Cari Di Blog Ini

Sabtu, 26 November 2011

Shalat Dhuha

Nabi Muhammad SAW. Menganjurkan agar tiap pagi hari kita bersedekah sebanyak bilangan seluruh persendian tubuh sebagai bentuk rasa syukur kepada Alloh. Dua rakaat sholat Dhuha bisa mencukupi semua sedekah tersebut. “Pada (tiap) pagi hari setiap persendian dari seseorang di antara kalian ada sedekahnya; setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma’ruf adalah sedekah dan nahi munkar adalah sedekah pula. Tetapi dapat mencukupi semuanya yaitu dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang dalam sholat Dhuha.” (HR Muslim, Abu Daud dan Ahmad)
Anjuran lain sholat Dhuha tercantum dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Abdurrahman bin Shakhr RA. atau yang lebih kita kenal dengan panggilan Abu Hurairah RA. “Aku telah dipesan oleh junjunganku (Nabi Muhammad SAW) tiga hal supaya tidak aku tinggalkan sampai mati, yaitu puasa pada tiap bulan selama tiga hari, sholat Dhuha dan tidur setelah sholat Witir.” (Muttafaq ‘alayh)
Kapan waktu pelaksanaan sholat Dhuha dimulai? Sholat Dhuha bisa dikerjakan setelah mentari terbit setinggi galah, kira-kira 25 (dua puluh lima) menit setelah terbit. Saat ini banyak dicetak pedoman sholat untuk waktu abadi atau kalender yang mencantumkan waktu sholat, terbit matahari dan Dhuha.
Dengan demikian sholat Dhuha bisa dilakukan sebelum kita berangkat ke kantor, sekolah atau kuliah. Namun, jika kita berangkat pagi-pagi benar sebelum waktu Dhuha karena jarak atau waktu tempuh yang lama, maka sholat Dhuha bisa dilakukan di kantor sebelum jam kerja. Bagi pelajar dan mahasiswa, sholat Dhuha dapat dilaksanakan pada jam istirahat.
Mungkin kita mengajukan alasan, “Kalau saya sholat Dhuha di sekolah, kampus atau kantor, saya khawatir timbul riya’. Saya takut dipuji teman-teman dan akhirnya ibadah saya bukan karena Alloh. Saya juga nggak mau dikatakan sok alim. Saya bukan ustadz, apalagi kyai. Saya pun belum menunaikan ibadah haji. Cukup sholat fardhu sajalah.”
Itulah salah satu cara syetan untuk mencegah kita beribadah. Syetan memang punya berjuta jurus untuk menaklukkan kita. Salah satunya dengan membisiki kita bahwa kalau kita beribadah yang tidak dilaksanakan orang lain, maka kita akan mudah terjangkit penyakit hati berupa riya’ dan ‘ujub. Kalau kita malah tidak sholat Dhuha karena takut riya’ dan ‘ujub, berarti syetan telah berhasil dan kita kalah dibuatnya. Solusinya adalah tetap sholat Dhuha, sambil menata hati dan memohon kepada Alloh agar menjaga kita dari godaan syetan.
Imam Al-Fudhail bin Iyadh menuturkan, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ dan berbuat amal karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah pembebasan Alloh dari keduanya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberi nasihat, “Iyyâka na’budu menolak penyakit riya’, sedangkan iyyâka nasta’în menolak penyakit ‘ujub dan takabur.”
Sholat Dhuha tidak ada hubungan dengan sebutan Haji, Ustadz, Kyai, Ajengan, Buya, Tuan Guru, Syaikh, al-’Âlim, al-’Allâmah, al-Fâdhil, al-Faqîh, al-Hâfizh atau lainnya. Kita sholat semata-mata karena Alloh, bukan untuk mendapat julukan “orang alim”. Jika omongan teman membuat kita tidak sholat, justru itu menunjukkan bahwa kita sholat karena mereka, ibadah kita tergantung sikap mereka kepada kita. Apakah diri kita seperti itu? Tentu tidak, kan? Bukankah kita telah berikrar bahwa sholat, ibadah, hidup dan mati kita hanya untuk Alloh?
Bisa jadi ada alibi lain yang kita ungkapkan, “Wah, saya sibuk sekali, mana sempat sholat Dhuha… Saya seorang profesional dan aktif di berbagai organisasi. Selain itu saya sering ke luar kota. Bisa dimaklumilah kalau saya sangat jarang sholat Dhuha.”
Seandainya saja setelah sholat Dhuha, untuk setiap rakaat yang kita kerjakan, Alloh langsung menghadiahi kita uang tunai Rp 100 juta, apakah kita masih mengatakan tidak sempat?
Kalau kita mau bersabar menunggu cairnya tabungan pensiun, mengapa kita tidak mau sedikit bersabar lagi menunggu cairnya tabungan akhirat? Bukahkah jarak antara kita pensiun dari kerja (usia 55 tahun) dan pensiun dari kehidupan ini tidak lama, rata-rata sekitar 10-15 tahun saja?
Barangkali kita akan mengemukakan argumentasi lain, “Sebenarnya saya ingin sekali sholat Dhuha. Tapi, gimana ya? Ya…, begitulah, tahu sendirilah bagaimana kondisi saya. Sejujurnya, sedih juga tidak bisa melaksanakannya.” Menjawab alasan tersebut, mari kita perhatikan nasihat Syaikh Ibnu Athaillah as-Sakandary berikut ini : “Sangat sedih karena tidak dapat menjalankan ketaatan kepada Alloh, akan tetapi merasa malas melakukannya adalah tanda ia terperdaya oleh setan.”
Kesedihan seperti ini adalah kesedihan palsu. Kita merasa sedih tapi kita malas. Kita merasa rugi tapi kita tinggalkan. Kita merasa tertinggal tetapi kita tidak mengejarnya. Kita ingin bangkit berdiri tetapi kita berada dalam mimpi pulas dan terbuai pula.
Andaikata kesedihan kita sampai menangis mencucurkan air mata diiringi penyesalan, akan tetapi tidak dengan usaha untuk mencapai apa yang menjadi kewajiban kita sebagai hamba Alloh, maka tangis dan penyesalan itu akan tinggal penyesalan belaka. Kita seharusnya berusaha untuk mencari kesempatan atau mempergunakan kesempatan, bukan dibelenggu oleh rasa senang mengikuti panggilan hawa nafsu.
Begitu indah dan hebatnya waktu Dhuha, Alloh bahkan pernah bersumpah atasnya. “Demi adh-Dhuha (waktu matahari sepenggalahan naik).” (QS adh-Dhuhâ [93] : 1)
Adh-Dhuha dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika matahari naik sepenggalah, cahayanya memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik sehingga tidak menyebabkan gangguan. Bahkan, panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan dan kesehatan. Dengannya, Alloh melambangkan kehadiran wahyu sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian jelas, menyegarkan dan menyenangkan.
Sebagai penutup, masih adakah alasan yang akan kita kemukakan sebagai pembenar kita malas melaksanakan sholat Dhuha?
Semoga Alloh menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…
Dikutip dari : Achmad Faisol, RObert Xu 
www.islambisa.web.id

Tidak ada komentar: