Seringkali,
orang kafir mencoba mengganggu iman kita dengan bertanya, mengapa
Qur’an banyak menggunakan kata KAMI untuk ALLAH? Bukankah kami itu
banyak? Itu berarti Qur’an pun mengakui “Tuhan” bapa, “Tuhan” anak &
“Tuhan” roh!
Bagaimana kita menjawab pertanyaan semacam ini???
Terkadang kita sering terjebak dengan pertanyaan semacam ini. Pertanyaan bisa berawal dari tidak tahu, namun banyak pula para kufar yang berusaha untuk membodohi umat Islam yang banyak tidak faham dengan bahasa arab. Pertanyaan seperti ini sering dijadikan senjata melawan umat Islam.
A. Konteks Penggunaan Pertama
Yang utama harus diingat ialah, Bahasa Arab adalah bahasa yang paling sukar didunia. (dan bahasa paling sukar kedua adalah Bahasa China).
Hal ini disebabkan karena dalam 1 kata, bahasa arab bisa memiliki banyak makna. kandungan seni serta balaghah dan fashohahnya
Contoh: Sebuah gender, dalam suatu daerah bisa bermakna lelaki, tapi dalam daerah lain bisa bermakna perempuan.
Dalam tata bahasa Arab, ada kata ganti pertama singular (anâ), dan ada kata ganti pertama plural (nahnu). Sama dengan tata bahasa lainnya. Akan tetapi, dalam bahasa Arab, kata ganti pertama plural dapat, dan sering, difungsikan sebagai singular. Dalam gramer Arab (nahwu-sharaf), hal demikian ini disebut “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” , kata ganti pertama yang mengagungkan dirinya sendiri.
(Dhamir ‘NAHNU’ ialah dalam bentuk jamak yang berarti kita atau kami. Tapi dalam ilmu ‘NAHWU’, maknanya tak cuma kami, tapi aku, saya dan lainnya).
Permasalahannya terjadi setelah al-Quran yang berbahasa Arab, dengan kekhasan gramernya, diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk Indonesia, yang tak mengenal “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” tersebut. Akan tetapi, setelah mengetahui perbedaan gramer ini, kejanggalan tersebut, mudah-mudahan segera dapat dimengerti dan dimaklumi.
Bagaimana mungkin aqidah Islam yang sangat logis dan kuat itu mau ditumbangkan cuma dengan bekal logika bahasa yang setengah-setengah.
Jika memang “KAMI” dalam Qur’an diartikan sebagai lebih dari 1, lalu mengapa orang arab yg jauh lagi faham akan bahasa arab tidak menyembah lebih dari 1 ALLAH?
Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Sedangkan Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi.
Selain kata ‘Nahnu”, ada juga kata ‘antum’ yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah kalian (jamak).
Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan panggilan ‘antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan ketimbang menggunakan sapaan ‘anta’.
Kata ‘Nahnu` tidak selalu bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah.
Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang Kepala Sekolah dalam pidato sambutan berkata,”Kami sebagai kepala sekolah berpesan . . . “.
Padahal Kepala Sekolah hanya dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “Kami”. Lalu apakah kalimat itu bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau hanya satu ?
Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap oleh orang asing yang tidak mengerti rasa bahasa. Atau mungkin juga karena di barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu.
Kalau umat khristiani tidak bisa faham rasa bahasa ini, harap maklum saja, karena alkitab bible mereka memang telah kehilangan rasa bahasa. Bahkan bukan hanya kehilangan rasa bahasa, tapi juga kehilangan kesucian sebuah kitab suci.
Seperti yg sudah diketahui banyak orang, alkitab Khristiani merupakan terjemahan dari terjemahan yang telah diterjemahkan dari terjemahan sebelumnya.
Ada sekian ribu versi bible yang antara satu dan lainnya bukan saja tidak sama tapi juga bertolak belakang. Jadi wajar bila alkitab christian mereka itu tidak punya balaghoh, logika, rasa dan gaya bahasa. Dia adalah tulisan karya manusia yang kering dari nilai sakral.
Di dalam Al-Quran ada penggunaan yang kalau kita pahami secara harfiyah akan berbeda dengan kenyataannya. Misalnya penggunaan kata ‘ummat’. Biasanya kita memahami bahwa makna ummat adalah kumpulan dari orang-orang. Minimal menunjukkan sesuatu yang banyak. Namun Al-Quran ketika menyebut Nabi Ibrahim yang saat itu hanya sendiri saja, tetap disebut dengan ummat.
Sesungguhnya Ibrahim adalah “UMMATAN” yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif . Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan. (QS. An-Nahl : 120)
B. Konteks Penggunaan Kedua.
Kata “Kami” bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan tersebut, Allah melibatkan unsur-unsur makhluk (selain diri-Nya sendiri). Dalam kasus nuzulnya al-Qur’an, makhluk-makhluk yang terlibat dalam pewahyuan dan pelestarian keasliannya adalah sejumlah malaikat, terutama Jibril; kedua Nabi sendiri; ketiga para pencatat/penulis wahyu; keempat, para huffadz (penghafal) dll. (Coba perhatikan baik-baik, kebanyakan ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Qur’an [dalam format kalimat aktif], Allah cenderung menggunakan kata Kami).
Contoh
“Sesungguhnya Kami telah turunkan al-Zikr [Al-Qur'an] dan Kami Penjaganya (keaslian)”. [QS.Al-hijr:11].
Contoh lain, coba lihat ayat-ayat tentang mencari rezki. Dalam ayat-ayat tersebut. Allah sering menggunakan kata Kami; artinya, rezki harus diusahakan oleh manusia itu sendiri, walaupun kita juga yakin bahwa rezki sudah ditentukan oleh Allah.
C. Konteks Penggunaan Ketiga.
Ayat yang menggunakan kata Kami biasanya menceritakan sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan jangkauan nalar manusia, seperti penciptaan Adam, penciptaan bumi, dan langit. Di sini, selain peristiwa itu sendiri yang nilai besar, Allah sendiri ingin menokohkan/memberi kesan “Kemahaan-Nya” kepada manusia, agar manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar/rasio manusia.
Contoh.
“Sesungguhnya KAMI telah menciptakan kamu (Adam), lalu KAMI bentuk tubuhmu, kemudian KAMI katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud” (QS. Al-A’raf 7:11)
Jika ada orang kufar berani mengganggu iman Islam, maka katakanlah yg HAQ itu HAQ & katakana pula yg BATHIL itu BATHIL. Sampaikanlah dengan hikmah & cara yg baik.
Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka…(Qs. 29 Ankabuut: 46).
Bagi penghujat Islam persoalan Kata Kami di banyak ayat Al Qur'an dituduh sebagai sebagai bukti adanya ayat ayat Al Qur'an yang bertentangan dengan ayat ayat Al Qur'an lainnya yang sangat jelas dan tegas bahwa Allah adalah Esa.
dan Bagi Misionaris adanya kata kami yang merujuk kepada Allah dijadikan pembenaran kalau ayat ayat Al Qur'an membenarkan konsep ketuhanan Trinitas.
tuduhan tuduhan tersebut hanya berdasarkan argumentasi yang sangat dangkal dalam memahami kata "KAMI",yang mereka simpulkan secara absolut bahwa kata kami merujuk kata ganti jamak.
Didalam kitab “Fatawa al Azhar” disebutkan bahwa sesungguhnya Al Qur’an al Karim diturunkan dari sisi Allah swt dengan bahasa arab yang merupakan bahasa Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan diturunkan dengan tingkat balaghah dan kefasehan tertinggi.
Artinya : “Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syuara’ : 195)
Dan merupakan suatu kebiasaan dikalangan orang-orang Arab bahwa seorang pembicara mengungkapkan tentang dirinya dengan menggunakan lafazh أنا (saya) dan jika terdapat orang lain bersamanya maka menggunakan lafazh نحن (kami) sebagaimana lafazh نحن (kami) digunakan si pembicara untuk mengagungkan dirinya sendiri. Pengagungan manusia terhadap dirinya sendiri dikarenakan dirinya memiliki berbagai daya tarik untuk diagungkan.
Bisa jadi hal itu dikarenakan dia memiliki jabatan, reputasi, kedudukan atau nasab lalu dia membicarakan tentang dirinya itu sebagai bentuk keagungan dan kebesaran. Bisa jadi juga untuk memberikan perasaan takut didalam hati orang lain seakan-akan dirinya sebanding dengan beberapa orang bukan dengan hanya satu orang. Bisa jadi seseorang mengungkapkan dirinya dengan lafazh نحن (kami) karena begitu banyak keahliannya seakan-akan beberapa orang ada didalam diri satu orang. Sehingga bentuk plural dan jama’ itu adalah pada pengaruhnya bukan pada si pemberi pengaruh.
Bentuk pengagungan diri pembicara atau orang yang diajak bicara terdapat pula didalam bahasa-bahasa lainnya bukan hanya didalam bahasa arab dan digunakan pula untuk tujuan-tujuan seperti disebutkan diatas.
Apabila Allah swt Tuhan Pemilik Keagungan berfirman :
Artinya : “Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka.” (QS. Al Insan : 28)
Posisi Allah di situ sebagai pemberi karunia kepada semua makhluk, pemberi nikmat, memberikan perasaan takut dan membuat lari orang-orang kafir sesuai dengan kata ganti pengagungan terhadap diri-Nya yang memberikan makna kuat dan gagah.
Dan apabila Allah berfirman :
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al Hijr : 9)
Posisi di situ sebagai pemilik kemampuan yang mampu memberikan ketenangan berupa pemeliharaan Allah terhadap Al Qur’an yang telah diturunkan dengan kekuasaan dan hikmah-Nya. Dan apabila Allah berfirman :
Artinya : “Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat),” (QS. Ghafir : 15)
Allah SWT itu bukan manusia dan bukan pula makhluk hidup dengan jenis kelamin. Maka Dia bukan laki-laki dan juga bukan perempuan, bukan pula banci (na'udzubillah minta dzalik).
Adapun bahasa arab, memang punya 14 dhamir atau kata ganti orang. Mulai dari huwa sampai nahnu. Huwa adalah kata ganti untuk orang ketiga, tunggal dan laki-laki.
Di dalam Al-Quran, penggunaan kata ganti orang ini sering juga diterapkan untuk lafadz Allah SWT. Al-Quran membahasakan Allah dengan kata ganti Dia (huwa). Di mana makna aslinya adalah dia laki-laki satu orang. Tetapi kita tahu bahwa Allah SWT bukan laki-laki dan juga bukan perempuan atau banci.
Kalau ternyata Al-Quran menggunakan kata ganti Allah dengan lafadz huwa, dan bukan hiya (untuk perempuan), sama sekali tidak berarti bahwa Allah itu laki-laki.
Penggunaan kata ganti huwa (yang sebenarnya untuk laki-laki) adalah ragam keistimewaan bahasa arab yang tidak ada seorang pun meragukannya.
Maka demikian pula dengan penggunaan kata nahnu, yang meski secara penggunaan asal katanya untukkata ganti orang pertama, jamak (lebih dari satu), baik laki-laki maupun perempuan, namun sama sekali tidak berarti Allah itu berjumlah banyak.
Orang arab sendiri akan terpingkal-pingkal kalau melihat cara orang Indonesia berusaha menyesatkan orang lain lewat logika aneh bin ajaib seperti ini, yaitu mengatakan Allah itu banyak hanya lantaran di Al-Quran Allah seringkali menggunakan kata ganti kami (nahnu). Betapa kerdilnya logika yang dikembangkan, niatnya mau sok tahu dengan bahasa arab, sementara orang arab sendiri mafhum bahwa bahasa mereka istimewa.
Tidak semua kata nahnu (kami) selalu berarti pelakunya banyak. Memang benar secara umum kata nahnu menunjukkan jumlah yang banyak, tetapi orang yang bodoh dengan bahasa arab terkecoh besar dengan ungkapan ini. Sebenarnya kata kami tidak selalu menunjukkan jumlah yang banyak, tetapi juga menunjukkan kebesaran orang yang menggunakannya.
Misalnya, seorang presiden dari negara arab mengatakan begini, "Kami menyampaikan salam kepada kalian", apakah berarti jumlah presiden negara itu ada lima orang? Tentu saja tidak. Sebab kata "kami" yang digunakannya menggambarkan kebesaran negara dan bangsanya, bukan menunjukkan jumlah presidennya.
Tukang becak di pinggir jalan pun tahu bahwa yang namanya presiden di semua negara pastilah jumlahnya cuma satu, tidak mungkin ada lima. Hanya orang bodoh saja yang mengatakan presiden ada lima. Jadi sangat naif sekali orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada banyak, hanya gara-gara Dia menyebut dirinya dengan lafadz KAMI
Bagaimana kita menjawab pertanyaan semacam ini???
Terkadang kita sering terjebak dengan pertanyaan semacam ini. Pertanyaan bisa berawal dari tidak tahu, namun banyak pula para kufar yang berusaha untuk membodohi umat Islam yang banyak tidak faham dengan bahasa arab. Pertanyaan seperti ini sering dijadikan senjata melawan umat Islam.
A. Konteks Penggunaan Pertama
Yang utama harus diingat ialah, Bahasa Arab adalah bahasa yang paling sukar didunia. (dan bahasa paling sukar kedua adalah Bahasa China).
Hal ini disebabkan karena dalam 1 kata, bahasa arab bisa memiliki banyak makna. kandungan seni serta balaghah dan fashohahnya
Contoh: Sebuah gender, dalam suatu daerah bisa bermakna lelaki, tapi dalam daerah lain bisa bermakna perempuan.
Dalam tata bahasa Arab, ada kata ganti pertama singular (anâ), dan ada kata ganti pertama plural (nahnu). Sama dengan tata bahasa lainnya. Akan tetapi, dalam bahasa Arab, kata ganti pertama plural dapat, dan sering, difungsikan sebagai singular. Dalam gramer Arab (nahwu-sharaf), hal demikian ini disebut “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” , kata ganti pertama yang mengagungkan dirinya sendiri.
(Dhamir ‘NAHNU’ ialah dalam bentuk jamak yang berarti kita atau kami. Tapi dalam ilmu ‘NAHWU’, maknanya tak cuma kami, tapi aku, saya dan lainnya).
Permasalahannya terjadi setelah al-Quran yang berbahasa Arab, dengan kekhasan gramernya, diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk Indonesia, yang tak mengenal “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” tersebut. Akan tetapi, setelah mengetahui perbedaan gramer ini, kejanggalan tersebut, mudah-mudahan segera dapat dimengerti dan dimaklumi.
Bagaimana mungkin aqidah Islam yang sangat logis dan kuat itu mau ditumbangkan cuma dengan bekal logika bahasa yang setengah-setengah.
Jika memang “KAMI” dalam Qur’an diartikan sebagai lebih dari 1, lalu mengapa orang arab yg jauh lagi faham akan bahasa arab tidak menyembah lebih dari 1 ALLAH?
Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Sedangkan Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi.
Selain kata ‘Nahnu”, ada juga kata ‘antum’ yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah kalian (jamak).
Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan panggilan ‘antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan ketimbang menggunakan sapaan ‘anta’.
Kata ‘Nahnu` tidak selalu bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah.
Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang Kepala Sekolah dalam pidato sambutan berkata,”Kami sebagai kepala sekolah berpesan . . . “.
Padahal Kepala Sekolah hanya dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “Kami”. Lalu apakah kalimat itu bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau hanya satu ?
Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap oleh orang asing yang tidak mengerti rasa bahasa. Atau mungkin juga karena di barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu.
Kalau umat khristiani tidak bisa faham rasa bahasa ini, harap maklum saja, karena alkitab bible mereka memang telah kehilangan rasa bahasa. Bahkan bukan hanya kehilangan rasa bahasa, tapi juga kehilangan kesucian sebuah kitab suci.
Seperti yg sudah diketahui banyak orang, alkitab Khristiani merupakan terjemahan dari terjemahan yang telah diterjemahkan dari terjemahan sebelumnya.
Ada sekian ribu versi bible yang antara satu dan lainnya bukan saja tidak sama tapi juga bertolak belakang. Jadi wajar bila alkitab christian mereka itu tidak punya balaghoh, logika, rasa dan gaya bahasa. Dia adalah tulisan karya manusia yang kering dari nilai sakral.
Di dalam Al-Quran ada penggunaan yang kalau kita pahami secara harfiyah akan berbeda dengan kenyataannya. Misalnya penggunaan kata ‘ummat’. Biasanya kita memahami bahwa makna ummat adalah kumpulan dari orang-orang. Minimal menunjukkan sesuatu yang banyak. Namun Al-Quran ketika menyebut Nabi Ibrahim yang saat itu hanya sendiri saja, tetap disebut dengan ummat.
Sesungguhnya Ibrahim adalah “UMMATAN” yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif . Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan. (QS. An-Nahl : 120)
B. Konteks Penggunaan Kedua.
Kata “Kami” bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan tersebut, Allah melibatkan unsur-unsur makhluk (selain diri-Nya sendiri). Dalam kasus nuzulnya al-Qur’an, makhluk-makhluk yang terlibat dalam pewahyuan dan pelestarian keasliannya adalah sejumlah malaikat, terutama Jibril; kedua Nabi sendiri; ketiga para pencatat/penulis wahyu; keempat, para huffadz (penghafal) dll. (Coba perhatikan baik-baik, kebanyakan ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Qur’an [dalam format kalimat aktif], Allah cenderung menggunakan kata Kami).
Contoh
“Sesungguhnya Kami telah turunkan al-Zikr [Al-Qur'an] dan Kami Penjaganya (keaslian)”. [QS.Al-hijr:11].
Contoh lain, coba lihat ayat-ayat tentang mencari rezki. Dalam ayat-ayat tersebut. Allah sering menggunakan kata Kami; artinya, rezki harus diusahakan oleh manusia itu sendiri, walaupun kita juga yakin bahwa rezki sudah ditentukan oleh Allah.
C. Konteks Penggunaan Ketiga.
Ayat yang menggunakan kata Kami biasanya menceritakan sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan jangkauan nalar manusia, seperti penciptaan Adam, penciptaan bumi, dan langit. Di sini, selain peristiwa itu sendiri yang nilai besar, Allah sendiri ingin menokohkan/memberi kesan “Kemahaan-Nya” kepada manusia, agar manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar/rasio manusia.
Contoh.
“Sesungguhnya KAMI telah menciptakan kamu (Adam), lalu KAMI bentuk tubuhmu, kemudian KAMI katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud” (QS. Al-A’raf 7:11)
Jika ada orang kufar berani mengganggu iman Islam, maka katakanlah yg HAQ itu HAQ & katakana pula yg BATHIL itu BATHIL. Sampaikanlah dengan hikmah & cara yg baik.
Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka…(Qs. 29 Ankabuut: 46).
Bagi penghujat Islam persoalan Kata Kami di banyak ayat Al Qur'an dituduh sebagai sebagai bukti adanya ayat ayat Al Qur'an yang bertentangan dengan ayat ayat Al Qur'an lainnya yang sangat jelas dan tegas bahwa Allah adalah Esa.
dan Bagi Misionaris adanya kata kami yang merujuk kepada Allah dijadikan pembenaran kalau ayat ayat Al Qur'an membenarkan konsep ketuhanan Trinitas.
tuduhan tuduhan tersebut hanya berdasarkan argumentasi yang sangat dangkal dalam memahami kata "KAMI",yang mereka simpulkan secara absolut bahwa kata kami merujuk kata ganti jamak.
Didalam kitab “Fatawa al Azhar” disebutkan bahwa sesungguhnya Al Qur’an al Karim diturunkan dari sisi Allah swt dengan bahasa arab yang merupakan bahasa Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan diturunkan dengan tingkat balaghah dan kefasehan tertinggi.
Artinya : “Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syuara’ : 195)
Dan merupakan suatu kebiasaan dikalangan orang-orang Arab bahwa seorang pembicara mengungkapkan tentang dirinya dengan menggunakan lafazh أنا (saya) dan jika terdapat orang lain bersamanya maka menggunakan lafazh نحن (kami) sebagaimana lafazh نحن (kami) digunakan si pembicara untuk mengagungkan dirinya sendiri. Pengagungan manusia terhadap dirinya sendiri dikarenakan dirinya memiliki berbagai daya tarik untuk diagungkan.
Bisa jadi hal itu dikarenakan dia memiliki jabatan, reputasi, kedudukan atau nasab lalu dia membicarakan tentang dirinya itu sebagai bentuk keagungan dan kebesaran. Bisa jadi juga untuk memberikan perasaan takut didalam hati orang lain seakan-akan dirinya sebanding dengan beberapa orang bukan dengan hanya satu orang. Bisa jadi seseorang mengungkapkan dirinya dengan lafazh نحن (kami) karena begitu banyak keahliannya seakan-akan beberapa orang ada didalam diri satu orang. Sehingga bentuk plural dan jama’ itu adalah pada pengaruhnya bukan pada si pemberi pengaruh.
Bentuk pengagungan diri pembicara atau orang yang diajak bicara terdapat pula didalam bahasa-bahasa lainnya bukan hanya didalam bahasa arab dan digunakan pula untuk tujuan-tujuan seperti disebutkan diatas.
Apabila Allah swt Tuhan Pemilik Keagungan berfirman :
Artinya : “Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka.” (QS. Al Insan : 28)
Posisi Allah di situ sebagai pemberi karunia kepada semua makhluk, pemberi nikmat, memberikan perasaan takut dan membuat lari orang-orang kafir sesuai dengan kata ganti pengagungan terhadap diri-Nya yang memberikan makna kuat dan gagah.
Dan apabila Allah berfirman :
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al Hijr : 9)
Posisi di situ sebagai pemilik kemampuan yang mampu memberikan ketenangan berupa pemeliharaan Allah terhadap Al Qur’an yang telah diturunkan dengan kekuasaan dan hikmah-Nya. Dan apabila Allah berfirman :
Artinya : “Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat),” (QS. Ghafir : 15)
Allah SWT itu bukan manusia dan bukan pula makhluk hidup dengan jenis kelamin. Maka Dia bukan laki-laki dan juga bukan perempuan, bukan pula banci (na'udzubillah minta dzalik).
Adapun bahasa arab, memang punya 14 dhamir atau kata ganti orang. Mulai dari huwa sampai nahnu. Huwa adalah kata ganti untuk orang ketiga, tunggal dan laki-laki.
Di dalam Al-Quran, penggunaan kata ganti orang ini sering juga diterapkan untuk lafadz Allah SWT. Al-Quran membahasakan Allah dengan kata ganti Dia (huwa). Di mana makna aslinya adalah dia laki-laki satu orang. Tetapi kita tahu bahwa Allah SWT bukan laki-laki dan juga bukan perempuan atau banci.
Kalau ternyata Al-Quran menggunakan kata ganti Allah dengan lafadz huwa, dan bukan hiya (untuk perempuan), sama sekali tidak berarti bahwa Allah itu laki-laki.
Penggunaan kata ganti huwa (yang sebenarnya untuk laki-laki) adalah ragam keistimewaan bahasa arab yang tidak ada seorang pun meragukannya.
Maka demikian pula dengan penggunaan kata nahnu, yang meski secara penggunaan asal katanya untukkata ganti orang pertama, jamak (lebih dari satu), baik laki-laki maupun perempuan, namun sama sekali tidak berarti Allah itu berjumlah banyak.
Orang arab sendiri akan terpingkal-pingkal kalau melihat cara orang Indonesia berusaha menyesatkan orang lain lewat logika aneh bin ajaib seperti ini, yaitu mengatakan Allah itu banyak hanya lantaran di Al-Quran Allah seringkali menggunakan kata ganti kami (nahnu). Betapa kerdilnya logika yang dikembangkan, niatnya mau sok tahu dengan bahasa arab, sementara orang arab sendiri mafhum bahwa bahasa mereka istimewa.
Tidak semua kata nahnu (kami) selalu berarti pelakunya banyak. Memang benar secara umum kata nahnu menunjukkan jumlah yang banyak, tetapi orang yang bodoh dengan bahasa arab terkecoh besar dengan ungkapan ini. Sebenarnya kata kami tidak selalu menunjukkan jumlah yang banyak, tetapi juga menunjukkan kebesaran orang yang menggunakannya.
Misalnya, seorang presiden dari negara arab mengatakan begini, "Kami menyampaikan salam kepada kalian", apakah berarti jumlah presiden negara itu ada lima orang? Tentu saja tidak. Sebab kata "kami" yang digunakannya menggambarkan kebesaran negara dan bangsanya, bukan menunjukkan jumlah presidennya.
Tukang becak di pinggir jalan pun tahu bahwa yang namanya presiden di semua negara pastilah jumlahnya cuma satu, tidak mungkin ada lima. Hanya orang bodoh saja yang mengatakan presiden ada lima. Jadi sangat naif sekali orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada banyak, hanya gara-gara Dia menyebut dirinya dengan lafadz KAMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar