dakwatuna.com - Bismillahirrahmanirrahim
Allahurabbana, jauhkan kami dari segala keburukan dan kejahatan makhlukMu, baik itu niat maupun perilaku.
Aamiin.“Hal yang klasik dari cinta adalah ia akan terasa manakala ditinggalkan.”
- one of our brother
Cinta. Cinta. Cinta. Seringkali dijadikan bahasan yang tak pernah bosan untuk diperbincangkan. Meski seringkali ia buntu dalam definisi dan tak masuk logika memaknainya.
Tapi, bukan berarti ia tak memiliki arti dan makna
yang hakiki dan sejati; tentunya dari yang telah menghadirkan cinta itu
sendiri, Yang Maha Memiliki.
Senja bagi kesendirian sepertinya
telah mulai turun di Jakarta, begitu pula di kota-kota lainnya di
penjuru Nusantara. Entah apakah ada korelasinya atau tidak, kami tidak
pernah benar-benar tahu; tapi seiring dengan menjamurnya Janur di
Gedung-gedung resepsi, diskusi-diskusi tentang cinta dan pernikahan
seolah-olah tidak berhenti masuk ke meja redaksi kami.
Satu hari
sebelumnya, seorang sahabat hadir dan menyapa ruang maya dimana kami
biasa menggelar taplak-taplak meja di atas meja-meja kayu dengan daun
bundar, dengan gelas-gelas coklat hangat untuk menemani ruang diskusi
kami. Sahabat tersebut bertanya tentang makna cinta yang impersonal,
yang saya maknai sebagai fakta bahwa cinta dalam hati kita adalah amanah
yang dititipkan oleh Sang Maha Pemilik Cinta; kita hanya menjalankan
tugasnya, sehingga tak berhak atas klaim apapun yang menjadi konsekuensi
dari menyampaikan cinta; tidak benar-benar cemburu, tidak benar-benar
merasa kehilangan, tidak juga kita berhak untuk mengekang cinta dengan
klaim kita; tidak, kecuali pada batas-batas yang telah diizinkan oleh
Yang Menitipkan Cinta Pada Kita.
Hari berikutnya, Allah pasti
tengah mengingatkan kami tentang apa itu cinta; setelah dua buah bincang
menyenangkan tentang interaksi ikhwan-akhwat; yang satu diiringi
pertengkaran seru serta tawa lucu yang hadir karena bayi Musa sibuk
bermain dengan kue tart, yang lain penuh rasa haru karena diiringi cinta
yang tulus seorang guru kepada anak didiknya, serta kritik penuh kasih
anak didik tersebut kepada pembimbingnya, seorang sahabat tiba-tiba
menyampaikan dua buah pertanyaan yang menarik untuk kita ambil hikmahnya
dalam sebuah pembahasan.
Dua pertanyaan tersebut adalah,
1. Mana yang baik, cinta dulu baru menikah, atau menikah dulu baru cinta?
2. Seberapa pentingkah cinta dalam pernikahan?
Kami
tersenyum, sahabat tersebut seperti menjelma sesosok malaikat, yang
Allah sampaikan langsung untuk memberi kami pengingat tentang hakikat
cinta; maka sembari meminta perlindungan kepada Allah dari bisikan
syaithan yang senantiasa membuat kami lupa pada hakikat-hakikat
kehidupan yang sebenarnya, kami coba jawab pertanyaan tersebut dengan
memaknai terlebih dahulu. “Apa itu cinta?”
Ya, apa itu cinta?
Dalam bahasa Indonesia, sulit sekali rasanya untuk mendefinisikan secara pasti, seperti apa rupa cinta sebenarnya. Perasaan kita pada orang tua, apakah itu cinta? Ya, itu cinta. Perasaan kita pada sahabat juga teman halaqah, apakah itu cinta? Ya, itu juga cinta. Perasaan seorang istri kepada suaminya, atau sebaliknya, perasaan seorang suami kepada istrinya, adakah itu cinta? Ya, apalagi itu, itu cinta! Semuanya dalam Bahasa Indonesia disebut Cinta, meski kita sama-sama mahfum bahwa pada kenyataannya, satu dan lainnya sejatinya berbeda-beda maknanya.
Tentu
tidak sama rasa cinta kita pada orang tua, pada sahabat, dan pada
pasangan hidup kita. Tapi tiga-tiganya sama-sama kita sebut cinta,
padahal sejatinya berbeda, bukan?
Jika kami boleh menyimpulkan,
inilah salah satu karakter dalam bahasa kita; banyak kenyataan yang
berbeda yang hanya direpresentasikan oleh satu kata yang sama, sehingga
secara keilmuan, menghadirkan tantangan tersendiri untuk mendefinisikan.
Jika kami boleh menggambarkan, dalam bahasa Indonesia, cinta sebenarnya adalah sebuah kata umum, yang menjelaskan suatu rangkaian dari rasa yang sifatnya jauh lebih khusus.
Sederhananya begini, mari kita
bayangkan sebuah karangan bunga. Terangkai dari bermacam mahkota dengan
ragam rupa, ranah warna, dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda.
Karangan bunga yang berbeda dapat ditujukan untuk kesempatan dan acara
yang berbeda-beda. Karangan bunga mawar dua warna dapat ditujukan untuk
sebuah momen yang menunjukkan romansa yang kental, mungkin dengan
gelas-gelas kristal dan candlelight dinner? Karangan bunga yang berbeda
mungkin dapat ditujukan untuk sebuah acara makan malam keluarga,
belasungkawa, atau ucapan selamat seorang sahabat yang baru saja
menamatkan pendidikan doktoratnya.
Seperti apapun komposisi bunga di dalamnya, ditujukan untuk acara apapun, mewakili kesempatan apapun, karangan bunga hanya memiliki satu nama; Ya, karangan bunga!
Sekarang,
mari kita coba analogikan cinta sebagai karangan bunga. Pada cinta juga
terdapat bunga-bunga rasa yang berbeda-beda, dengan komposisi yang
berbeda untuk setiap kesempatan cinta yang juga berbeda. Ada karangan
bunga merah-putih untuk suami/istri tercinta. Bunga Matahari untuk
mereka yang selalu kita perhatikan langkahnya. Ada juga karangan
belasungkawa bagi mereka yang pernah bersetia mengisi hari-hari kita,
tapi dipanggil pergi terlebih dahulu oleh Yang Sejatinya Sangat
Mencintai dirinya.
Kembali ke pertanyaan semula tentang cinta, untuk memutuskan sebuah jawaban tentang cinta, bijak adalah memahami komposisi apa saja yang mungkin terdapat dalam sebuah cinta.
- Dalam sebuah cinta, bisa dipastikan hadir apa yang disebut sebagai afeksi, “kasih sayang.” Ini adalah jenis rasa seperti apa yang kita miliki terhadap keluarga, saudara, atau sahabat-sahabat kita.
- Ada juga yang disebut care, atau perhatian. Ini yang terjadi saat kita memikirkan orang-orang terdekat yang mungkin sedang sakit atau dalam perjalanan, misalkan. Keinginan untuk mengirimkan pesan singkat untuk sekedar menanyakan kabar, atau perkembangan pekerjaan yang selalu mereka keluhkan, itu adalah perhatian. Perhatian pada cinta memegang peran penting karena ia cenderung mengharapkan kebaikan serta keselamatan bagi mereka yang begitu kita perhatikan.
- Perhatian ini, pada tingkatan tertentu, biasanya menghadirkan komposisi lain dari cinta, yaitu service, rasa ingin membantu, melayani, dan juga memberi. Pada tingkatan ini, biasanya seseorang begitu menderita apabila tidak dapat menyampaikan bantuan atau pemberiannya kepada orang yang dicintainya.
- Pada cinta jenis tertentu, ada juga apa yang disebut passion, atau eros, lebih dekat dengan syahwat dalam terminologi Islam; sifat dari rasa ini biasanya possesif dan physical. Rasa ini juga yang biasanya bertanggung jawab atas kecemburuan. Biasanya terdapat pada cinta seorang suami terhadap istrinya, dan juga berlaku sebaliknya.
- Selain hal-hal tersebut, dalam cinta juga terdapat interest, yaitu minat, atau ketertarikan. Biasanya menghadirkan kerinduan, rasa senang ketika berdekatan, dan ruang kosong yang khas dalam dada ketika yang diminati tak sedang berada dekat dengan kita.Nah, inilah sebagian besar komposisi dari apa yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai cinta.
- Namun, sebenarnya ada yang lebih dalam maknanya tentang cinta, yaitu yang disebut rahmah. Rahmah adalah cinta kasih yang muncul atas kesadaran bahwa Allah adalah Ar-Rahman. Konsekuensi akhlakiyahnya adalah mencintai segala sesuatu yang dicintai Allah SWT. Seperti yang dapat dilihat dari penjabaran 8 Definisi cinta dalam Al-Qur’an. [1]
Pada
bahasan tersebut, dikatakan bahwa jenis Cinta Rahmah adalah jenis cinta
yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi.
Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang
yang dicintainya dibanding dirinya sendiri. Baginya yang penting adalah
kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita.
Ia
sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan
kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang
bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan
sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an, kerabat disebut al-arham,
dzawi al-arham, yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang
secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim
(dari kata rahmah).
Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh
suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim.
Selanjutnya di antara orang-orang yang memiliki hubungan darah
dianjurkan untuk selalu bersilaturahim, atau silaturahim artinya
menyambung tali kasih sayang. Suami istri yang diikat oleh cinta
mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia
akhirat.
Lalu, ada yang bertanya: “Lebih baik mana, mencintai
terlebih dahulu lalu menikah, atau menikah dulu lalu berusaha untuk
mencintai?”
Seperti yang telah disepakati sebelumnya tentang
analogi cinta sebagai rangkaian bunga, maka rangkaian bunga yang kita
berikan pada kedua orang tua (biasanya terdiri dari afeksi, service,
care, dan rahmah), tentunya berbeda dengan rangkaian bunga yang kita
miliki untuk suami/istri, yang biasanya lebih kental unsur passion dan
care-nya.
Lantas, untuk calon suami/istri? Dalam hal ini, kami
tidak memiliki hak untuk berpendapat; sebab Allah melalui RasulNya telah
terlebih dahulu menyampaikan pendapatNya.
Dalam sebuah hadits
yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, ada kisah tentang
seorang sahabat yang datang dan mengabarkan kepada Rasulullah
Shallallahu‘alaihi wa sallam bahwa dia telah melamar seorang wanita dari
kalangan Anshar. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya:
أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ اْلأَنْصَارِ شَيْئًا
“Apakah engkau telah melihatnya?”Lelaki itu menjawab: “Belum.”
Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam berkata: “Hendaklah engkau melihat terlebih dahulu karena pada mata wanita-wanita Anshar ada sesuatu.”[2]
Para
ulama menyimpulkan, bahwa hadits tersebut menganjurkan kepada kita
untuk melihat terlebih dahulu calon istri/suami kita, supaya hadir dalam
diri kita interest atau ketertarikan, atau dalam bahasa Indonesia
dikenal juga dengan istilah kecenderungan.
Apakah kecenderungan
bisa diartikan sebagai cinta? Dengan cara pandang tertentu, tentu saja
bisa. Tapi jangan sampai terlalu kental passion-nya, agar tidak menjadi
posesif, apalagi sebelum takdir Allah mengikat hubungan keduanya dengan
pernikahan yang sah.
Toh pada perjalanannya, rangkaian pada cinta
biasanya bertransformasi. Sebagaimana cinta pada teman halaqah yang juga
berubah, terkadang unsur service lebih banyak bermain, terkadang hanya
‘sekedar’ care. Tak jarang juga hadir kebencian yang mewarnai
pertengkaran-pertengkaran (ya, benci juga termasuk salah satu komposisi
cinta), besoknya bermaaf-maafan sambil saling bertangisan.
Inilah
dinamika komposisi cinta, suatu hal yang niscaya. Dapat kita lihat bahwa
karangan bunga cinta selalu dinamis, ini yang menjadikannya begitu
manis. Dinamika ini yang menjadikan cinta begitu menarik hati manusia;
coba bayangkan diri Anda menonton sebuah film yang tidak memiliki
dinamika, klimaks dan anti-klimaks, sejak awal hingga akhir alur dan
ceritanya datar-datar saja; pasti Anda tidak akan tertarik. Maka
tafsirkan sendiri di hati masing-masing, bagaimana rasa cinta Anda
dengan dinamikanya; jika ia menggelitik hati, maka mari kita sama-sama
syukuri.
Kembali ke soal calon suami/istri, tentu saja “rahmah”
tetap harus diutamakan. Karena bila faktor rahmah sudah mengental, maka
apa yang dicintai Allah, itulah yang kita cintai. Namun kita jangan
sampai juga melupakan faktor diri, karena bagaimanapun kita bukan Rasul,
yang oleh Allah memang dijadikan rahmatan lil alamin. Namun pula, bukan
berarti kita tidak bisa berusaha meneladaninya, tapi, menjadi realistis
juga sangat penting.
Meminjam istilah orang bijak: “Jodoh itu
memang di tangan Allah, namun bila tidak kita usahakan, ya tetap akan di
tangan Allah!” Dalam ikhtiarnya, tentunya menjadi realistis juga
penting. Jangan hanya beralasankan rahmah, misalkan, karena seseorang
itu shalih dan faqih, maka kita mau nikahi padahal kita sama sekali
tidak memiliki kecenderungan terhadapnya. Kalau sampai begitu, tentu
kasihan sekali pernikahannya, karena tanpa kecenderungan cinta akan
sulit berkembang. Itulah hikmah dari disyariatkannya Nazhar, atau
“melihat” calon suami/istri terlebih dahulu.
Tentu jawabannya “penting sekali”! Tapi kita harus tetap ingat bahwa: “We are the driver, not the passenger in life.”[3]
Kita adalah juru mudi dari rasa. Jadi bukan cinta yang mengendalikan kita, melainkan kita yang mengendalikan cinta kita.
#AnotherPerspective
Saat menemukan keburukan suami/istri, niatkan untuk menutupi dan memperbaikinya karena Allah, itulah cinta.
Saat menemukan kelebihan suami/istri, niatkan untuk mengingatkannya agar tetap rendah hati karena Allah, itulah cinta.
Saat merasa tidak nyaman dengan suami/istri, niatkan untuk bersetia tinggal karena Allah, itulah cinta.
Dan saat merasa begitu nyaman dengan suami/istri, ingatkan kepadanya bahwa inilah kasih Allah, dan itulah cinta.
Ingat
bahwa rahmah itu impersonal. Itu adalah kasih sayang Allah langsung
kepada hambaNya. Jika ingin menjaga rahmah dalam cinta, maka jangan
jadikan kecintaan kepada selain Allah dan Rasulnya jauh lebih besar.
Itulah makna kesetiaan dalam Islam. Sebab jika sampai melanggar itu,
bisa mencelakakan baik yang dicintai maupun yang mencintai.
Na’udzubillah min dzalika.
“Apa itu cinta?” Ya, cinta. Satu kata
yang membuatmu tak cukup hanya menggaruk kepala untuk menemukan
definisinya. Satu kata yang selalu membuatmu terpaksa menitikkan air
mata. Bukan karena lidahmu yang kelu untuk menjabarkannya, ataukah
naifnya dirimu untuk mengakuinya. Hanya saja kau terlalu takut akan hati
dan pikiranmu sendiri, yang mungkin telah sering menggerus niat yang
semestinya lurus. Menyimpangkan segalanya dari yang paling Cinta.
Ah,
cinta. Aku pun tak mendapat ringkasannya secara jelas, pun narasinya
yang tak tereja. Bukan sekadar ia yang abstrak dan membuatmu bergolak,
ia yang samar seiring kencangnya dadamu berdebar, ia yang tersohor
picisan namun merayapimu perlahan. Yang aku tahu, ia itu semakin
berharga ketika kita tak bisa mendefinisikannya. Ia bukan hanya
perhitungan seberapa kau memberi dan menerima, namun menjunjung
keseimbangan di antara keduanya. Ia bukan antara aku, kamu atau kita,
tapi ia jauh lebih mulia menghadirkan yang Maha Mulia.
Di
luar itu semua, yang lebih penting dari memikirkan bagaimana itu cinta
dan pernikahan adalah memantaskan diri untuk mendapat yang terbaik.
Siapkan ilmu, amal dan mental karena Allah, menjadi ikhwan dan akhwat
berkualitas yang memang pantas bersanding dengan hamba Allah yang
berkualitas pula.
Wallahualam Bish ShawabSumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/17097/cinta-dan-pernikahan-sebuah-karangan-bunga/#ixzz1h9SBCe7M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar