Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah,
Rabba yang senantiasa kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan meminta
ampun kepada-Nya. Kita berlindung kepada-Nya dari keburukan diri kita
dan jeleknya amal perbuatan kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah,
maka tidak ada seorangpun yang sanggup menyesatkannya. Sebaliknya,
siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tak seorangpun yang sanggup
memberinya petunjuk.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
penyampai risalah, pembawa kebenaran, dan suri teladan dalam kehidupan
berislam. Semoga shalawat dan salam juga dilimpahkan kepada keluarga,
para sahabat, dan siapa yang mengikuti sunnah-sunnahnya hingga akhir
zaman.
Sejarah selalu berulang. Karenanya
Al-Qur'an banyak membicarakan tentang kaum terdahulu. Sehingga kaum
muslimin pintar dalam mengambil pelajaran.
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
"Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan." (QS. Al-Hasyr: 2)
Begitu juga sejarah kesesatan akan
berulang. Hanya saja bentuknya sedikit berbeda. Jika dahulu Prof. DR. H.
Munawir Sjadzali MA, dengan pemikirannya "Reaktualisasi Islam"-nya
melakukan penggusuran hukum waris antara laki-laki dan perempuan dari
dua banding satu (2:1) menjadi sama, satu banding satu (1:1). Maka
sekarangpun muncul Dr. H. Mukhtar Zamzami, SH, MH, yang menganggap
“Pembagian Waris Sama Rata Tidak Masalah” tulis pelitaonline.com, Rabu,
11 Januari 2012.
Perbedaan alasan keduanya, kalau Munawir
Sjadzali berangkatnya dari konsep "Reaktualisasi Islam" yang intinya
melakukan pembaharuan pemikiran Islam dan sekaligus melakukan koreksi
terhadap Al-Qur'an dan al-Sunnah. Munawir berpijak di atas QS.
Al-Baqarah: 106 yang berbicara tentang nasikh dan mansukh. Berbeda
dengan Mukhtar Zamzami, anggapannya terhadap pembagian waris sama rata
tidak masalah berangkat dari teori justice as fairness (teori keadilan
yang bertumpu pada kewajaran).
Kesamaan keduanya, bahwa ketetapan sama
rata antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian warisan didasarkan
pada rasa keadilan. Ini berarti menganggap bahwa hukum Allah di atas
dianggap tidak adil.
Guru kami, Ustadz Ahmad Husnan, pernah memberikan jawaban terhadap pemikiran semacam ini saat menanggapi nyelenehnya Munawir Sjadzali, saat itu menjabat Menteri Agama RI di zaman Orde Baru, yang "mengaktualkan" firman Allah Ta'ala:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
"Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu, bagi laki-laki itu (bagiannya) seperti dua anak perempuan." (QS. Al-Nisa': 11)
Selanjutnya kami nukilkan bantahan Ustaz Ahmad Husnan dari salah satu buka karya beliau,
"Ketetapan Allah tentang harta waris
bagi anak laki-laki mendapat dua kali lipat dari bagian anak eprempuan
yang terdapat dalam surat an-Nisa': 11, oleh [akar yang saat itu
menjabat Menteri Agama, dirasakan tidak adil. Padahal Allah Mahaadil.
Menurutnya, pengetian adil itu adanya persamaan 1:1 atau 2:2. Tanpa
harus memperhatikan latar belakang dari perbedaan kelamin, fitrah
kejadiannya, kondisi anggota badan dan tanggung jawab. Dinilainya
pengertian adil itu yang sesuai dengan rumusan HAM yang dimunculkan dari
Barat. Bukan adil menurut konsep Allah yang menciptakan manusia dan
membuat aturan faraid tersebut. Jadi tidak ditangkap dan
diyakini sebagai kebenaranwahyu yang dijadikan pegangan. Berdasarkan
penegertin tersebut, maka para ulama dan pakar muslim lain yang tidak
dapat menerima reaktualisasi ala menteri agama saat itu, memandang dan
bereaksi keras terhadapnya karena dinilai tidak benar dan melakukan
penyimpangan. Karena pengertian reaktualisasi yang dimaksud, tidak lain
hanya memiliki arti untuk menggusur, merubah atau membekukan dalil yang
telah ditentukan Allah." (Meluruskan Pemikiran Pakar Musilm, Ahmad Husnan, Al-Husna-Surakarta, Cet. Pertama, 2005, hal. 43-44)
Pembagian Waris Sama Rata: Bermasalah
Kesimpulan Hakim agung kelahiran
Palemban, 11 September 1948 lalu, di atas sangat disadari olehnya memang
melenceng dari hukum Islam. "Jika hukum Islam menyaratkan pembagian
waris laki-laki dan wanita adalah 2:1, maka Mukhtar menemukan pembagian
sama rata ternyata tidak masalah." (Dikutip dari detikNews, Senin,
09/01/2012).
Padahal dengan jelas Allah berfirman, sesudah menyebutkan ketentuan Islam berkaitan dengan pembagian waris,
تِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ
يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
"(Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan." (QS. Al-Nisa': 13-14)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya
mejelaskan tentang maksud ayat di atas: "Inilah ketentuan-ketentuan dan
ketetapan-ketetapan yang telah Allah jadikan untuk ahli waris sesuai
dengan hubungan kekerabatan mereka dengan mayit dan butuhnya mereka
kepadanya serta rasa kehilangan mereka dengan kepergiannya; merupakan HUDUDULLAH
(batasan-batasan dari Allah), maka janganlah kalian melampaui batas dan
jangan pula melanggarnya. Oleh karena ini Dia berfirman, "Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya."
Artinya, dalam masalah tersebut. Sehingga ia tidak menambahkan atau
mengurangi sebagian ahli waris dengan tipuan atau cara-cara lain. Akan
tetapi, ia menetapkannya sesuai hukum Allah, ketentuan dan
pembagian-Nya."
Bagi mereka yang taat, maka Allah janjikan, "Niscaya
Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan
yang besar."
Sementara bagi orang yang tidak mengindahkan ketentuan dan jatah yang telah Allah tetapkan dari hukum waris, "niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan."
Hal ini karena ia tidak menegakkan hukum Allah, untuk itu dibalaslah
ia dengan kehinaan berupa azab yang sangat pedih. (Lihat Tafsir Ibnu
Katsir terhadap QS. Al-Nisa': 13-14)
. . . Sementara bagi orang yang tidak mengindahkan ketentuan dan jatah yang telah Allah tetapkan dari hukum waris, "niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan." . . .
Imam Abu Ja'far al-Thabari menjelaskan
maksud QS. Al-Nisa': 12 di atas, pembagian warisan ini adalah sebagai
pasal untuk membedakan antara ketaatan kepada-Nya dan kemaksiatan
terhadap-Nya. Dan ketetapan di atas sebagai batasan bagi manusia agar
tidak melampauinya. Semua ini untuk Dia mengetahui siapa dari mereka
yang taat kepada-Nya dan siapa yang bermaksiat terhadap perintahkan-Nya
dalam pembagian warisan.
Sementara maksud, " Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya",
yakni dalam mengerjakan perintah keduanya berupa pembagian warisan yang
telah keduanya perintahkan, serta perintah-perintah Allah lainnya. Ia
menyimpang dari perintah keduanya kepada apa yang keduanya larang.
"Dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya"
yakni melanggar batas-batas ketaatan yang telah Dia jadikan sebagai
pembatas dengan kemaksiatan terhadap-Nya kepada larangan-Nya, berupa
pembagian harta peninggalan mayit kalian di antara ahli warisnya, dan
batasan-batasan Allah lainnya.
Jika itu dilakukan maka, "niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya," yakni ia kekal di dalamnya untuk selama-lamanya, tidak mati dan tidak dikeluarkan darinya untuk selama-lamanya. "dan baginya siksa yang menghinakan,"
yakni baginya siksa yang menghinakan dan merendahkan bagi orang yang
disiksa dengannya. (Diringkaskan dari Tafsir Jami' al-Bayan fi Ta'wil
al-Qur'an, Abu Ja'far al-Thabari)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa'di dalam Tafsirnya Taisir al-Karimi al-Rahman fi Tafsiir Kalaam al-Mannaan atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Sa'di
juga menyebutkan tentang ketentuan warisan ini, bahwa
ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan dalam hukum waris adalah
batasan Allah yang wajib dilaksankan dan tidak boleh dilanggar atau
dikurangi.
. . . ketentuan-ketentuan yang telah
disebutkan dalam hukum waris adalah batasan Allah yang wajib
dilaksankan dan tidak boleh dilanggar atau dikurangi. . .
Syaikh Abu Bakar Jabil al-Jazairi dalam Aisar Tafasir-nya
menyebutkan, "Dan siapa yang durhaka kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya
dengan melanggar batasan-batasan Allah di atas dan (batasan lainnya dari
syariat dan hukum Allah) dan mati di atasnya, maka balasannya adalah
Allah akan memasukkannya ke dalam neraka yang ia kekal di dalamnya dan
baginya azab yang menghinakan."
. . . ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan dalam hukum waris adalah batasan Allah yang wajib dilaksankan dan tidak boleh dilanggar atau dikurangi. . . (al-Sa'di)
Kesimpulan
Bahwa menetapkan hukum warisan dengan
menyamakan jatah bagi laki-laki dan perempuan adalah melanggar ketetapan
hukum Allah dan termasuk bagian dari maksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Karenanya, ini merupakan perilaku dosa besar. Bahkan Allah
mengancamkan dengan memasukkannya ke dalam neraka dan mendapat siksa
yang menghinakan. Tentu bagi seorang muslim ini bukan persoalan biasa
dan bukan perkara yang tidak masalah. Karena bagi muslim yang meyakini jaza' ukhrawi, kehidupan akhirat lebih diperioritaskan.
وَلَلْآَخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى
"Dan sesungguhnya akhir (akhirat) itu lebih baik bagimu dari permulaan (dunia)." (QS. Al-Dhuha: 4)
"Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS. Al-A'laa: 17)
Dan suksesnya kehidupan akhirat adalah, "Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung." (QS. Ali Imran: 185)
Maka bagaimana melanggar ketentuan hukum
Allah dalam warisan dan berlaku durhaka kepada Allah dan utusan-Nya
yang diancam dengan azab neraka dan siksa yang menghinakan dianggap
sebagai sesuatu yang tidak bermasalah? Wallahu Ta'ala A'lam.
[voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar