Cari Di Blog Ini

Rabu, 21 Desember 2011

Hindu versus Hindu Bali


Majalah Hindu RADTIYA edisi Maret 2007  menulis laporan utamanya dengan judul “Hindu versus Hindu Bali”. Majalah ini menggambarkan kondisi perpecahan dalam tubuh agama Hindu Bali yang akhirnya berujung pada pemunculan agama baru bernama “Hindu Bali” yang berbeda dengan agama Hindu. Pemimpin Redaksi Majalah ini, Putu Setia, menulis kolom editorial berjudul “Kenapa Saya Tetap Hindu (dan bukan Hindu Bali).”
Agama baru yang bernama Hindu Bali itu kini sudah resmi diayomi oleh Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB), yang resmi dikibarkan pada 28 Januari 2007. Secara nasional, agama Hindu bernaung di bawah Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI). Tetapi, sudah sejak tahun 2001, terjadi dualisme dalam kepengurusan PHDI Bali, yaitu PHDI versi Besakih dan PHDI versi Campuan. Perpecahan di kalangan tokoh agama Hindu di Bali ini telah menimbulkan kebingungan dan kemarahan di kalangan umat Hindu sendiri, seperti diutarakan oleh Jero Mangku Oka Swadiana dalam surat pembaca di Majalah ini. Dia menulis: “Dualisme inilah yang membuat kebingungan umat Hindu di Bali yang menandakan kekerdilan cara berpikir tokoh-tokoh agama Hindu yang hanya berani bertengkar secara intern di kalangan umat Hindu sendiri.”
Penulis surat pembaca ini mengecam pembentukan PHDB, dengan menyatakan, bahwa pembentukan PHDB adalah akibat rasa ego, fanatik, kemunafikan, dan jiwa kerdil tokoh-tokoh agama. “Namun kami sarankan kepada seluruh umat janganlah terpengaruh terhadap lembaga-lembaga yang dibentuk oknum-oknum tertentu, apapun namanya, berapa pun banyaknya. Jika memang tidak ada manfaatnya untuk kerukunan, ketentraman, kesejahteraan umat, anggap saja itu tidak ada.”
Putu Setia juga tidak kalah keras dalam mengkritik pembentukan Agama Baru Hindu Bali ini. Dia mengakui, para pendiri PHDB adalah tokoh-tokoh yang dihormatinya, para intelektual, tempatnya berguru, dan menjadi idolanya. ”Jadi ini pasti persoalan yang serius, kembali ke agama Hindu Bali, yang memang agama yang dipeluk resmi oleh orang Bali sebelum 1960-an,” tulis Putu, yang juga dikenal sebagai wartawan senior.
Setelah mempelajari duduk persoalan dan Piagam Samuan Tiga – piagam pendirian Agama Hindu Bali — Putu Setia memutuskan ”saya memutuskan untuk tetap beragama Hindu, dan bukan Hindu Bali.”
Berbeda dengan agama Hindu pada umumnya, agama Hindu Bali memiliki sejumlah ajaran yang khas, sebagaimana disebutkan dalam Piagam Samuan Tiga. Misalnya: (1) Dasar pelaksanaan agama yang mengacu pada Weda Sruti, Weda Smerti Darsana, Tantra dan kearifan lokal yang disarikan dalam lontar-lontar; (2) Landasan keimanan (Sradha) kepada Tuhan adalah Siwa Tatwa dengan Paham Monoteisme (Eka Twa Aneka Twa Swa Laksana Batara); (3) Menyembah Tuhan (Sang Hyang Widhi) lebih khusus disebut Bhatara Siwa, Dewa Dewi, dan Hyang leluhur; (4) Mempunyai pemujaan yang disebut Sanggah/Pemerajan dan Pura; (5) Melaksanakan upacara Panca Yadnya menggunakan sarana banten dengan pekemnya yang khas dipimpin oleh Wiku Huwus Kertha Diksita dan Pemangku dengan atribut serta sesana yang khas pula; dan (6) Agama Hindu yang menjadikan Sosio-kultural Bali sebagai media pelaksananya.
Putu Setia mengkritik sejumlah dasar-dasar ajaran agama Hindu Bali tersebut. Dia katakan, bahwa jika agama Hindu Bali mengacu pada Weda Smerti dan seterusnya yang sudah disarikan dalam lontar, maka itu adalah suatu ”pembodohan luar biasa”. Menurut Putu, lontar adalah sarana tulis menulis, bukan sesuatu yang dikeramatkan. Di masa lalu, Weda memang disarikan dalam lontar, karena lontar adalah sarana satu-satunya setelah selesai zaman batu dan zaman kayu. Putu mempertanyakan, kenapa ”alat” ini yang dijadikan rujukan? Apakah Weda yang sekarang ini ditulis dalam buku atau dalam file komputer tidak dapat dijadikan rujukan. Lagi pula apakah seluruh Catur Weda itu sudah disarikan dalam lontar? Karena merasa aneh dengan ajaran itu, Putu Setia menegaskan, ”Ini sesuatu yang aneh, karena itu point pertama Piagam Samuan Tiga langsung membuat saya tidak mau kembali ke agama Hindu Bali. Maaf, nalar saya masih jalan.”
Putu juga tersentak ketika membaca poin ketiga. Menurutnya, meskipun dia adalah penganut Siwa Tatwa, tetapi leluhurnya mengajarkan menyembah tiga dewa utama yang disebut Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Konsep Tri Kahyangan masih tetap hidup di Bali, karena itu dewa yang dipuja tak hanya Bhatara Siwa, juga Brahma dan Wisnu. Dalam soal banten (sesajen), Putu mengaku telah lama menganjurkan, agar orang Hindu membuat banten yang disesuaikan dengan alam Bali, karena hakekat banten adalah mempersembahkan alam sekitar.”Bukan buah apel atau peer dari Amerika. Lihat kenyataan saat ini, bertruk-truk janur datang dari Jawa, kenapa kita memperkaya orang Jawa dan memiskinkan orang Bali untuk membuat banten yang besar-besar? Kenapa banten tidak disesuaikan dengan kemampuan, baik kemampuan diri sendiri maupun kemampuan alam sekitar yang menopangnya? Orang Bali jual tanah untuk beli janur, orang Jawa beli tanah dengan menjual janur, ayam, itik, dan lainnya,” tulis Putu mengkritik tradisi di Bali.
Meskipun mendapat kritik dan tentangan, PDHB tetap jalan terus. Menurut Ketua Harian PDHB, Ia Bagus Putu Sudarsana, PDHB adalah usaha kembali ke jati diri, sesuai asal mula pembentukan Parisada Hindu tahun 1959. ”Jadi agama yang ada dan dicita-citakan sejak dulu itu adalah agama Hindu Bali,” ujarnya kepada majalah RADITYA.
Dengan terbentuknya PDHB, berarti lembaga ini mencita-citakan suatu model praktik beragama yang khas Bali. ”Cita-cita kami adalah mengajegkan Agama Hindu Bali yang dipraktikkan sejak masa silam. Namun jangan salah makna, Bali di sini tidak menunjuk tempat. Namun agama Hindu Bali maksudnya adalah umat Hindu yang dalam praktik beragamanya menggunakan banten, maka ia termasuk pemeluk agama Hindu Bali, di mana pun mereka berada,” jelas IB Sudarsana.
Dalam programnya, PDHB hanya mengkhususkan untuk membina umat yang mempraktikkan agama Hindu Bali saja; agama Hindu lainnya atau yang tidak ada embel-embelnya tentu tidak akan dibina. Pedoman penting agama Hindu Bali adalah Weda yang diterjemahkan dalam lontar, dan Weda yang diterjemahkan dalam buku-buku, tidak dipakai oleh agama Hindu Bali. Keputusan untuk menggunakan Weda yang dari lontar ini dikritik juga oleh I. Ketut Wiana, ketua Sabha Walaka PHDI Pusat. Dia menyatakan, bahwa hal itu adalah langkah mundur PDHB.
Menurut kajiannya, lontar adalah berbagai catatan tentang cara-cara beragama orang Bali di masa lalu. Kini, masa lalu telah lewat, jadi ada lontar yang cocok dengan zaman kini dan ada yang perlu direvisi, dengan menggunakan rujukan Weda. ”Mestinya kalau kembali ke jati diri, ya kembali kepada Weda sebagai penuntun agama Hindu, bukan ke lontar,” kata Ketut Wiana.
Walhasil, PDHB lahir untuk menegaskan eksistensi agama Hindu Bali. Seorang tokohnya menyatakan, ”Biarlah ada Hindu Jawa, Hindu Tengger, Hindu Kaharingan, karena kita memang berbeda-beda. Soal Hindu Nusantara atau Hindu Indonesia, silakan itu menjadi urusan PHDI.”
Begitulah berita terbaru dari kasus konflik internal dalam agama Hindu sebagaimana ditulis dalam Majalah RADITYA, sebuah majalah Hindu pertama di Indonesia. Sebagai Muslim kita bisa mengambil banyak pelajaran dari kasus tersebut. Berbeda dengan tradisi dalam Hindu, Islam sangatlah ketat dalam soal dasar agama, terutama Al-Quran.
Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang tidak diperselisihkan sepanjang zaman. Al-Quran tetap dalam bahasa Arab dan umat Islam sedunia sekarang berpegang pada mushaf yang sama, yaitu mushaf Utsmani. Al-Quran kita yakini sebagai wahyu Allah yang diturunkan bukan hanya untuk umat Islam, tetapi untuk seluruh umat manusia, karena itu umat Islam tidak memerlukan Al-Quran edisi revisi atau Al-Quran edisi kritis seperti yang digagas oleh kaum orientalis atau Islam Liberal. (Untuk gagasan Al-Quran Edisi Kritis, lihat tulisan Taufik Adnan Amal berjudul ”Edisi Kritis Alquran” dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia terbitan JIL, 2002).
Dengan sifat otentisitas dan finalitas Al-Quran sebagai sumber utama agama Islam, maka Islam juga masih menjadi agama yang satu, dengan Tuhan yang satu, kiblat yang satu, Nabi uswah hasanah yang satu, dan ritual yang satu. Sehingga, tidak perlu muncul ”Islam Jawa”, ”Islam Sumatra”, ”Islam Bali”, ”Islam Hongkong”, ”Islam Arab”, ”Islam Amerika” dan sebagainya. Islam adalah Islam. Di mana pun kita akan bertemu dengan orang Islam yang membaca Al-Quran yang sama, melafazkan nama Tuhannya dengan bacaan yang sama, bertakbir dengan ucapan yang sama, bersujud dengan cara yang sama. Sebab, dalam keyakinan umat Islam, Islam adalah agama wahyu, yang nama agama ini, Islam, diberikan langsung oleh Allah melalui kitab Al-Quran.
Seharusnya, kaum Muslim tidak merusak nama ”Islam” dengan menambahkan berbagai embel-embel yang akhirnya justru bisa mengaburkan makna Islam itu sendiri, seperti ”Islam fundamentalis”, ”Islam inklusif”, ”Islam Protestan”, ”Islam Liberal”, ”Islam Jawa”, dan sebagainya. Ini berbeda dengan tradisi Yahudi, Kristen, Hindu, dan sebagainya, yang telah biasa dengan ”pluralitas agama” dalam agama. Karena itu, dalam Islam, ada pembatasan yang ketat dalam soal batas-batas keislaman. Ada rukun iman dan rukun Islam.
Dunia Islam, misalnya, sepakat bahwa Ahmadiyah adalah aliran di luar Islam, karena memiliki nabi sendiri dan kitab suci lain disamping Al-Quran. Meskipun mereka tetap mengakui Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan menerima Al-Quran sebagai Kitab Suci mereka.
Kita pernah disuguhi iklan ”Islam warna-warni” di berbagai setasiun TV. Pada satu sisi, kita diajak untuk menerima kenyataan bahwa dalam Islam ada berbagai perbedaan. Tetapi, sayangnya, iklan itu tidak menjelaskan, bahwa perbedaan itu ada batasnya, sehingga tetap layak disebut sebagai ”Islam”. Karena itu ada ”syahadat” dalam Islam. Menteri Agama RI pernah mengusulkan kepada Ahmadiyah agar mereka membuat agama baru, karena memiliki perbedaan yang mendasar dengan umat Islam lainnya. Jika seseorang atau satu kelompok tidak lagi meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah, sudah tidak percaya lagi bahwa Al-Quran adalah wahyu dari Allah, dan tidak percaya lagi bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir dan uswah hasanah, maka pada hekekatnya, orang atau kelompok tersebut tentulah sulit masih layak dimasukkan ke dalam kategori Islam.
Apa yang sudah menimpa kaum Yahudi, Kristen, dan Hindu, perlu menjadi pelajaran bagi umat Islam. Karena itulah, Al-Quran banyak menjelaskan tentang kondisi kaum Yahudi dan Nasrani dan juga memerintahkan kita agar berjalan di muka bumi dan melakukan pengamatan terhadap berbagai kaum yang lain. Para ulama kita pun dulu banyak sekali melakukan kajian yang mendalam terhadap agama-agama selain Islam. Wallahu a’lam. [depok, Maret 2007/hidayatullah] Swaramuslim.net /Oleh: Adian Husaini

Tidak ada komentar: