Berulangkali, dengan bahasa yang vulgar diktat Menelusuri
Jejak-jejak Komunis dalam Pergerakan Islam menuding Al-Qur’an sebagai
kitab suci palsu yang harus disensor: “Surat ini mengindikasikan adanya
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Palsu yang telah membuat umat Islam
selalu dalam semangat perang dan memerangi kaum kafirin” (hlm. 20).
“Al-Qur’an juga harus kena sensor, di sana justru mengandung ayat
yang paling brutal” (hlm. 54). “Dan ternyata Al-Qur’an pun sudah
disisipi ayat-ayat brutal dan keji. Jadi Al-Qur’an pun masih harus
diteliti dan dibersihkan dari ayat-ayat sisipan para penguasa Arab yang
haus menindas kaum perempuan dan Arab” (hlm. 92). “Al-Qur’an dan hadits
sudah dirubah dan disisipi ayat-ayat palsu dan disalahgunakan oleh
penguasa yang gila kekuasaan” (hlm. 98). Puncaknya, diktat bodong yang
mencatut nama para tokoh Islam itu menyimpulkan bahwa umat Islam selalu
bertengkar dan berperang karena mengamalkan ayat-ayat setan yang dalam
Al-Qur’an. Ayat-ayat yang dimaksud adalah: surat Asy-Syura 40, At-Taubah
5, Al-Baqarah 207, dll. (hlm. 115).
Naifnya, tuduhan itu asal-asalan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan
karena tidak disertai argumen ilmiah dan referensi yang jelas.
Misalnya: jika dalam Al-Qur’an dituding terdapat sisipan ayat-ayat
setan, siapa yang menyisipkan, kapan dan di mana penyisipan itu
dilakukan, serta apa motifnya? Tuduhan adanya pemalsuan ayat-ayat
Al-Qur’an, sepanjang sejarah tidak pernah terbukti. Secara logika, sejak
awal diwahyukan Al-Qur’an dihafalkan dalam bahasa aslinya oleh para
shahabat langsung di bawah pengawasan Rasulullah. Pasca Rasulullah,
tradisi menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dalam bahasa asli itu dilanjutkan
dari generasi ke generasi berikutnya. Sampai sekarang, sudah jutaan
orang yang hafal Al-Qur’an (huffaz). Otomatis, para huffaz itu menjadi
salah satu unsur keterjagaan keaslian Al-Qur’an. Penyusunan mushaf
Al-Qur’an pada masa Utsman RA pun atas konsensus (ijma’) seluruh
shahabat penghafal Al-Qur’an yang sudah diverifikasi kebenarannya dengan
manuskrip ayat-ayat yang ditulis di bawah pengawasan Rasulullah SAW
semasa hidupnya. Dengan demikian, seandainya terjadi usaha penyisipan
satu huruf saja dalam Al-Qur’an, maka para penghafal Al-Qur’an itu
langsung memberikan komplain. Hasilnya, tak ada satu huruf pun yang
disisipkan dalam Al-Qur’an. Bagaimana dengan tuduhan adanya ayat setan
yang disisipkan dalam Al-Qur’an?
Tuduhan terhadap Al-Qur’an surat Asy-Syura 40 sebagai ayat setan
pendorong kriminalitas sudah dijelaskan oleh Tim FAKTA pada edisi yang
lalu. Ayat ini bukan ayat setan yang memicu kriminalitas, melainkan
syariat jinayat yang menetapkan hukum yang adil terhadap tindakan
kriminal (kezaliman) Ayat lain yang dituduh sebagai ayat setan adalah
surat At-Taubah 5 tentang perintah untuk memerangi kaum musyrikin. Kata
“perang” dalam ayat inilah yang dijadikan dasar tudingan sebagai ayat
setan. Benarkah demikian? Secara umum, ditilik dari situasinya,
ayat-ayat Al-Qur’an ada dua kategori, yaitu: pertama ayat yang berkaitan
dengan situasi perang dan kedua, ayat yang berkenaan dengan situasi
damai. Pengkategorian dua situasi ini sesuai dengan firman Allah SWT.
Dalam situasi damai, Allah SWT menetapkan aturan damai, baik dan adil:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil” (Qs. Al-Mumtahanah 8).
Sementara dalam situasi perang, Allah memberlakukan syariat perang
terhadap musuh yang terlebih dahulu melancarkan peperangan:
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim” (Qs. Al-Mumtahanah 9). Berdasarkan firman Allah SWT tersebut,
maka ayat-ayat yang berkaitan dengan situasi damai harus diterapkan
dalam situasi damai, jangan diberlakukan pada situasi perang.
Sebaliknya, ayat-ayat yang berkaitan dengan situasi perang harus
diperlakukan dalam situasi perang, jangan diberlakukan dalam situasi
damai. Ayat lain yang dituding sebagai dasar untuk menuding Islam
sebagai agama perang adalah surat Al-Baqarah 193: “Dan perangilah mereka
itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah…” Ayat yang berbicara dalam konteks perang ini
tidak bisa dipisahkan dari ayat-ayat sebelumnya: “Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas” (Qs. Al-Baqarah 190).
Secara tegas ayat ini bicara dalam situasi perang terhadap kaum
musyrikin Makkah, bahwa Allah SWT memerintahkan perang dengan dua
aturan: pertama, orang yang diperangi itu terlebih dahulu memerangi
kita. Dengan kata lain, perang membela diri. Kedua, dilarang melampaui
batas (berlebih-lebihan) dalam berperang. Berkaitan dengan etika kedua
ini, Rasulullah SAW bersabda: “Berperanglah di jalan Allah. Perangilah
orang-orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan mengambil
harta rampasan secara diam-diam, jangan melanggar janji, jangan
melakukan penyiksaan, jangan membunuh anak-anak dan jangan pula membunuh
para penghuni rumah ibadah” (HR Muslim). At-Thabari dalam Jami’ul Bayan
fi Ta’wil Aayin min Al-Qur’an, Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran
Al-Adhim, As-Syaukani dalam Fathul Qadir ketika menafsirkan ayat
tersebut, menjelaskan bahwa orang yang memerangi kita, harus kita
perangi. Terhadap orang-orang yang tidak memerangi kita, jangan kita
perangi. Dan apabila orang-orang yang memerangi kita itu berhenti, maka
kita pun tidak boleh memerangi mereka. Ayat ini merupakan ayat pertama
yang diwahyukan berkaitan dengan perintah perang, tetapi terbatas hanya
kepada orang yang memerangi kita. Prof KH Mustafa Yakub dalam buku
Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits menjelaskan sbb:
“Jadi boleh kita memerangi orang-orang kafir? Bukan hanya boleh, tapi
wajib bagi kita memerangi orang-orang kafir yang memerangi kita. Tetapi
orang-orang kafir yang tidak memerangi kita, tidak boleh kita perangi.
Orang kafir itu ada dua kategori, yaitu: kafir harbi yang harus
diperangi karena memerangi kaum muslimin, dan kafir dzimmi atau mu’ahad
yang harus dilindungi, karena Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang
membunuh kafir mu’ahad, maka ia tidak akan mencium aroma surga…” (HR
Bukhari). Jadi, umat Islam tidak boleh seenaknya membunuh orang non
muslim. Nampaknya, penulis diktat yang tak berani mencantumkan identitas
aslinya itu sangat alergi terhadap kata “perang,” sehingga segala yang
berbau perang dinilai sebagai kejahatan atau setan, tanpa melihat
konteksnya. Padahal dalam Alkitab (Bibel), kitab sucinya sendiri,
ayat-ayat perang dalam bentuk yang sadis bertebaran dalam banyak ayat,
antara lain: untuk membalas perlakuan orang Amalek kepada orang Israel,
Tuhan memerintahkan'
untuk membunuh dan menumpas segenap rakyat tanpa rasa belas kasihan,
dengan mata pedang, baik laki-laki, perempuan, anak menyusui, maupun
binatang ternak (1 Samuel 15:1-11); perintah Tuhan dalam peperangan,
tumpaslah semua yang bernafas jangan tersisa sama sekali (Ulangan
20:1-20); Tuhan memuji pembantaian massal dan penyembelihan 30 orang
dengan meletakkan kepala mayat di dalam keranjang, sebagai perbuatan
yang benar di mata-Nya (2 Raja-raja 10:7-30); dll.
Jika perintah perang Al-Qur’an untuk membela diri dihakimi sebagai
ayat setan, lantas ayat-ayat pembantaian massal dalam Bibel yang amat
sadis ini harus disebut apa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar