Selama
ini banyak kalangan beranggapan bahwa missi Kristenisasi yang dilakukan
oleh gereja semata bermotifkan agama. Tetapi sesungguhnya ada motif
lain yang tak kalah kuat, bisnis.
Bisnis
apa yang paling menggiurkan saat ini?. Jawaban yang cukup nakal
dikemukakan oleh seorang blogger Kristen, Mang Ucup. Di dalam blognya ia
menulis, “Bisnis properti sekarang sudah tidak sehebat seperti dahulu
lagi, oleh sebab itu banyak dari mereka yang berganti haluan mengalih ke
bisnis politik, nah apa salahnya kalau bisnis atau usaha Anda dialihkan
jurusannya ke bisnis rohani?”
Bisnis
rohani yang ia maksud adalah mendirikan gereja. Bahkan dengan
terang-terangan ia menawarkannya sebagai jasa waralaba. “Untuk hal ini
mang Ucup ingin menawarkan jasa waralaba (franchise) untuk mendirikan
Gereja ‘Angin Surga’,” begitulah tawarannya.
Di
blog “Sabdaspace” bahkan ada seorang blogger yang menulis, “Salah satu
resolusi tahun baru yang saya buat di awal bulan Januari 2010 adalah
membuka bisnis. Setelah saya pikirkan selama beberapa bulan terakhir,
saya memutuskan untuk membuka bisnis gereja di tahun ini”.
Bukan
tanpa perhitungan dan perencanaan matang, mereka bahkan sudah melakukan
analisis pasar dengan menggunakan teori Bauran Pemasaran (Marketing
Mix). Analisa product (produk), promotion (promosi), price (harga) dan
place (tempat)-nya sudah mereka siapkan. Dengan begitu mereka telah
membuka peluang baru untuk menggabungkan antara bisnis dan sisi rohani.
“Secara bisnis kita untung banyak, dan bisa berlindung dibawah "payung"
secara rohani. Kesimpulannya, sekali mendayung dua-tiga pulau
terlampaui”, ujarnya.
Franchise
gereja ‘Angin Surga’ yang ditawarkan Mang Ucup diperkirakan akan menuai
keuntungan yang besar. Ia menjanjikan modal akan kembali dalam waktu 6
bulan. Bahkan Lambok A. Sitorus mencatat total keuntungan yang bisa
diraup dari sekali ibadah adalah Rp. 18,5 juta. Dari mana uang sebesar
itu diperoleh? Lihat di sini.
Hitung-hitungannya
begini. Modal awal yang diperlukan Rp. 16,5 juta. Rincian
pengeluarannya untuk sewa gedung 10 juta (lengkap dengan fasilitas
musik), biaya pembicara Rp. 500 ribu, tim musik, WL, singer dan tamborin
Rp. 1 juta. Jika memakai 2 artis maka pengeluarannya Rp. 2 juta.
Keamanan (polisi) Rp. 1 juta, kartu undangan dan iklan Rp. 1 juta,
makan makan Rp. 2 juta. Jadi total pengeluarannya Rp. 16, 5 juta.
Sementara
estimasi pemasukannya dengan target jemaat yang hadir 1000 orang, akan
didapatkan kolekte Rp. 5 juta (@Rp. 5000), korban tantangan Rp. 20
juta, pengusaha dan sponsor untuk investasi Rp. 10 juta. Total pemasukan
akan didapatkan Rp. 35 juta. Jadi, total keuntungan bila buka bisnis
seperti ini untuk sekali ibadah adalah Rp. 18,5 juta. Jika sebulan
minimal dilakukan empat kali maka akan terkumpul keuntungan sebesar Rp.
74 juta. Belum lagi jika benar-benar mendirikan bangunan gereja, dana
dari kalangan pengusaha Kristen dan luar negeri akan mengalir deras.
“Kalau Protestan akan didanai para pengusahanya dan dari lembaga khusus
milik mereka, sementara Katolik akan dapat dana dari Vatikan”, jelas
mantan evangelis (penginjil) Bernadus Doni.
Cerita
di atas bukanlah guyonan para blogger di dunia maya. Dalam praktiknya
hal itu memang benar-benar terjadi. Motif bisnis menjadi sangat dominan
dalam pendirian sebuah gereja baru. Hal ini diakui oleh Sekretaris Umum
Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Pdt. Gomar Gultom. Menurutnya banyak
para pendeta mengelola gereja sebagai bisnis atau perusahaan pribadi.
Apalagi di Kristen Protestan dikenal adanya istilah denominasi. Seorang
diri berhak mendirikan gereja.
“Jika
dia tidak cocok dengan gereja mereka bisa memecahkan diri dan
mendirikan gereja baru. Sebab kalau dilarang akan menyalahi ajaran
Kristiani”, ungkap pendeta HKBP itu dalam kesempatan dialog offair di
sebuah stasiun televisi swasta nasional.
Tidak
mengherankan jika pertumbuhan gereja di Indonesia bak jamur di musim
hujan. Data Kementerian Agama menyebutkan bahwa pertumbuhan gereja pasca
adanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri (PBM) sebesar
138 persen. Sementara masjid hanya 68 persen.
Untuk
bisa mendirikan gereja yang sebanyak itu, memang segala hal mereka
lakukan. Manipulasi fakta, memalsu tanda tangan, bahkan menyuap pejabat
dan masyarakat setempat. Sekjen Dewan Masjid Indonesia (DMI) Natsir
Zubaidi mempunyai pengalaman soal upaya penyuapan pihak gereja ini.
Dalam kasus pendirian sebuah lembaga Kristen di Ciledug, Tangerang,
pihak Kristen menawarkan kepadanya uang sebesar Rp. 500 hingga 750 juta.
Dalam kasus Bekasi, Natsir bahkan mensinyalir beberapa pihak di sana
juga menerima suap dari HKBP dalam jumlah ratusan juta rupiah.
Ketua
Forum Umat Islam Mustika Jaya (FUIM) Sahid Tajudin membenarkan dugaan
itu. Ia mengakui pernah ditawari uang ratusan juta rupiah untuk
menghentikan protes atas pembangunan gereja HKBP di Ciketing. Tawaran
itu ditolaknya.
Rupanya
modus yang sama juga dilakukan di Ngrowo, Bojonegoro, Jawa Timur. Untuk
meloloskan pembangunan gereja Bethany di Jalan Sawunggaling, pihak
gereja menyogok warga di RT. 01 RW. 01 Kelurahan Ngrowo masing-masing
Rp. 200 ribu. Ada 74 tanda tangan yang dikumpulkan dari warga sekitar.
Artinya mereka mengeluarkan dana Rp. 14,8 juta untuk memuluskan
pendirian gereja itu.
Bisnis Katolik Vs Bisnis Protestan
Meski
sama-sama Kristen, dalam masalah bisnis rupanya ada perbedaan yang
cukup signifikan antara Katolik dengan Protestan. Hal itu diungkap oleh
F. Rahardi dalam bukunya “Menguak Rahasia Bisnis Gereja”. Menurut
Rahardi, orang Katolik tidak terlalu beruntung dalam berbisnis. Sebab
orang Katolik kalau berdoa dua telapak tangannya terkatup rapat dan
kepalanya menunduk. Doa dan nyanyiannya juga pelan-pelan.
Berbeda
dengan orang Protestan. Jika berdoa telapak tangannya terentang dan
menengadah, siap menampung rezeki yang dijatuhkan Tuhan dari langit.
“Mereka juga menyanyi dengan sangat keras, sambil menangis-nangis,
kadang bertepuk tangan, hingga doa mereka selalu didengar Tuhan”, ungkap
pria kelahiran Ambarawa itu.
Rahardi
mencoba membuktikan tesisnya secara demografi. Ia katakan bahwa di
belahan utara benua Amerika yang Protestan, rakyatnya lebih makmur
dibanding Amerika Latin yang Katolik. Di Indonesia, NTT yang Katolik
juga miskin. Manado lebih makmur ketimbang Toraja, Ambon lebih makmur
daripada Maluku Tenggara, sementara di Kulonprogo, Yogyakarta
masyarakatnya yang Katolik juga miskin. “Di mana-mana orang Protestan
lebih gesit dalam menangkap peluang bisnis. Sebab orang Protestan lebih
sering protes”, jelas Rahardi.
Awal
majunya Protestan dalam berbisnis dimulai ketika Marthin Luther
(1483-1546) memisahkan diri dari Katolik dan mendirikan Protestan.
Terobosan bisnis pertama kali yang ia lakukan adalah mencetak Bible
dalam bahasa Jerman secara massal. Untuk kurun waktu itu, apa yang
dilakukan oleh Martin adalah terobosan bisnis yang luar biasa radikal.
Sebab dalam tradisi Katolik, Bible hanya boleh ditulis dalam bahasa
Latin dan yang berwenang membacanya adalah Pendeta.
Selain
memperjualbelikan Bible, Protestan juga membolehkan para pendetanya
untuk menikah dan berkeluarga. Karena di Protestan terdapat ratusan
sekte-sekte kecil maka pembisnisan gereja menjadi tak terhindarkan.
“Karena berkeluarga, pendeta Protestan juga terbebani memikirkan
kebutuhan keluarga dan kurang berkonsentrasi pada umat”, katanya.
Ragam Bisnis Gereja
Mendirikan
gereja ibarat memiliki holding company. Ada banyak lini bisnis yang
bisa digarap. Tinggal pandai-pandainya pihak gereja menangkap peluang
itu. Dalam ritual misa, sebenarnya terbuka peluang bisnis yang cukup
besar.
Dalam
ibadat misa mutlak diperlukan roti tak beragi yang disebut hosti. Hosti
asli dalam “perjamuan Terakhir” berupa adonan tepung gandum yang dibuat
dengan lempengan selebar 20-30 cm, dengan ketebalan 2-3 cm yang
dipanggang. Sementara anggur yang digunakan adalah anggur merah (red
wine). Hosti dan anggur ini harus diproduksi secara benar oleh pihak
yang berkompeten. Untuk gereja Katolik, jenisnya harus seragam.
Hosti
banyak diproduksi oleh biara di Indonesia, sementara anggurnya harus
diimpor dari Australia. Di sana kebun anggur itu dimiliki oleh Ordo
Jesuit. Maka tak pelak lagi kebutuhan anggur misa di Indonesia
dimonopoli oleh Jesuit. Jesuit adalah sekte terbesar di dunia. Sementara
di Indonesia mereka di urutan kedua. Sekte terbesar di Indonesia adalah
Serikat Sabda Allah (SVD).
Selain
masalah hosti dan anggur, tempat misa juga bisa menjadi lahan bisnis.
Seolah meniru ibadah Sholat Jum’at bagi umat Islam, kalangan Nasrani
juga berkreasi dengan membuat Misa Jum’atan. Jika umat Islam mengadakan
sholat Jum’at dan pengajian di perkantoran, mereka tak mau kalah. Misa
Jum’atan digelar juga di perkantoran, bahkan di hotel berbintang. Untuk
menarik minat jemaat dan menghasilkan keuntungan, panitia mengundang
para pengusaha kelas atas, artis dan tokoh-tokoh mereka. Dalam misa ini
diadakan kolekte (persembahan).
“Hasil
uang kolekte misa hotel berbintang ini ternyata mampu menutup semua
biaya dan sisanya masih sangat besar”, ungkap Rahardi. Bahkan
menurutnya, dalam perjalanan selanjutnya panitia misa akhirnya memasang
tarif. Untuk kalangan Protestan, kegiatan seperti ini bahkan
diselenggarakan secara massal di Senayan Jakarta. Untuk menarik massa,
mereka memberi embel-embel ‘penyembuhan’.
Ladang
bisnis selanjutnya adalah akomodasi. Gereja biasanya membangun rumah,
wisma, panti asuhan dan asrama untuk segmen bisnis ini. Untuk
memfasilitasi jemaat yang akan melakukan retret (menyepi), di Kawasan
Cisarua, Cipanas dan Lembang banyak dibangun rumah retret. Di Jawa
Tengah dibangun di daerah Bandungan, Yogyakarta di kawasan Kaliurang dan
Kota Batu untuk wilayah Jawa Timur. Ada juga rumah retret yang menyatu
dengan biara atau paroki, seperti Wisma KWI di Pondok Labu, Jakarta
Selatan dan Wisma Canossa di Pondok Aren, Bintaro, Tangerang.
Bisnis
rumah retret ini mirip dengan bisnis hotel, dari kelas melati hingga
bintang. Ada tarif atau paket tertentu. Akomodasi yang standar bintang,
tarifnya lebih dari Rp. 500 ribu/orang per hari. Contohnya rumah retret
Bukit Talita di Ciloto, Cianjur, Jawa Barat. Rumah retret ini juga bisa
dipakai untuk rapat, raker, munas dan berbagai pelatihan.
Dalam
bidang pendidikan, gereja juga mengelola sekolah dari tingkat TK hingga
perguruan tinggi. Bahkan tidak sedikit sekolah Kristen dan Katolik yang
menjadi favorit dan biayanya sangat mahal. Di jalan Ir. H. Juanda
Jakarta, berdiri kompleks sekolah Santa Maria yang mengelola TK, SD, SMP
dan SMK Pariwisata. Di tingkat perguruan tinggi, kampus-kampus Katolik
memebuat asosiasi yang disebut Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik
(APTIK). Tercatat ada 15 Universitas Katolik yang bernaung dibawahnya.
Bisnis
di bidang kesehatan juga tak kalah menggiurkan. Salah satunya adalah
rumah duka. Untuk kota-kota besar seperti Jakarta, profit bisnis ini
sangatlah besar. Mulai dari memandikan dan merawat jenazah, peti mati,
karangan bunga, mobil jenazah, rumah duka, hingga pemakaman, semua bisa
diurus oleh lembaga bisnis ini. Jika jenazah itu dimakamkan di luar
kota, keuntungannya akan lebih besar lagi. Karena akan ada jasa
transportasi. Jika jenazah itu dikremasi, pundi keuntungan akan membesar
lagi.
Ziarah
ke Gua Maria (devosi) akan menjadi lahan bisnis selanjutnya. Maklum,
hasrat umat Katolik untuk berziarah sangatlah besar. Kegiatan devosi
kepada Maria ini mencapai puncaknya ketika Bernadette Soubirous, gadis
14 tahun, pada 1858 diberi penampakan Santa Maria di gua Masabielle di
Lourdes, Perancis Selatan, sebanyak 18 kali. Tahun 1917, penampakan
Maria diyakini terjadi di Lisabon, Portugal. Bagi Perancis, devosi mampu
mendatangkan devisa yang sangat besar. Kegiatan devosi dilakukan tiap
bulan Mei dan Oktober, dengan pertimbangan utamanya bisnis bukan
teologis.
Sementara
di Indonesia, devosi dilakukan di Sendangsono yang berada di pegunungan
Menoreh, Dusun Semanggung, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang,
Kulonprogo, Yogyakarta. Selain itu juga di Kerep, Ambarawa dan
Puhsarang, Kediri, Jawa Timur.
Bidang
pertanian dan perbengkelan juga menjadi bidang garapan bisnis gereja.
Ada dua lembaga Katolik yang terkait dengan bisnis pertanian organik.
Serikat Paguyuban Tani dan Nelayan – Hari pangan Sedunia (SPTN-HPS) yang
berlokasi di Tegalgendu, Kotagede, Yogyakarta dan Yayasan Bina Sarana
Bhakti (YBSB) di Cisarua, Bogor. Kedua lembaga ini berdiri sejak tahun
1980-an. YBSB aktif mempengaruhi petani sayuran di Puncak untuk
mengembangkan sayuran organik guna memasok hotel berbintang di Jakarta.
Keuskupan,
Keuskupan agung, Tarekat, juga Paroki banyak mempunyai kebun dan unit
peternakan. Tarekat SVD di Flores mempunyai Kebun kelapa seluas 200
hektar di Pinggir Pantai, di Jalan raya Maumere, Larantuka. Tarekat para
rahib O.C.S.O di Rawaseneng, Temanggung, Jawa Tengah mengelola kebun
kopi robusta seluas 1500 hektar, peternakan babi dan sapi perah.
Akademi
Teknik Mesin Industri (ATMI) di Surakarta adalah lembaga pendidikan dan
perusahaan filing cabinet yang dipunyai gereja. Tahun 2003, ATMI
membuka cabang di Cikarang, Bekasi. Sementara Pendidikan Industri Kayu
Atas (PIKA) di Semarang mengadakan kegiatan pertukangan. Ordo Jesuit
mempunyai Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) di Salatiga. Tidak jauh
dari sana, di Kota Ungaran ada lahan dengan kegiatan Aksi Agraris
Kanisius (AAK).
Kalangan
gereja juga merambah bisnis media dan penerbitan. Ada tujuh penerbit
milik gereja yang bernaung dibawah sekretariat bersama (seksama), yakni
Kanisius di Yogyakarta, Dioma di Malang, Bina Tama di Surabaya, Nusa
Indah di Ende, Bina Media di Medan, Obor dan Hidup di Jakarta. Selain
itu ada tiga penerbit lagi di luar itu, Ledalero di Maumere, Cipta Loka
Caraka di Jakarta dan Karmelit di Malang.
Bisnis
terakhir adalah bisnis politik dan kekuasaan. Saat ini ada dua partai
Kristen yang cukup besar, Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) dan
Partai Damai Sejahtera (PDS). Melalui dua partai ini dan partai-partai
sekuler lainnya, kepentingan Kristen di kancah politik diperjuangkan.
Salah satu hasilnya, hampir 30% gubernur di Indonesia dari kalangan
Kristen.
Korupsi di Gereja
Karena
gereja mengelola asset yang sangat besar maka korupsi pun manjadi tidak
terelakkan. Kemana uang hasil korupsi itu?. Menurut F. Rahardi, uang
hasil korupsi itu pertama tentu untuk orangtua, saudara, keponakan dan
sanak famili. Kedua, bisa saja untuk teman selingkuhnya. Sebab
perselingkuhan juga terjadi diantara anggota tarekat (pastor dan bruder
dengan suster) atau pastor dan bruder dengan wanita biasa. Di lingkungan
gereja Bethany misalnya, Pdt. Abraham Alex dituduh hanya jualan Firman
Tuhan dan menarik dana dari jemaat kaya.
Tentang
skandal korupsi di gereja ini telah diulas oleh George Junus
Aditjondro, melalui bukunya “Gereja dan Penegakan HAM”. Beberapa skandal
korupsi diulas dalam buku yang diterbitkan oleh Penerbit
Kanisius,Yogyakarta itu.
Kasus
manipulasi bantuan Jema’at-Jema’at Gereja Kristen Sulawesi Tengah
(GKST) untuk para korban tsunami di Aceh dan Nias pada akhir 2005 adalah
salah satu contohnya. Menurut Investigasi BPKP GKST pada 12 Desember
2005, hasil sumbangan 61 jema’at GKST yang diperuntukkan bagi para
korban Tsunami dan Nias telah terkumpul sebanyak Rp 27.538.450. Namun,
pengelola gereja di bawah Majlis Sinode (MS) GKST di Tentena sebagai
pihak yang diserahi jema’at malahan tidak menggunakan amanah itu
sebagaimana mestinya. Sejumlah 24,5 juta dari dana bantuan Jema’at
“dipinjam” oleh MS GKST, sedangkan sisanya berada di tangan Bagian
Keuangan Badan Pekerja Sinode (BPS) GKST .
Menurut
Junus, kasus yang sama juga dilakukan MS GKST terhadap bantuan untuk
korban bom di Pasar Tentena,yang berjumlah sebesar Rp 338 juta lebih.
Dari jumlah bantuan itu, hanya Rp 162 juta lebih yang dimanfaatkan untuk
kepentingan para korban, tapi Rp 25 juta lagi-lagi “dipinjam” oleh MS
GKST. Bagi Junus, kebijakan seperti ini jelas tidak etis karena
“merampas” hak para korban bom di Pasar Tentena.
Kasus
manipulasi bantuan jema’at yang cukup besar juga terjadi pada Yayasan
Peduli Kasih Hurian Kristen Batak Protestan (YPK HKBP) pada tahun 2007
yang lalu. Berdasarkan analisis Junus, YPK HKBP telah menyalahgunakan
dana bantuan Tsunami untuk ratusan anggota Jema’at HKBP di Meulaboh,
Aceh Barat sebesar satu milyar lebih atau tepatnya Rp 1.058.228.513.
Dana itu berasal dari bantuan dermawan-dermawan di luar negeri serta
kolekte (persembahan) Jema’at-Jema’at HKBP se-indonesia yang total
seluruhnya sebesar Rp 10.792.529.725 yang dihimpun oleh Yayasan Peduli
Kasih HKBP sendiri. Fakta ini terkuak dalam laporan hasil audit dana
bantuan kemanusiaan untuk bencana alam Tsunami No. 12/BA/VIII/HKBP/2007
yang ditandatangani oleh Ketua Badan Audit HKBP, Djawakin Sihotang, dan
ditunjukkan kepada Majlis Pekerja Sinode (MPS) HKBP tertanggal 24
Agustus 2007.
Di
Perancis, bahkan ada seorang pendeta Katolik yang ditangkap karena
melakukan penggelapan uang. Romo Antoine Videau telah menggelapkan uang
sebesar Rp. 3.388.000.000 selama lebih dari dua puluh tahun dengan
mencuri persembahan yang berada di gereja dan menyewakan gereja serta
perlengkapan gereja kepada orang lain. Hasil penggelapan yang dia
lakukan itu sudah menghasilkan sebuah mobil Ferrari yang dikendarainya
setiap kali bepergian, tinggal dengan seorang wanita simpanan dan
terkenal dengan sebutan ‘Playboy Padre’, dan mempunyai 28 akun bank.
Saat
ini, Videau yang telah berumur 64 tahun tersebut juga sudah membeli
berbagai vila. Pendeta itu juga menyelewengkan 850 juta dari keuskupan
setelah dia membuat surat wasiat dari seorang pastor senior. Dia juga
menghabiskan dana santunan gereja untuk kesenangannya di Las Vegas.
Jelas
sudah, bahwa misi Kristenisasi bukan sekedar menyebarkan agama Kristen
dan memurtadkan umat Islam, tetapi lebih dari itu ada kepentingan
bisnis yang begitu menggoda.
[Dari: shodiq ramadhan - Islam Menjawab Fitnah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar