamakan paus oleh Paus Gregorius XVI untuk membedakan dengan petinggi gereja atau patriarkh di Timur) untuk membangun gereja yang besar dan megah di kota Roma. Dari posisi terjepit di kota itu, Kristen kemudian diberi fasilitas-fasilitas yang luar biasa oleh Konstantin. Di samping itu dia membiayai pembangunan gereja yang besar dan megah di bukit Zion, Yerusalem.
Walaupun dia telah memberikan bantuan besar dan masuk agama Kristen, tetapi dia belum pernah dibaptis, sebab pengaruh paganisme yang menyembah Dewa Yupiter dan dewa-dewi lainnya masih sangat dominan. Oleh karena itu Konstantin bersikap menjaga keseimbangan, yang kadangkala dia menampakkan diri seakan-akan sebagai pemuja dewa itu. Sikap seperti itu berlangsung cukup lama sampai meledaknya pertentangan di tubuh Kristen, antara denominasi Gereja Paulus (Pauline Church) yang memegang konsep Trinitas dengan denominasi Gereja Rasuli (Apostolic Church) yang menganut paham Unitarian (Adopsionisme).
Tokoh paling terkemuka denominasi Unitarian (pandangan Adopsionis) waktu itu adalah Arius dari Aleksandria, salah seorang Dewan Gereja yang sangat terkenal dalam sejarah dunia Kristen. Dia lahir tahun 250 di Libya dan belajar di perguruan Antiokia yang dibimbing oleh Lucius. Ia merupakan kekuatan baru bagi Gereja Rasuli yang menghidupkan dan mempertahankan ajaran Yesus yang murni, dengan semboyan: “Ikutilah Yesus menurut yang diajarkan oleh-Nya”, serta menentang ajaran-ajaran Kristen yang diciptakan oleh Gereja Paulus. Keagungan nama Arius pada masa itu dapat dilihat dari namanya yang sampai sekarang disinonimkan dengan denominasi Unitarianisme, yakni aliran yang meyakini bahwa satu-satunya tuhan hanyalah Tuhan ALLAH (Bapa), dan Yesus adalah pelayan dan utusan yang dikirim Allah.
Gereja Paulus menerima pukulan telak dari pihak Arius. Mereka mengakui, Arius bukan hanya seorang ahli perencana saja, melainkan juga sebagai orang yang jujur dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Pada saat tradisi lisan (oral tradition)—yang mempertahankan ajaran Yesus—mulai lumpuh, dibarengi dengan pemahaman Tradisi Tulisan semakin menyimpang jauh, maka Arius tampil dengan segala keberanian dan kegigihannya mempertahankan ajaran Yesus yang telah disampaikan oleh para muridnya secara murni, serta menentang persekutuan pihak gereja dengan Kaisar Konstantin.
Arius adalah murid Lucian dari Antiokia (yang kemudian Santo Lucian) yang paling keras mengecam Gereja Paulus. Oleh karena dia selalu diincar pembunuhan oleh aliran Trinitas. Arius menyadari akan bahaya yang mengancam jiwanya. Walaupun riwayat hidup masa mudanya tidak begitu jelas, tetapi dia tercatat menjadi tokoh besar Gereja Becaulis Aleksandria.
Sampai pada masa Konsili Nicaea tahun 325 M, perbedaan keyakinan di kalangan Kristen sangat beragam. Karena kepercayaan di kalangan Kristen sangat beragam. Karena kepercayaan berdasarkan kemauan dan pilihan masing-masing individu. Sebelum gereja mendapatkan kebebasan dari Imperium Romawi, perbedaan keyakinan itu menimbulkan pertentangan sengit, yang pada akhirnya mengakibatkan pertikaian antarkelompok Kristen. Bahkan sering terjadi penangkapan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan gelap.
Ketika Konstantin menjalin aliansi dengan Gereja, terjadilah perubahan dramatis. Meskipun waktu itu Konstantin masih menjabat kepala negara yang penduduknya mayoritas menganut paganisme, tetapi secara terbuka memberi bantuan kepada gereja, yang pada masa itu mungkin perbedaan antara Gereja Paulus (Pauline Church) dengan Gereja Rasuli (Apostolic Church) belum begitu tajam. Dengan demikian, Kekristenan memperoleh kedudukan baru di bawah naungan Kaisar Romawi. Bagi kebanyakan orang, perkembangan Kristen seperti ini menimbulkan masalah politik. Sebagian orang yang dulunya menentang agama itu, berbalik mendukungnya karena mendapat tekanan dari pemerintah. Oleh karena itu mereka memeluk agama Kristen bukan karena panggilan hati nuraninya, melainkan karena tujuan-tujuan tertentu. Perubahan situasi itu sangat menguntungkan pihak Kristen. Gereja Paulus dan Gereja Rasuli masing-masing berkembang pesat ke seluruh wilayah Imperium Romawi, mengakibatkan pertentangan kedua aliran itu semakin tajam di setiap daerah.
Konstantin yang pada waktu itu masih belum memahami ajaran Kristen, hanya ingin mendapatkan keuntungan politis bila tercipta kesatuan gereja yang tunduk padanya, dan berpusat di Roma, bukan Yerusalem. Ketika para jemaat Gereja Rasuli (Apostolic Church) menolak untuk memenuhi keinginan kaisar itu, Konstantin berusaha melakukan tekanan-tekanan terhadap mereka. Tetapi setiap tekanan itu tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Para jemaat Gereja Rasuli yang menganut paham Unitarian itu tetap menolak untuk tunduk kepada Uskup Roma1 (Paus).
Pertentangan semakin tajam mengenai pokok-pokok keyakinan di dalam agama Kristen. Sementara itu doktrin Trinitas telah diterima sepenuhnya oleh pihak-pihak tertentu dalam dunia Kristen. Sedangkan pihak Donatus, Melitus, terutama Arius menentang doktrin tersebut. Setelah lebih dari dua abad, doktrin itu menjadi bahan perdebatan, tidak ada pihak yang bisa memberikan penjelasan dan penafsiran yang memuaskan. Karena banyak pihak yang menentangnya, semakin banyak membutuhkan penjelasan dan definisi dogma itu. Pihak gereja harus memberikan definisi tentang sifat kemanusiaan dan sifat ketuhanan Yesus. Serta memberikan penjelasan mengenai hubungan oknum yang satu dengan oknum lainnya dalam Trinitas. Gereja harus menunjukkan definisi yang akurat mengenai hubungan ketuhanan Yesus dengan Perawan Maria, ibunya. Karena setiap orang Kristen selalu dihadapkan pada sekian banyak masalah dogma Trinitas, maka surat pertanyaan yang dikirim kepada pihak Kepausan di Roma semakin menggunung.
Surat jawaban dari Paus ternyata tidak bisa memberikan kepuasan bagi semua pihak. Arius tampil mengajukan tantangannya kepada pihak Paus untuk memberikan definisi yang logis dan rasional mengenai doktrin Trinitas. Arius sendiri memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Jika Yesus itu sebagai anak Tuhan, berarti Bapa [Allah] harus ada terlebih dahulu dari pada Yesus. Justru sebelum ada Anak [Yesus], harus ada jarak waktu. Dalam jarak waktu itu sang Anak belum ada. Dengan demikian sudah pasti, bahwa Anak [Yesus] itu diciptakan oleh Allah dari esensi yang sebelumnya tidak ada. Oleh karena itu Yesus tidak sama dengan Bapa [Allah].”
Kalangan gereja Trinitas merasa terjungkal. Patriarkh Alexander mengundang Dewan Gereja untuk mempersoalkan pendapat Arius itu. Sekitar seratus uskup dari Mesir dan Libya menghadiri undangan itu untuk meminta pertanggungjawaban dari Arius. Untuk mempertahankan keyakinannya, Arius mengajukan argumentasi yang tidak bisa dibantah sebagai berikut:
“Ada suatu tempo, yang di dalam tempo waktu itu Yesus belum ada, sedang Allah bersifat Maha Dulu dan Maha Abadi. Karena Yesus adalah makhluk Allah, maka dia bersifat fana (tidak kekal), dan sudah tentu tidak memiliki sifat abadi. Karena Yesus itu makhluk, maka dia termasuk obyek bagi perubahan seperti makhluk berakal lainnya. Karena hanya Allah saja yang tidak berubah, maka Yesus bukanlah oknum Tuhan.”
Di samping menggunakan akal budi (logika), dia pun mengukuhkan argumentasinya dengan mengutip ayat-ayat Alkitab untuk membantah doktrin Trinitas seperti:
“Jika Yesus sendiri telah mengatakan: “Bapa lebih besar dari pada Aku.” (Matius 14:28), bagaimana kita bisa percaya bahwa Allah dan Yesus itu sama?. Kepercayaan seperti itu sangat bertentangan dengan firman Yesus sendiri di dalam Kitab Suci.”
Pendapat Arius ini tidak bisa dibantah oleh semua uskup yang hadir pada sidang itu. Tetapi Patriarkh Alexander, dengan menggunakan kekuasaan jabatannya, menjatuhkan vonis “Hukuman Pengucilan Gereja” terhadap Arius.
Dalam tradisi gereja, siapa yang mendapat hukum pengucilan (ekskomunikasi) itu, tumpahan darahnya menjadi “halal”. Pembunuhnya akan mendapatkan jaminan keselamatan (surga), karena telah berjasa membasmi pembawa ajaran sesat (bidaat)! Tetapi Arius mempunyai banyak pengikut yang pengaruhnya sangat luas, dan tidak dapat dianggap enteng oleh pihak Gereja Trinitas (Gereja Barat), apalagi para uskup wilayah Timur tidak membenarkan vonis Patriarkh Alexander itu.
Pertentangan masalah keyakinan ini semakin memuncak. Alexander berada pada posisi yang terjepit, bahkan sangat kecewa karena para uskup wilayah Timur mendukung Arius. Terutama Eusebius dari Nicomedia (wafat 342 M), sahabat Arius yang sangat berpengaruh di istana Konstantinopel, dan Eusebius Caesarea (260-340 M) memberikan dukungan yang sangat besar kepada Arius. Dua orang ini dan Arius adalah murid Lucian. Pembunuhan gelap terhadap guru mereka, membuat hubungan ketiga murid itu semakin erat.
Sampai sekarang kita bisa melihat surat Arius yang dikirim kepada Eusebius Konstantinopel, setelah dia dijatuhi vonis “hukuman pengucilan” (ekskomunikasi) dari Alexander. Di antara surat itu berbunyi: “Kami dihukum karena menyatakan, Yesus itu mempunyai permulaan, sedangkan Allah tidak mempunyai permulaan.”
Catatan mengenai pertentangan tajam waktu itu, sangat sedikit sekali yang bisa kita jumpai. Surat-surat yang masih selamat, menunjukkan, Arius tabah mempertahankan ajaran Yesus yang murni dan yang bebas dari perubahan, dan sama sekali tidak menghendaki perpecahan dalam Kristen. Sedangkan kumpulan surat-surat Alexander memperlihatkan, penggunaan bahasa yang tidak sopan terhadap Arius dan para pendukungnya. Di antara surat-surat itu Alexander pernah menulis sebagai berikut:
“Mereka sudah dikuasai Iblis yang merasuk dalam diri mereka. Mereka adalah tukang sulap dan penipu yang cerdik merayu. Mereka kelompok penyamun yang hidup dalam persembunyian, yang siang malam mengutuki Kristus mereka mendapatkan banyak pengikut dengan memperalat wanita tunasusila.”
Surat yang bernada kasar itu membangkitkan kemarahan Eusebius. Beliau mengundang uskup-uskup wilayah Timur untuk menjelaskan duduk persoalannya. Pertemuan para uskup itu menghasilkan keputusan untuk mengirim surat pada seluruh uskup wilayah timur dan barat, agar mendesak Patriakh Alexander untuk mencabut hukuman yang dijatuhkan kepada Arius. Alexander mau mencabut vonisnya, asalkan Arius mau tunduk kepadanya. Syarat itu ditolak oleh Arius, dan ia pergi ke wilayah Palestina untuk membina jemaat Kristen di tempat itu. Alexander mengirimkan surat kecaman terhadap Arius dan Eusebius kepada seluruh pelayan-pelayan gereja Katolik. Alexander menuduh, Eusebius mendukung Arius bukan karena keyakinan yang dianut oleh Arius, melainkan disebabkan oleh kepentingan ambisius.
Kaisar Konstantin melihat situasi di tubuh Kekristenan semakin memburuk. Dia terpaksa turun tangan dengan mengirimkan surat kepada kedua pihak. Kaisar itu sangat mengharapkan kesatuan pendapat dalam agama. Karena hal itu akan menjamin stabilitas daerah yang dikuasainya. Dia meminta keduanya melupakan masalah yang dipertentangkan.
Sementara itu terjadi persengketaan antara Konstantin dengan saudara iparnya, Lucianus, yang menguasai wilayah Tracia. Dalam pertempuran tahun 324 M, Lucianus tewas terbunuh. Karena dia termasuk pendukung Arius, kematiannya mengakibatkan posisi Arius mengalami banyak kemunduran. Sekalipun Konstantin memenangkan peperangan, tetapi dia tidak mampu membendung kerusuhan yang melanda beberapa wilayah Romawi. Kaisar tidak mempunyai jalan lain, kecuali dengan cara mengundang seluruh uskup untuk menyelesaikan persoalan rumit itu di bawah tekanan persenjataan. Posisi dirinya yang masih menganut paham paganisme, bisa menguntungkan dia, karena tidak termasuk pengikut salah satu aliran Kristen, dan bisa menjadi pemimpin sidang dan penengah yang tidak memihak. Konstantin diberi restu oleh para uskup untuk menjadi pemimpin sidang, karena tidak ada pihak yang menyetujui aliran lain memimpin sidang itu. Sidang para uskup tahun 325 Masehi yang dipimpin oleh Konstantin itu terkenal dengan sebutan Konsili Nicaea.
Anggota sidang Gereja Semesta yang pertama kali kebanyakan terdiri dari para uskup yang masih lugu, jujur, dan berpegang teguh pada keyakinan yang dianutnya. Di saat itulah secara mendadak mereka harus berhadapan dengan tokoh-tokoh yang menguasai filsafat Yunani. Sehingga mereka tidak bisa memahami ungkapan-ungkapan filosofis yang didengarnya. Sebaliknya, mereka kehilangan kemampuan untuk mengungkapkan pendapatnya, apalagi harus menghadapi argumentasi pihak lain yang berdasarkan logika. Oleh karena itu, mereka harus memilih salah satu dari dua pilihan, bertahan pada keyakinannya secara diam-diam, atau menyetujui apa saja yang diputuskan oleh pemimpin sidang.
Wakil-wakil dari pihak Gereja Paulus (Trinitas), seperti Gereja Roma, yang mempertahankan Tiga Oknum, ternyata mereka hanya mampu menunjukkan Dua Oknum (Binitarian), yakni Allah Bapa dan Anak (Yesus). Mereka tidak berdaya untuk mencari dalil dari Alkitab bahwa Roh Kudus itu adalah salah satu dari oknum Tuhan.
Para uskup murid Lucian seperti Arius, dengan mudah menyudutkan pihak Gereja Paulus dari masalah satu ke persoalan yang lain dalam Trinitas. Pihak Unitarian mengakui, di dalam Alkitab, Yesus memanggil Allah dengan kata “Bapa” dan menyebut dirinya dengan kata “Anak”, tetapi mereka menunjukkan kepada lawannya mengenai firman Yesus yang berbunyi: “Dan janganlah kamu memanggil Bapa kepada seorang pun di dunia ini, karena satu saja Bapa kamu, yaitu yang ada di Sorga.” (Matius 23:9) Dengan demikian oknum “anak” itu bukan hanya satu—bukan Yesus saja, melainkan berjuta-juta manusia!
Pihak Trinitarian tidak mampu mematahkan argumentasi pihak Unitarian (Adopsionisme), sebab kepercayaan terhadap doktrin Trinitas yang diyakini oleh mereka tidak berdasarkan pada Alkitab, terutama Injil. Dengan susah payah mereka berusaha ingin membuktikan (berapologi) bahwa Alkitab telah menyatakan “Yesus itu bayangan Allah yang Maha Benar”. Pihak Unitarian menjawab: “Kita sebagai manusia adalah bayangan dan kemegahan Tuhan. Jika dikatakan bahwa bayangan Allah adalah Tuhan, berarti seluruh manusia itu adalah Tuhan!”
Perdebatan dalam sidang semakin meruncing, dan semua pihak merasa pesimis terhadap hasil sidang itu. Pada akhirnya masing-masing pihak saling mengharapkan dukungan Kaisar yang memegang keputusan akhir. Constantia (Flavia Julia Constantia), adik tiri Kaisar Konstantin, adalah penganut paham Unitarian, memberitahu Eusebius dari Nicodemia bahwa sang Kaisar ingin mempersatukan gereja. Karena perpecahan akan membahayakan posisi kekaisaran. Jika tidak tercapai persetujuan dan kesamaan keyakinan, mungkin kaisar akan kehilangan kesabaran dan menarik bantuannya kepada Gereja, yang akan mengakibatkan keadaan Kekristenan lebih memprihatinkan dari pada sebelumnya.
Eusebius berunding dengan Arius bersama sahabat lainnya, dan mengambil kebulatan tekad untuk mempertahankan keyakinannya, serta menolak doktrin Trinitas yang mungkin akan mendapatkan suara mayoritas dalam Konsili Nicaea itu.
Dukungan Konstantin terhadap Gereja Paulus akan menambah kekuasaan Gereja, dan akan mampu mengakhiri Gereja Rasuli (Unitarian) di Afrika Utara dengan segala bentuk kekerasan. Untuk mendapatkan dukungan itu, Gereja Paulus menyetujui perubahan-perubahan pada ajaran Kristen. Karena pemujaan kepada Dewa Matahari Sol Inviticus sudah menjadi tradisi bangsa Romawi pada waktu itu, dan kaisarnya dipandang sebagai perwujudan dari Dewa Matahari, maka Gereja Paulus menyusun rumusan sebagai berikut:
1. Hari Minggu (hari Dewa Matahari Sol Inviticus) bangsa Romawi dijadikan hari Sabat bagi agama Kristen.
2. Hari kelahiran Dewa Matahari tanggal 25 Desember dijadikan hari kelahiran Yesus.
3. Lambang Dewa Matahari, Salib Sinar, dijadikan lambang agama Kristen [sebelumnya lambang salib ditolak oleh ajaran Kristen mana pun].
4. Untuk menyatukan upacara ritual bagi Dewa Matahari dan Yesus, patung Dewa Matahari pada salib diganti dengan patung Yesus.
Kaisar merasa puas, karena jurang perbedaan antara Kekristenan dengan paganisme yang dianut oleh bangsa Romawi bisa diakhiri. Akhirnya Trinitas itupun diterima dengan suara terbanyak sebagai keyakinan (ajaran) resmi dalam agama Kristen. Pengertian Keesaan Tuhan dalam bahasa Yesus telah berubah maknanya setelah disalin dalam bahasa filsafat Neo-Platonisme yang dikenal dengan Mystic Trinity (Misteri Trinitas). Setelah perubahan pengertian Keesaan Tuhan diterima oleh suara terbanyak, langkah perumusan ajaran Kekristenan lainnya semakin jauh menyimpang dari ajaran Yesus. Rumusan Syahadat Nicaea yang dikenal sampai saat ini adalah rumusan yang ditandatangani oleh peserta konsili itu, dengan mendapatkan dukungan kaisar Konstantin.
Karena pihak Arius tidak mau mengakui keputusan Konsili itu, maka diumumkan anatema (kutukan) terhadap ajaran Arius, sebagai berikut: “Bagi orang yang berkata: “Ada jarak waktu dimana Yesus belum ada. Sebelum dilahirkan, Yesus tidak ada. Yesus diciptakan dari yang tidak ada. Anak (Yesus) berbeda zatnya dengan Allah. Yesus adalah obyek perubahan, maka Gereja Katolik menjatuhkan kutukan.”
Setelah peserta konsili pulang ke daerahnya masing-masing, mereka terlibat kembali dalam perdebatan mengenai keputusan konsili itu. Pengikut Unitarian (Adopsionisme) yang selalu menentang keputusan konsili itu ditangkapi, dan sebagian dibunuh, dan yang tak mau tobat untuk menerima doktrin Trinitas dijebloskan dan disiksa di penjara bawah tanah. Arius sendiri sejak tahun 325 M, telah dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah di pulau kecil sekitar selat Bosporus. Walaupun begitu, perdebatan semakin meruncing di wilayah kekuasaan Romawi. Hanya Athanasius yang masih mematuhi keputusan tersebut, sedangkan para pendukungnya sendiri diliputi kebingungan menghadapi berbagai tantangan.
Sabinas, uskup tertua di Thracia, mengatakan, orang-orang yang hadir dalam Konsili Nicaea itu adalah orang dungu yang bodoh. Keputusan Konsili itu hanya disahkan oleh orang-orang tolol yang tidak memiliki pengetahuan dalam masalah itu. Setelah konsili selesai, Patriarkh Alexander wafat tahun 328 M. Terjadilah perebutan jabatan keuskupan Aleksandria. Athanasius dipilih dan ditasbihkan menjadi uskup di daerah itu. Pemilihan itu menimbulkan kecaman keras, karena dilakukan dengan intimidasi dan tindakan kekerasan lainnya. Pengikut Arius mengadakan perlawanan terhadap Athanasius.
Costantina Agusta, saudara kaisar Konstantin, menentang pembunuhan terhadap orang Kristen Unitarian, terutama menentang pembuangan Eusebius dari Nicomedia. Dia tetap mempertahankan bahwa Arius adalah pemimpin agama Kristen yang benar. Akhirnya, Konstantina berhasil membebaskan Eusebius agar kembali ke istana. Kembalinya Eusebius ini merupakan pukulan telak bagi kelompok Athanasius. Konstantin semakin condong kepada Arius. Ketika mendapat laporan tentang kecaman masyarakat Kristen atas pemilihan Athanasius, dia memanggil uskup itu agar datang ke Konstantinopel. Dengan berbagai alasan Athanasius tidak mau datang memenuhi panggilan itu. Pada tahun 335 M, ketika dilangsungkan konsili di kota Tyre untuk memperingati tiga puluh tahun pemerintahan kaisar Konstantin, Athanasius diwajibkan untuk menghadirinya. Dalam konsili itu, dia dituduh telah melakukan kelaliman di wilayah keuskupannya. Karena suasana sidang saat itu menyudutkan dirinya, maka dia segera keluar sebelum konsili menjatuhkan hukuman kutukan kepada dirinya. Para uskup kemudian melanjutkan sidang di Yerusalem dan mengukuhkan kutukan terhadap Athanasius, serta menerima Arius kembali ke pangkuan Gereja.
Konstantin mengundang Arius dan Eusebius ke Konstantinopel. Perdamaian antara Arius dan Kaisar terjalin baik, dan para uskup menjatuhkan kutukan kepada Athanasius.
Arius diangkat menjadi Patriarkh Konstantinopel, tetapi jabatan itu tidak berlangsung lama, dia wafat secara mendadak pada tahun 336 M, karena makanannya diberi racun. Pihak Gereja Barat menganggapnya suatu keajaiban, tetapi pihak istana mencurigai peristiwa itu. Kaisar membentuk komisi untuk menyelidikinya. Athanasius terbukti sebagai otak pembunuhan tersebut dan dijatuhi kutukan.
Konstantin yang perasaannya sangat terguncang atas kematian Arius itu, di bawah bimbingan Constantina, akhirnya dia memeluk agama Kristen Unitarian, dan dibaptis oleh Eusebius dari Nicomedia. Pada tahun 377 M, kaisar Romawi itu meninggal dunia dengan membawa keyakinan bahwa Tuhan ALLAH satu-satunya Tuhan Yang Disembah, dan Yesus adalah tidak lain hanya manusia biasa yang diutus oleh Allah, Bapa-Nya.
Arius memiliki peranan penting dalam sejarah Kekristenan. Bukan hanya karena jasanya yang berhasil menarik kaisar Konstantin memeluk agama Kristen, tetapi juga karena mewakili orang-orang yang tabah mempertahankan ajaran Yesus yang murni. Di saat itu ajaran Yesus tercampur aduk dengan kepercayaan-kepercayaan paganisme dan politeisme, sehingga ajaran Kristen yang asli dan yang palsu semakin kabur. Maka Arius dengan segala keberaniannya dan ketabahan hatinya, tampil mempertahankan kemurnian ajaran Yesus—walau selalu dianggap sesat oleh Gereja Trinitarian dan yang sealiran.
1 Kuasa Kepausan menjadi paling tinggi dalam dunia Kekristenan sejak tahun 538 M berdasarkan dekrit kaisar Roma bernama Justinian, yang mengumumkan bahwa uskup Roma sebagai kepala dari seluruh gereja (Undang-Undang Justinian).
(Sumber: Sejarah Kristen, Wikipedia, Abrahamic Faiths )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar