Perjalanan
komunitas tarbiyah sekarang telah menginjak di era ketiga dalam mihwar
dakwah kita, mihwar muassasi. Selangkah lagi kita menuju tahapan keempat
yaitu mihwar dauly. Semakin berkembang suatu komunitas maka
tantangannya semakin besar. Permasalahan itu di antaranya ada yang
mengeluh kekurangan orang ataupun ada yang mengeluh karena kualitas
kader dakwahnya yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
“Likulli marhalatin rijaluha”.
Dengan statemen ini terkadang orang terjebak dalam berargumen bahwa itu
adalah masalah yang wajar. Karna ada perbedaan kapasitas pemuda yang
terdahulu dengan pemuda sekarang yang katanya tidak bisa disamakan. Yang
sebenarnya dimaksud di sini adalah setiap massa itu ada pemudanya,
pemuda itu harus mengetahui medan dan mempunyai keahlian spesifik agar
bisa menyelesaikan permasalahan di massanya sehingga akan mewarnai masa
itu dengan warna yang jelas dan menjadi penggerak pada massanya itu.
Munculnya
permasalahan SDM dan kualitas kader dakwah, salah satunya tidak lepas
dari ketaatannya terhadap jamaah atau pemimpinnya. Kalau semua ketentuan
itu dijalankan maka persoalan itu bisa kita selesaikan dan kita bisa
beranjak untuk menerima dan menyelesaikan permasalahan lainnya.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. Alam Nasyrah Ayat : 7)
Komunitas
(jamaah) ini ada dengan segala perangkat yang tersistem dengan baik.
Agar itu terimplementasi dengan baik maka butuh ketaatan kadernya, baik
dari segi aturan jamaah atau aturan qiyadah.
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisa : 59)
Ulil
Amri menurut versi Ibnu Taimiyah terbagi dalam 2 kategori, sebagai
Ulama dan sebagai Umaro’. Kemudian yang bisa disebut sebagai pemimpin,
yang pertama adalah kepala-kepala negara, masyayikh dan yang kedua yang
dikatakan pemimpin adalah semua orang yang memiliki pengikut. Kedua
pemimpin di atas wajib kita taati selama perintahnya tidak menyalahi
aturan islam.
Taat terhadap jamaah tarbiyah dan qiyadahnya, masuk
pada poin yang kedua. Dalam jamaah tarbiyah, kita mengenal sarana utama
pembinaan yaitu halaqah, yang mana setiap halaqah terdiri 5-12 orang
yang dipandu atau dipimpin seorang Murabbi. Sehingga posisi murabbi di
sini berhak disebut sebagai pemimpin oleh semua orang dalam satu
kelompok halaqah tersebut dan permintaan seorang pemimpin wajib untuk
kita laksanakan. Meskipun kita harus diperintahkan ke negeri antah
berantah sekalipun, karena pada dasarnya setiap perintah mempunyai
maksud dan tujuan sendiri yang sesuai dengan kebutuhan atau kondisi.
Untuk
mengatasi masalah jumlah SDM terkadang murabbi menugaskan (menyuruh)
kita mencari minimal 1 orang yang akan di ajak gabung dengan barisan
kita. Untuk masalah kualitas kader dakwah, murabbi menyuruh kita untuk
ikut kajian ini – kajian itu, daerah ini – daerah itu, silaturahim sini –
silaturahim situ, baca buku ini – baca buku itu, serta
instruksi-instruksi yang lainnya, mana instruksi itu pada akhirnya juga
akan kembali pada orang yang diperintah. Sudahkah kita memperhatikan dan
menjalankan perintahnya? Baik keuntungan itu untuk kita, murabbi atau
jamaah itu sendiri.
“Adalah wajib bagi seorang muslim untuk
mendengarkan dan taat terhadap perintah yang disukainya ataupun yang
dibencinya selamanya dia tidak diperintahkan melakukan hal tersebut
(maksiat) maka dia tidak wajib mendengarkan atau mentaatinya”. (HR Bukhari dan Muslim)
”Dengarkanlah
dan taatilah (para pemimpinmu) meski engkau dalam keadaan sulit, mudah,
semangat, terpaksa dan membuatmu banyak melakukan pengorbanan.” (HR Muslim)
Dalam
syarah An-Nawawi menjelaskan hadits di atas adalah sebagai berikut :
Dengarkanlah dan taatilah meskipun para pemimpin itu hanya mementingkan
masalah dunia dan kurang memenuhi hak-hakmu yang menjadi tanggung jawab
mereka. Selama tidak bertentangan dengan Syariat.
“Dengarkanlah
dan taatilah! Walaupun yang diangkat kepadamu menjadi pemimpin adalah
seorang budak berasal dari Etiopia yang bentuk kepalanya seperti kismis
(biji kurma).” (HR Bukhari)
Tidak bisa tidak, setiap jamaah
harus memiliki seorang pemimpin. Taat berarti mendengarkan, menaati
serta berpegang teguh pada batasan-batasan yang diperintahkan dan yang
dilarang adalah sesuatu yang sangat penting dalam menjalankan dakwah
Islam, bahkan termasuk yang harus diprioritaskan dari beberapa kewajiban
yang ada.
Tanda-Tanda Taat
Orang yang taat
berarti orang yang mendengarkan, mentaati, serta berpegang teguh pada
batas-batas yang diperintahkan dan yang dilarang. Ketaatan merupakan
sesuatu yang penting dalam pilar-pilar menjalankan dakwah Islam. Tanpa
ada ketaatan dan kedisiplinan, semua organisasi atau jamaah tidak akan
bisa berjalan sesuai tujuan.
Kita jangan seperti orang munafiq
pada massa perang Khandak. Ketika diseru oleh Rasul membuat parit,
mereka memilih untuk menghindar dari pekerjaan itu dengan berbagai
alasan. Sedangkan orang mukmin dengan sekuat tenaga dan kesungguhan hati
karena Allah membantu Rasulnya menyelesaikan penggalian parit. Bahkan
orang mukmin yang punya udzur syar’i enggan meninggalkan lokasi
penggalian parit, hanya sebagian saja yang meminta izin. Peristiwa
itupun diabadikan Allah dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya yang
sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam
sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan
(Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang
yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin
kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu
kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur : 62)
Hal
yang perlu dicetak tebal adalah berusaha memenuhi panggilan qiyadah
dalam kondisi apapun di setiap seruannya dan meminta izin jika
benar-benar tidak bisa memenuhinya. Bukan berusaha mencari 2011 alasan
bagaimana agar bisa terhindar dari penugasan (perintah) tersebut.
Allahu’alam bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar