Perspektif Yudeo-Kristen adalah
cara pandang yang diajarkan secara sistematis di seluruh lembaga
akademik Barat, dimulai pada pengajaran sejarah di sekolah menengah
pertama dan dilanjutkan dalam kuliah-kuliah di tingkat universitas. Ia
bisa dilihat dari pernyataan-pernyataan dalam buku-buku teks sekolah
menengah pertama seperti, "Yahudi adalah agama monoteistik pertama",
sebuah pernyataan yang ditolak dengan keras oleh perspektif Islam yang
akan dibahas kemudian. Sebagai lanturan singkat, dinyatakan bahwa
sebagai besar orang tua muslim di Amerika kemungkinan gagal memahami
bahwa anak-anak mereka secara sistematis ditarik-masuk dengan perspektif
Yudeo-Kristen sebagai bagain dari pendidikan sekolah umum anak-anak
mereka. Dengan memperumit perosalan tersebut, karena kurangnya keakraban
mereka dengan eprspektif Islam, para guru di sekolah umum yang
ditempati anak-anak muslim ini kemungkinan gagal menyadari bahwa mereka
bahkan dilibatkan dalam sebuah tindakan proselitisasi permurtadan).
Sementara
persoalan-persoalan utama dari Yudeo-Kristen secara khas sudah dikenal
dengan baik oleh sebagian besar kaum Kristen dan Yahudi, beberapa
perosalan khusus yang dibahas dalam esai ini mungkin menyuguhkan
pengetahuan tertentu yang belum pernah mereka terima. Ini utamanya
pelbagai macam sekte dalam yahudi dan Kristen, juga berkenaan dengan
tahun-tahun dan peristiwa-peristiwa khusus yang diurai di bawah ini.
UR-YAHUDI DAN PERJANJIAN DENGAN NUH
Perspektif
Yudeo-Kristen dimulai dengan Adam-semoga kesejahteraan senantiasa
terlimpah atasnya - dan diturunkan pada umat manusia melalui pelbagai
Bapa leluhur Perjanjian Lama, hingga tiba pada Nuh -semoga kesejahteraan
senanatiasa terlimpah atasnya. Garis keturunan sesungguhnya yang
dikemukakan oleh Kiab Kejadian adalah Adam ke Set ke Enos ke cainan ke
Mahalaleel ke Jared ke Henokh ke Metusalem ke Lamech ke Nuh. Dengan
datangnya Nuh, ada hal baru yang memasuki kerangka perspektif
senanatiasa terlimpah atasnya. Garis keturunan sesungguhnya yang
dikemukakan oleh Kitab Kejadian adalah Adam ke Set ke Enos ke cainan ke
Mahalaleel ke Jared ke Henokh ke Metusalem ke Lamech ke Nuh.[1] Dengan
datangnya Nuh, ada hal baru yang memaduki kerangka perspektif
Yudeo-Kristen. Konon, Nuh adalah orang pertama yang dengannya Allah[2]
mengadakan perjanjian.[3] Kini, perjanjuan tersebut konon sudah menjadi
primitif dan terbatas, dan rincian berkenaan dengan perjanjian itu
sangat sedikit yang dilaporkan dalam Kitab Kejadian. Kenyataannya,
rincian-rincian yang dicatat dalam Kitab Kejadian berkenaan dengan
perjanjian Nuh hanyaah bahwa Nuh membuat bahtera, dan kemudian dengan
bahtera itu ia menyelamatkan binatang-binatang di bumi;[4] bahwa Allah
tidak akan pernah menghancurkan seluruh umat manusia melalui air bah,
dan janji-Nya disimbolkan dalam bentuk pelangi.[5] Namun, dalam riwayat
Kitab Kejadian selanjutnya tidak disebutkan tenang komitmen peribadatan
monoteistik, dan sebagainya. Namun demikian, perjanjian Nuh ini bisa
digunakan sebagai pijakan awal mengenai asal-muasal bagi Yahudi, atau
yang mungkin lebih baik disebut proto-Yudaisme.
Yang
lebih sering, tradisi Yudeo-Kristen menyusuri jejak asal-muasal Yahudi
pada Ibrahim, yang hidup kira-kira delapan generasi setelah Nuh.[6] Di
sini kita menemukan perjanjian kedua antara Allah dan manusia, ketika
Allah konon menetapkan perjanjian baru dengan Ibrahim. Singkatnya,
perjanjian ini bisa diikhtisarkan sebagai berikut : Ibrahim dan
keturunanya harus menjaga perjanjian tersebut, dan harus melaksanakan
khitan,[7] Allah berjanji bahwa Dia akan menjadi Tuhan bagi Ibrahim
serta keturunannya akan terpecah menjadi banyak kelompok. Lebih lanjut,
Ibrahim dan keturunannya melalui Ishak akan mewarisi tanah Pallestina
berikut perjanjian tersebut.[8] Keseluruhan sejarah Yahudi kemudian
berporos pada perjanjian ini, hubungan antara Allah dan manusia diubah
selamanya, dan hubungan khusus ditetapkan antara Allah dan keturunan
Ishak.
Perlu
dicatat bahwa tradisi Yudeo-Kristen memahami perjanjian antara Allah
dan Ibrahim ini sebagai salah satu warisan eksklusif bagi mereka. Dari
seluruh anak-cucu Ibrahim, hanya Ishak dan keturunannyalah yang akan
mewarisi perjanjian dengan Allah itu.[9] Eksklusivitas pearisan itu
semakin dipersempit ketika dinyatakan bahwa pewarisan atas perjanjian
tersebut tidak diberikan kepada anak tertua Ishak, Esau, demi mendukung
putra mudanya, Yakub - semoga kesejahteraan senantiasa terlimpah
atasnya.[10] Ketika nama Yakub kemudian diubah menjadi Israel,[11] yang
menjadikannya sebagai nenek-moyang yang menjadi asal garis keturunan dua
belas suku Israel, maka eksklusivitas pewarisan tersebut kemudian
dianggap sebagai milik Israel, hanya milik Israel.
YAHUDI YANG DIPERHALUS DAN PERJANJIAN MUSA
Beberapa
abad setelah Yakub, konon Allah memperhalus perjanjiannya dengan dua
belas suku Israel. Penghalusan ini, yang untuk pertama kalinya
meninggalkan catatan mengenai rincian khusus dan tegas berkenaan dengan
penyebahan kepada Allah dan hukum-hukum Yahudi, diberikan kepada Musa.
Pelbagai macam ketentuan dari perjanjian Musa tersebut terlalu banyak
untuk dirinci dan terlalu besar untuk dijelaskan di sini. Namun
demikian, harus dicacat bahwa menurut perspektif Yudeo-Kristen, ini
merupakan yang kedua kalinya, ketika sejarah diporoskan dan ketika
hubungan antara manusia dan Allah dilihat sebagai sesuatu yang harus
diubah. Bagi mereka yang ada dalam tradisi Yudeo-Kristen, yang
mempertahankan pandangan atas perjanjian dengan Ibrahim di atas sebagai
asal-usul Yahudi, perjanjian Musa ini dilihat sebagai awal Yahudi
sebagai agama yang terorganisasi.
PERAN PARA NABI
Begitu
struktur keagamaan yang dikembangkan sepenuhnya telah dititahkan oleh
perjanjian Musa, tidaklah terhindar bahwa bangsa Israel, atau setidaknya
sebagian dari mereka, akan tersesat dari pelaksanaan
kewajiban-kewajiban dalam perjanjian tersebut. Dengan demikian, Allah
secara periodik mengirim para nabi, yaitu mereka yang diberi otoritas
untuk berbicara atas nama Allah, untuk menyeru dan mengembalikan bangsa
Israel yang telah tersesat menuju pelaksanaan yang sebenarnya atas
perjanjian Musa. Dari perspektif Yudeo-Kristen kontemporer, pada nabi
ini dilihat sebagai teguran kepada bangsa Israel agar kembali pada
Yahudi.
Meskipun
terdapat panggilan yang keras dari nabi-bani ini, sebagian besar bangsa
Israel gagal untuk mendengarkannya, terutama di antara mereka yang
berada di kalangan kelas penguasa. Sebagaimana diketahui, Kerajaan Daud
dan Sulaiman di Israel terpecah menjadi Kerajaan Israel utara dan
Kerajaan Yehuda selatan sekitar 930 SM. Semenjak peristiwa ini, para
nabi dengan pelbagai cara diutus kepada kedua kerajaan ini. Namun
demikian, lagi-lagi banyak yang gagal untuk memperhatikan pesan
peringatan yang dikirimkan oleh nabi-nabi ini. Sebagai hukuman
selanjutnya, Allah menakdirkan kehancuran Kerajaan Israel utara oleh
kekaisaran Assyria sekitar 722 SM. Orang-orang Israel dari Kerajaan
Israel utara, yang terdiri atas sepuluh dari dua belas suku Israel,
dijebloskan ke penjara, dan tidak muncul-kembali dalam lembaran-lembaran
sejarah sebagai masyarakat yang bisa diidentifikasi. Peristiwa ini
menyebabkan sepuluh suku Israel tersebut punah.
Kerajaan
Yehuda di selatan, yang utamanya terdiri atas suku-suku Benjamin dan
Yehuda, terus bertahan dalam kondisi yang sangat sulit selama kira-kira
lebih dari 150 tahun. Para nabi terus diutus kepada masyarakat ini,
tetapi para pemeluk Yahudi yang sejati, sebagaimana ditetapkan dalam
perjanjian Musa, semakin berkurang. Oleh karenanya, Allah mengizinkan
jatuhnya Kerajaan Yehuda di selatan kepada kekaisaran Babilonia sekitar
586 SM. Kuil Sulaiman (lihat di bawah dengan judul "Kultus Kuil")
dihancurkan. Banyak orang-orang Yahudi yang dibuang ke Babilobia. Dan
periode pembuangan pun telah dimulai.[12]
Untuk
memahami peran para nabi ini dari perspektif Yudeo-Kristen, tidak bisa
hanya ditekankan bahwa meraka itu hanya diterima sebagai penyeru
masyarakat untuk kembali pada ajaran-ajaran Yahudi. Mereka tidak
menyampaikan revisi yang riil apapun terhadap perjanjian Musa, meskipun
mereka mungkin menyodorkan beberapa interpretasi atas perjanjian itu.
Namun demikian, bahkan interpretasi "baru" ini pun harus dilihat sebagai
perbaikan terhadap interpretasi keliru sebelumnya yang ada dalam
masyarakat selama ini. Sebagaimana diketahui, meskipun para nabi ini
dilihat sebagai juru bicara Allah, mereka tidak membawa wahyu apapun
atau modifikasi yang riil atas perjanjian Musa.
Berkaitan
dengan hal di atas, wahyu bisa dilihat dalam perspektif Yudeo-Kristen
sebagai sesuatu yang statis semenjak zaman Musa. Lebih lanjut, harus
ditekankan bahwa perspektif Yudeo-Kristen sering kali menggambarkan
nabi-nabi ini sebagai orang yang memiliki "kaki lempung spiritual",
yaitu cenderung kepada dosa, godaan, dan degradasi seperti mereka yang
menjadi sasaran pewartaan mereka.
KULTUS KUIL
Pada
tahun keempat pemerintahan Raja Sulaiman pembangunan sebuah kuil megah
di Yerusalem dimulai.[13] Kuil itu kira-kira berukuran panjang 90 kaki,
lebar 30 kaki, dan tinggi 45 kaki.[14] Ia dikelilingi oleh banyak
halaman dan ruang-ruang yang saling terhubung.[15] Bersamaan dengan
pembangunan Kuil Sulaiman pada abad ke-10 SM, agama Yahudi menjadi
terpusat pada konsep dan ritual pengorbanan kuil.[16] Selama tiga hari
libur keagamaan yang berbeda atau pesta ziarah, orang-orang Yahudi
bergabung untuk melakukan perjalanan ke Yerusalem guna mempersembahkan
buah-buahan dari hasil panen pertama di Kuil Sulaiman.
Perhelatan-perhelatan keagamaan ini mencakup Paskah Yahudi (pada saat
panen anggur), Pesta Mingguan (pada saat panen gandum; bertepatan dengan
hari libur Kristen, Pantekosta), dan tempat-tempat Peribadatan atau
Pesta Kamar (pada saat panen buah-buatan).[17] Pada gilirannya, fokus
terhadap pengorbanan kuil ini meningkatkan arti penting peran pada
pendeta dan kaum Levite dalam kehidupan keagamanaan Yahudi.[18] (Kaum
Levite adalah anggota suku Levi yang terpilih untuk membantu para
pendeta di kuil).
Namun
demikian, tidak semua orang yang mengklaim dirinya sebagai orang-orang
Yahudi mengakui kultus kuil di Yerusasem. Di antara mereka adalah kaum
Samaritan, masyarakt campuran Assyiria dan keturunan bangsa Israel, yang
menetap kembali di wilayah tersebut, yang telah menjadi Kerajaan Israel
utara setelah penaklukan Assyiria atas Kerajaan Israel pada 722 SM.
Kaum Samaritan akhirnya tidak bisa melepaskan diri dari Yahudi hingga
setelah kembalinya orang-orang Yahudi dari pembuangan Babilobnia (lihat
di bawah). Namun, mereka menghindari kultus kuil di Yerusalem. Mereka
beribadah di tempat mereka sendiri di Gunung Gerisim di Schechem (kini
bernama Nabulus) yang mereka klaim sebagai tempat suci sejati pilihan
Allah (berkebalikan dengan Yerusalem). Orang-orang ini memiliki versi
taurat mereka sendiri, yang berbeda dalam banyak bagian dari Taurat
Yahudi pascapembuangan di Yudea.[19]
Seperti
dikemukakan di atas tentara Nebuchadenzzar dari Babilonia menghancurkan
Kuil Sulaiman pada 586 SM. Di atnara signifiaknsi yang jelas bagi
pemeliharaan Yahudi sebagai sebuah agama yang khas adalah pembangunan
kuil baru di Yerusalem pada permulaan tahun kedua pemerintahan Darius I
(522-486 SM) dari Persia.[20] Sementara membantu melestarikan Yahudi
sebagai sebuah entitas yang khas, kuil kedua ini kurang megah
dibandingkan dengan Kuil Sulaiman yang alsi,[21] meskipun konon ia lebih
besar, dengan luas dan tingginya kira-kira 90 kaki.[22] Sekitar lima
abad kemudian, sekitar 19 SM, Herod Agungm Raja Romawi yang ditunjuk
oleh orang-orang Yahudi, mulai membangun kuil ketiga yang lebih besar.
Pembangunan ini melibatkan rekonstruksi massal dan perluasan kuil yang
dibangun pda 520 SM. Kuil Herod ini masih tegak hingga dihancurkan oleh
tentara romawi pada Agustus tahun 70 M.[23]
YAHUDI PASCA-PEMBUANGAN
Kesultanan
Persia menaklukkan Kekaisaran Babilonia sekitar tahun 539 SM. Tahun
berikuitnya, Sheshbazzar memimpin kelompok pertama orang-orang Yahudi
untuk kembali ke Palestina. Migrasi orang Yhudi yang kembali ini terus
berlangsung secara sporadik selama 140 tahun berikutnya, dan hampir
lengkap dengan kembalinya Ezra ke Palestina sekitar tahun 397 SM.
Yahudi
pasca-Pembuangan ditandai oleh munculnya banyak sekte Yahudi, sebagian
besar gagal bertahan hingga zaman modern, tetapi yang dikenal masih
eksis dalam periode Helenistik, dimulai dengan penaklukan Aleksander
Agung antara tahun 334 dan 323 SM. Pertimbangan-pertimbangan keagamaan
dan sekuler-nasionalistik-politis memecah-belah sekte-sekte ini.
Sekte-sekte ini bisa dikategorikan secara kasar menjadi tiga kelompok
utama : kaum Saduki, yang berarti "orang-orang yang benar"; Hasidisme
(Chassidisme); dan kaum Zelot.
Kaum
Saduki - juga dikenal sebagai kaum Zadokite - adalah kelompok oportunis
politik. Mereka bersedia mengakomodasi kebudayaan dan pemerintahan
lain, termasuk Kekaisaran Romawi. Mereka terutama berkompromi dengan
kalangan kelas dan hierarki atas, dan wilayah pengaruh mereka mencakup
kota Yerusalem. Penalaran filosofis mereka terpusat pada kepercayaan
terhadap pemerintah teokratik, yang harus diberikan pada keturunan
Zodak, pendeta tertinggi selama pemerintahan Raja Sulaiman. Praktek
keagamaan mereka terpusat pada hukum tertulis, dengan mengabaikan hukum
lisan dan kitab tertulis di luar lima kitab Taurat-yang-diterima. Bagi
mereka, praktik keagamaan difokuskan pada ritus-ritus dan
pengorbanan-pengorbanan di kuil. Mereka nyata-nyata tidak percaya pada
kedatangan seorang Juru Selamat, kepada konsep kebangkitan-kembali
setelah kematian, atau pada keberadaan malaikat-malaikat Allah. Dengan
hancurnya Kuil Herod pada bulan Agustus tahun 70 M, alasan bagi
eksistensi mereka lenyap, dan mereka tidak lagi eksis sebagai sebuah
sekte yang aktif.
Hasidisme
- bisa diterjemahkan sebagai "yang saleh" - muncul kira-kira pada
permulaan abad ke-2 SM. Tak lama kemudian, ia terpecah menjadi dua
kelompok utama: kaum Farisi dan kaum Eseni.[24] Kemasyuran dua
subkelompok utama dari Hasidisme ini memerlukan pembahasan tersendiri
untuk masing-masing kelompok.
Kaum
farisi mungkin merupakan sekte Yahudi yang dominan pada zaman Yesus,
dan mungkin memiliki anggota sekitar enam ribu orang. Mereka menentang
asimilasi pengaruh-pengaruh Helenisti, dan lebih berorientasi
nasionalistik daripada kaum Saduki. Mereka juga lebih merupakan bagian
dari gerakan "masyarakat awam", daripada kaum Saduki yang lebih
aristokratik, tetapi pengaruh mereka utamanya ada di daerah pinggiran
Yerusalem. Kaum Farisi menyebabkan munculnya pelbagai mazhab rabbanik
dan Yahudi rabbanik; dan mereka adalah para pendukung utama hukum lisan,
sebagai upaya untuk menafsirkan taurat. Mereka telah menerima pelbagai
macam kitab Nevii'im dan Ketuvim sebagai kitab suci yang otoritatif,
yang sekarang tertera di sepanjang Taurat dalam Perjanjian Lama. Mereka
menunggu datangnya seorang Juru Selamat, dan percaya pada kebangkitan
kembali setelah kematian, pada Hari Pengadilan terakhir, dan pada
keberadaan malaikat-malaikat Allah.[25]
Di
sisi lain kaum Eseni - berjumlah sekitar empat ribu orang - cenderung
menarik-diri dari masyarakat dan mendirikan "biara-biara" seperti di
Qumran, di pantai Laut Mati, atau komunitas-komunitas tertutup di dalam
dan sekitar Yerusalem dan mungkin juga di Damaskus. Seperti halnya kaum
Farisi, mereka menolak pengaruh-pengaruh Helenistik, menerima Nevi'im
dan Ketuvim sebagai kitab suci, meskipun jelas sekali tidak pada tingkat
yang sama seperti Taurat, dan menunggu datangnya seorang Juru Selamat
(jika bukan dua Juru Selamat, seorang yang menjadi pendeta sekaligus
raja). Mereka percaya pada kebangkitan-kembali manusia setelah kematian,
Hari Pengadilan terakhir, dan keberadaan malaikat-malaikat Allah,
demikian juga pertempuran kosmis antara yang baik dan jahat, yang
memberikan warna dualistik bagi teologi mereka.
Kaum
Eseni juga menggunakan sejumlah kitab, yang tidak bisa diterima oleh
kaum Farisi, dan yang tidak pernah bisa diterima sebagai bagian dari
kanon Perjanijan Lama. Pada umumnya, kitab-kitab ini ditemukan dalam
pelbagai kumpulan tulisan pseudepigrafik. Tulisan-tulisan itu
berpengaruh besar pada gereja-gereja Kristen awal dan sering kali
dikutip tanpa rujukan dalam Perjanjian Baru. Berkaitan dengan praktik
keagamaan, kaum Eseni ditandai dengan penekanan mereka yang besar
terhadap ritual penyucian, pada fungsi pembaptisan secara
berulang-ulang, pada pakaian putih mereka, pada gaya hidup mereka yang
sering komunal dan asketik, pada pembatasan-pembatasan perkawinan yang
sangat ketat, dan pada penolakan pelbagai aktivitas duniawi, bahkan
untuk buang air besar pada hari Sabat. Setelah penghancuran Kuil Hetod
pada tahun 70 M, pelbagai komunitas Esenik tidak lagi eksis, atau telah
terserap oleh gereja-gereja Kristen yang mulai muncul dan mungkin oleh
gerakan Mandea awal, yang diduga berasal dari Yohanes Sang
Pembaptis.[26]
Kaum
Zelot utamanya adalah kelompok politik dengan ambisi-ambisi
nasionalistik yang ekstrem. Mereka terpecah-belah menjadi pelbagai macam
subsekte, termasuk kaum Galilea dan Sicarii ("para pemegang pisau
belati" atau "para pembunuh"). Mereka mengklaim asal-muasal mereka dari
gagalnya pemberontakan Yudas Gamala (yang juga dikenal sebnagai Judas
the Galilean) pada tahun 6 M. setelah itu, mereka terlibat dalam
gerakan-gerakan perang gerilya yang terisolasi melawan Romawi, yang
disela oleh pemberontakan-pemberontakan bersenjata, yaitu pada tahun 66 M
dan 132 M. Sementara Yosefus mengklaim bahwa orientasi keagamaan mereka
sama dengan orientasi keagamaan kaum Farisi sehingga jauh lebih mungkin
jika platform kebangsaan mereka menutupi keragaman praktik dan
sekte-sekte keagamaan yang berbeda. Sampai batas tertentu, mereka
menantikan datangnya seorang Juru Selamat. Mereka meramalkan Sang Juru
Selamat itu sebagai seorang raja kesatria, yang akan membebaskan mereka
dari kekuasaan asing, kaum Zelot tidak lagi eksis stelah pemberontakan
terkhir mereka di bawah kepemimpinan Simon bar Kochba pada tahun 132
M.[27]
YAHUDI MODERN
Dengan
hancurnya Kuil Herod pada tahun 70 M, kaum Farisi mampu menafsirkan
ulang ritus-ritus dan uapcara-upacara kuil ke dalam kehidupan dan
peribadatan dalam sinagong dan dalam lingkungan keluarga.[28]
Sebagaimana diketahui, dengan tidak memperhitungkan sekte Samaritan
kecil saat ini, kaum Farisi mampu bertahan hingga zaman modern sebagai
satu-satunya sekte Yahudi yang masih hidup[29] meskipun dalam proses
selanjutnya bermunculan kelompok sektarian. Di masa modern, sekte-sekte
ini dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yang bisa diurutkan pada
skala konservatif sampai liberal: Yahudi Ortodoks, Yahudi Konservatif,
dan Yahudi Reformis.
AGAMA KRISTEN
Sejauh
ini, pembahasan mengenai perspektif Yudeo-Kristen hanya memfokuskan
pada Yahudi. Namun, dengan kebangkitan Yesus Kristus, perspektif
Yudeo-Kristen kini terbagi menjadi perspektif Yahudi dan perspektif
Kristen. Dalam uraian berikutnya, "perspektif Kristen" ditelusuri.
"Perskepktif Kristen" di sini merujuk pada korpus kepercayaan
tradisional yang kini diyakini oleh sebagian besar gereja Kristen.
Ketika mendefinisikan "perspektif Kristen" dengan cara ini seharusnya
ditunjukkan bahwa tidak ada gereja Kristen tunggal dan monolitik, yang
berkembang langsung mengikuti zaman Yesus. Sebaliknya, terdapat banyak
sekali gereja independen, masing-masing memiliki rangkaian kitab sucinya
sendiri yang diakui, masing-masing berdada di bawah kepemimpinan uskup
atau pemimpin tersendiri yang independen, dan masing-masing memiliki
sudut pandang sendiri atas persoalan-persoalan seperti: apakah yang
disalib itu sebenarnya Yesus Kristus atau bukan, hakikat yesus Kristus,
yakni, apakah dia Tuhan, manusia, atau perpaduan keduanya, dan hakikat
Tuhan, yaitu, tiga dalam satu rumusan (trinitas) atau yang lain atau
satu dan tak-terbagi. Hingga beberapa abad kemudian, persoalan-persoalan
ini belum dipilah-pilah, dan konsensus tradisional mengenai iman
Kristen mulai muncul.
Dengan
pemikiran di atas bisa dinyatakan bahwa, dari perspektif Kristen,
kelahiran Yesus mengantarkan pada zaman ketiga dimana sejarah berporos,
dan dimana hubungan fundamental atara Allah dan umat manusia diubah
untuk selamanya. Meskipun konon kelahiran fisik Yesus sudah eksis
sebelumnya,[30] tetapi Yesus dilhat sebagai putra Tuhan melalui
kelahiran dari seorang perawan, yang membuka perjanjian Allah dengan
seluruh umat manusia, yang kerasulannya berlaku baik untuk kaum Yahudi
manupun non-Yahudi, dan yang kokon disalib demi menebus dosa umat
manusia, sebelum akhirnya - konon - dibangkitkan kembali. Meskipun
rumusan-rumusan yang tepat mengenai konsep trinitas itu berbeda, tetapi
Yesus dilihat sebagai salah satu pribadi di antara tiga (Bapa, Putra,
dan roh Kudus) yang sama-sama memiliki substansi ketuhanan.
Dalam
perspektif Kristen, kerasulan Yesus itu secara khusus dipandang telah
berkembang di luar Yahudi, utamanya Yahudi gerakan Farisi dan Eseni, dan
mengantarkan perjanjian baru berupa keimanan, pertobatan, dan penebusan
dalam "darah Kristus" yang sepenuhnya menggantikan perjanjian Musa
sebelumnya. Singkatnya, Kristen menggantikan Yahudi yang tidak lagi
relevan atau tidak berlaku secara spiritual setelah adanya perjanjian
baru dari Kristus. Masa berlaku nabi-nabi dalam Perjanjian Lama kini
sudah berakhir, dan masa Roh Kudus dimulai.
Seperti
dinyatakan sebelumnya, diperlukan waktu beberapa abad bagi munculnya
konsensus dalam agama kristen. Namun demikian, konsensus tersebut
kemudian goyah. Ketidaksepakatan-ketidaksepakatan seperti terhadap
kemandirian dari, dan/atau tatanan hierarkis dari, pelbagai tingkat
uskup, dan mengenai susunan kata yang tepat perihal definisi trinitas,
akhirnya mengarah pada skisme besar antara Gereja Katolik Roma dan
Gereja Katolik Ortodoks. Gereja-gereja ini kemudian terfragmentasi,
sebagian besar menurut garis kebangsaan dan etnis. Beberapa abad
kemudian, Gereja Katolik Roma mengalami skisme tersendiri selama
reformasi Protestan. Inilah yang memunculkan denominasi-denominasi
Protestan yang sangat banyak dan beragam.
AGAMA ISLAM
Menurut
perspektif Yudeo-Kristen, Islam belum eksis hingga kerasulan dan dakwah
Muhammad pada abad ke-7. Mula-mula (Muhammad) digambarkan sebagai
anti-Kritus oleh banyak umat Kristen. Tetapi, citra Muhammad kemudian
mulai digambarkan secara labih baik di kalangan unsur-unsur pendeta dan
sarjana Kristen tertentu. Namun demikian, prespektif Yudeo-Kristen pada
umumnya masih memahami bahwa Islam dimulai dengan Muhammad, dan Muhammad
menciptakan Islam dengan sebagian besar meminjam (konsep dan ajaran)
dari Yahudi rabbanik dan Kristen. Dengan memperhatikan peminjaman yang
diduga berasal dari agama Kristen, secara tradisional diyakini bahwa
(ajaran) Muhammad sebagian besar mengambil dari ajaran-ajaran gereja
Timur dan dari pelbagai tulisan apokrif Kristen. Dus, dari perspektif
Yudeo-Kristen, Islam dimulai pada abad ke-7 sebagai penggabungan Yahudi
dan Kristen.
IKHTISAR
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Ringkasnya,
perspetif Yudeo-Kristen meletakkan rangkaian evolusi berikut mengenai
Yahudi, Kristen, dan Islam. Yahudi primitif atau proto-Yudaisme bisa
ditelusuri jejaknya hingga perjanjian primitif antara Allah dan Nuh.
Namun demikian, Yahudi nyatanya memiliki asal-muasalnya saat diadakan
perjanjian antara Allah dan Ibrahim, sebuah perjanjian yang secara
eksklusif diwarisi oleh Ishak, kemudian oleh Yakub, dan kemudian oleh
bangsa Israel. Perjanjian tersbut kemudian dirumuskan-ulang oleh Musa.
Sejak
saat itu, Yahudi sebagai agama yang berkembang-penuh pun dimulai. Yang
terpenting bagi pemeliharaan Yahudi sebagai sebuah praktik keagamaan
yang kahs adalah kultus kuil, dengan fokusnya pada tindakan pengorbanan
di Kuil Sulaiman di Yerusalem. Setelah itu, banyak bangsa Israel yang
menyimpang dari ketaatan terhadap perjanjian tersebut, kemudian Allah
mengutus para nabi untuk menegaskan-kembali perjanjian Musa, tetapi
tidak menambah maupun memodifikasinya.
Keadaan
tersebut terus berubah hingga perjanjian baru dengan Kristus, yang
menajdi asal kemunculan agama Kristen. Hampir enam ratus tahun kemudian,
Muhammad, yang banyak meminjam dari ajaran Yahudi rabbanik dan dari
agama Kristen, menciptakan agama Islam. Demikianlah konsep agama dalam
perspektif Yudeo Kristen.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
CATATAN KAKI
1. Kitab Kejadian 5:1-29.
2. Lihat topik tentang Allah pada menu.
3. Kitab Kejadian 6:18.
4. Kitab Kejadian 6:11-12.
5. Kitab Kejadian 9:8-17.
6. Kitab Kejadian 10:1; 11:10-16.
7. Kitab Kejadian 17:9-14.
8. Kitab Kejadian 17:4-8, 18-19, 21.
9. Kitab Kejadian 26:1-5.
10. Kitab Kejadian 25:19-34; 27:1-40; 28:13-16; Kitab Keluaran 2:24.
11. Kitab Kejadian 32:28.
12. Schonfield HJ (1967).
13. Kitab Raja-raja I 6:1.
14. Kitab Raja-raja I 6:2.
15. Josephus F (1998).
16. A) Mack BL (1996) B) Schonfield HJ (1967).
17. Schonfield HJ (1967).
18.
Dalam agama Yahudi, jabatan kependetaan diwariskan berdasarkan garis
keturunan ayah dari Nabi Harun. Harun adalaha salah seorang anggota suku
Levi, dan para anggota (Lewis) suku Levi tersebut, yang bukan merupakan
keturunan garis laki-laki Harun memiliki pelbagai peran dan jabatan
nonkependetaan yang dikaitkan dengan kultus kuil di Yerusalem.
19. Schonfield HJ (1967).
20. Kitab Hagai 1:1; 2:1.
21. Kitab Hagai 1:1; 2:1-3.
22. Kitab Ezra 6:3.
23. A) Josephus F (1988) B) Schonfield HJ (1967).
24. A) Leon-Dufour X (1983) B) Schonfield HJ (1967) C) Sandison GH D) Josephus F (1988).
25. Schonfield HJ (1967).
26. A) Schonfield HJ (1967) B) Leon-Dufour X (1983) C) Sandison GH D) Josephus F (1988).
27. A) Josephus F (1988) B) Mack BL (1996) C) Sandison GH D) Leon-Dufour X (1983) E) Stegemann H (1998) F) Dupont-Somer A (1967)
28. Mack BL (1996)
29. A) Mack BL (1996) B) Sandison GH
30. Kitab Yohanes 1:1-18.
Wassalaam.
Baca Selengkapnya Di: http://muslims-says.blogspot.com/2012/04/perspektif-yudeo-kristen-tentang-agama.html#ixzz1qwJze9Zx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar