Senin, 31 Oktober 2011
Hidayatullah.com—Gerakan feminisme dan kesetaraan gender yang merambah ke dalam studi Islam tidak hanya terbatas pada masalah fiqh dan hadith saja, tetapi ia juga masuk dalam studi al-Qur'an.
Kesesatan paham gender, yang sering diusung tokoh liberal dengan menggunakan metode kritik sejarah umumnya diadopsi dari disiplin ilmu Kritik Bibel (Biblical criticism) yang digunakan dalam tradisi Kristen untuk mengkaji pertanyaan-pertanyaan teks, komposisi dan sejarah seputar Perjanjian Lama dan Baru.
Pernyataan ini disampaikan Henri Shalahuddin, MA, peneliti INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) dalam acara ”Dialog tentang Pemikiran Islam di Indonesia” dengan tema ”Menimbang Bahaya Laten dalam Kesetaran Gender” yang diadakan IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern Gontor) Cabang Malaysia bertempat di International Islamic University Malaysia (IIUM) belum lama ini.
Dalam acara dialog yang dihadiri para mahasiwa dan mahasiswi Indonesia di IIUM itu Henri memaparkan “feminisasi” studi al-Qur’an di Indonesia yang terlihat di beberapa kurikulum mata kuliah Ulumul Qur’an jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“Dalam sub bab ”Deskripsi Mata Kuliah” disebutkan pendekatan yang diterapkan dalam pembelajaran adalah sedapat mungkin dalam perspektif gender dengan mengemukakan berbagai contoh yang mendukung ke arah kesetaraan gender,” ujarnya.
Selain itu, dalam sub-bab ”Bahan Rujukan” disebutkan beberapa buku karya para tokoh liberal. Di antara buku yang dijadikan referensi adalah Wanita Dalam al-Qur’an Amina Wadud, Mafhum al-Nas karya Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Qur’an dan Modernitas karya Fazlur Rahman. Tafsir Konstektual al-Qur’an karya Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan karya Masdar Farid Mas’udi.
Buku lain yang yang mendukung “feminisasi” studi al-Qur’an yang juga disoroti Henri adalah Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an karya Dr. Nasaruddin Umar, MA (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dirjen Bimas Islam yang kini jadi Wakil Menteri Agama).
Henri menyimpulkan, dalam buku tersebut ada beberapa metode yang digunakan penulis dalam ‘memfeminiskan’ al-Qur’an, antara lain: Mendudukkan teks al-Qur'an setara dengan teks naskah-naskah lainnya yang tidak memiliki makna kesucian, melakukan kritik terhadap semua metode khazanah tafsir dan 'Ulum al-Qur'an, dan Kritik sejarah.
Henri menjelaskan bahwa kajian dilakukan oleh Nasaruddin ini memiliki banyak kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh para feminis Barat yang tidak puas dengan teks Bibel serta menuntut adanya tafsir feminis terhadap kitab suci mereka.*/Abdullah al-Mustofa, Kuala Lumpur, Malaysia
Hidayatullah.com—Gerakan feminisme dan kesetaraan gender yang merambah ke dalam studi Islam tidak hanya terbatas pada masalah fiqh dan hadith saja, tetapi ia juga masuk dalam studi al-Qur'an.
Kesesatan paham gender, yang sering diusung tokoh liberal dengan menggunakan metode kritik sejarah umumnya diadopsi dari disiplin ilmu Kritik Bibel (Biblical criticism) yang digunakan dalam tradisi Kristen untuk mengkaji pertanyaan-pertanyaan teks, komposisi dan sejarah seputar Perjanjian Lama dan Baru.
Pernyataan ini disampaikan Henri Shalahuddin, MA, peneliti INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) dalam acara ”Dialog tentang Pemikiran Islam di Indonesia” dengan tema ”Menimbang Bahaya Laten dalam Kesetaran Gender” yang diadakan IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern Gontor) Cabang Malaysia bertempat di International Islamic University Malaysia (IIUM) belum lama ini.
Dalam acara dialog yang dihadiri para mahasiwa dan mahasiswi Indonesia di IIUM itu Henri memaparkan “feminisasi” studi al-Qur’an di Indonesia yang terlihat di beberapa kurikulum mata kuliah Ulumul Qur’an jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“Dalam sub bab ”Deskripsi Mata Kuliah” disebutkan pendekatan yang diterapkan dalam pembelajaran adalah sedapat mungkin dalam perspektif gender dengan mengemukakan berbagai contoh yang mendukung ke arah kesetaraan gender,” ujarnya.
Selain itu, dalam sub-bab ”Bahan Rujukan” disebutkan beberapa buku karya para tokoh liberal. Di antara buku yang dijadikan referensi adalah Wanita Dalam al-Qur’an Amina Wadud, Mafhum al-Nas karya Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Qur’an dan Modernitas karya Fazlur Rahman. Tafsir Konstektual al-Qur’an karya Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan karya Masdar Farid Mas’udi.
Buku lain yang yang mendukung “feminisasi” studi al-Qur’an yang juga disoroti Henri adalah Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an karya Dr. Nasaruddin Umar, MA (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dirjen Bimas Islam yang kini jadi Wakil Menteri Agama).
Henri menyimpulkan, dalam buku tersebut ada beberapa metode yang digunakan penulis dalam ‘memfeminiskan’ al-Qur’an, antara lain: Mendudukkan teks al-Qur'an setara dengan teks naskah-naskah lainnya yang tidak memiliki makna kesucian, melakukan kritik terhadap semua metode khazanah tafsir dan 'Ulum al-Qur'an, dan Kritik sejarah.
Henri menjelaskan bahwa kajian dilakukan oleh Nasaruddin ini memiliki banyak kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh para feminis Barat yang tidak puas dengan teks Bibel serta menuntut adanya tafsir feminis terhadap kitab suci mereka.*/Abdullah al-Mustofa, Kuala Lumpur, Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar