Cari Di Blog Ini

Selasa, 29 November 2011

Kasus: Kewajiban Pajak Historical Dalam Pengalihan Usaha

Kasus pajak ini sering terjadi; setelah pengaliha usaha dilakukan, pemilik baru menemukan adanya kewajiban pajak historical yang tidak dilaksanakan oleh pemilik lama, masalhnya kewajiban pajak melekat pada badan usahanya, bukan pada pemiliknya. Apa yang harus dilakukan, apakah mengikuti jejak pemilik lama dengan tetap tidak melapor, atau mulai lapor pajak yang tak ubahnya seperti mebangunkan macan tidur.

Ini adalah kasus yang disampikan oleh rekan kita melalui e-mail:

Dari: Ms. My L

Kalau ada case pengalihan usaha dari owner lama ke owner baru, kemudia baru diketahui kalau dari owner owner sebelumnya sama sekali tidak pernah membayar dan melapor pajak, lalu apa yang sebaiknya dilakukan oleh owner baru:
Melapor pajak yang bertahun tahun tak terbayar seperti membangunkan macan tidur, atau mengikuti jejak owner lama mengabaikan begitu saja pelaporan pajaknya?

Menurut bapak langkah apa yang paling tepat?
Terima kasih atas perhatian bapak, juga blog bapak , thx atas blog pembelajarannya, sangat berguna dan menambah wawasan

Dari Author:

Ini pelajaran yang sangat berharga. Disinilah peranan auditor independent diperlukan, agar bisa melakukan pemeriksaan komprehensive atas semua administrasi perusahaan mulai dari accounting sampai dengan perpajakannya.

Sebelum pengambil-alihan suatu usaha (oleh owner yang baru) seharusnya dilakukan audit menyeluruh agar sebelum pengambil alihan terjadi, calon pemilik baru bisa melakukan mapping dengan pasti apa saja kewajiban-kewajiban yang belum dipenuhi, dan apa saja hak-hak yang belum diterima, lalu dibandingkan, sehingga bisa diketahui berapa kekayaan bersih peruhaan sesungguhnya (berapa net assetnya? = berapa asset dikurangi kewajibannya?), yang pada akhirnya bisa memutuskan untuk membeli (mengambil-alih) atau tidak.

Pembelian perusahaan (keseluruhan saham atau sebagian) tentunya telah didahului oleh pertimbangan-pertimbangan bisnis yang matang mengenai potensi keuntungan, termasuk potensi resiko-nya.

Apapun itu masalahnya, itu telah terjadi dan harus dihadapi bukan?

Tentunya tidak dengan berpasrah diri begitu saja, ada usaha-usaha SERIUS yang perlu dilakukan untuk meminimize (kalau bisa meng-eliminasi) potensi resiko yang ada.

Skipping the problem is not a solution, tidak ada bedanya seperti menanam bomb di dalam rumah sendiri, bisa meledak sewaktu-waktu.


Langkah-langkah yang bisa dilakukan:

1. Hitung semua perpajakannya dari mulai NPWP terbit hingga saat ini, agar bisa diketahui (paling tidak memperkirakan): berapa utang pajak seluruhnya?.

2. Setelah diketahui berapa utang pajaknya, baru dipertimbangkan : langkah apa sebaiknya ditempuh :

[-] Tidak melapor sama sekali (dengan resiko, bunga atas hutang pajak semakin membengkak)? Atau;

[-] Melapor pajak, mulai saat ini saja (tanpa melaporkan kewajiban perpajakan dimasa lalu), dengan resiko mungkin kantor pajak mulai memperhatikan perusahaan ini dan sangat mungkin akan menelusuri historicalnya? Atau;

[-] Melaporkan semua kewajiban perpajakan dari masa-masa yang sebelumnya?

Beberapa hal lain yang bisa dijadikan dasar pertimbangan:

[-] Kapan NPWP terbit? 1 tahun yang lalu? 2 tahun yang lalu? atau 5 tahun yang lalu?. jika masih 1-2 tahun yang lalu, pemilik usaha masih memungkinkan untuk membuat pernyataan bahwa selama 2 tahun sebelumnya perusahaan belum beroperasi sepenuhnya. Bukan berarti perusahaan boleh tidak melapor, tentunya disertai dengan data dan fakta yang sesuai, dan atas kelalian tersebut pastinya akan kena denda. Tapi jika lebih dari 2 tahun, tentunya tidak bisa.

[-] Apakah dimasa yang lalu perusahaan dalam keadaan untung atau rugi?. Jika dalam keadaan rugi (memang benar-benar rugi), maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan bukan?. bahkan mungkin perusahaan bisa memperoleh "Lost Carry Forward" (kurugian dimasa lalu yang dibebankan pada masa sekarang dan masa yang akan datang). Tetapi jika dalam kondisi untung, tentu perusahaan harus membayar pajak atas keuntungan tersebut beserta bunga dan dendanya.


Upaya lain yang bisa dilakukan:

Lakukanlah internal audit atas operasional perusahaan untuk periode-periode sebelumnya, jika memang ada indikasi kebohongan, misalnya: saat transaksi jual beli dilakukan, pemilik lama menyatakan nilai kekayaan bersih perusahaan saat itu adalah 5 millyard, setelah dilakukan audit ternyata kekayaan bersih perusahaan pada saat itu hanya diperkirakan 1 millyard, mungkin langkah-langkah berikut ini bisa dilakukan:

Mintalah jasa independent auditor untuk melakukan pemeriksaan yang menyeluruh agar memperoleh kesimpulan yang lebih pasti dan memiliki legitimasi yang cukup. Jika memang terbukti terjadi pembohongan, pemilik baru bisa membicarakan kembali dengan pemilik lama. Jika pemilik lama dengan besar hati bersedia memberikan kompensasi (ganti rugi), tentu ini sangat baik. Jika tidak, tentunya pemilik baru (sebagai pihak yang dirugikan) bisa melakukan upaya-upaya hukum atas kasus kecurangan yang telah terjadi.

Perlu disadari bahwa ada cost atas usah-usaha serius tersebut. Adapun cost atas upaya-upaya tadi meliputi:

[1]. Monetary cost (tentunya bisa dihitung):

Fee untuk Auditor independent
Fee untuk Pengacara

[2]. Non-monetary cost (yang sulit untuk diukur):

Waktu yang dikonsumsi
Opportunity cost
Stress bagi staff
Company image

Non-monetary cost patut menjadi pertimbangan utama, untuk sebuah pertanyaan:

Should company devote all focus and energy for the issue, OR face the fact and shutdown the issue as soon as possible then move the focus to create more value and gains more profit on next stage?.
***A scaleable business sense and wise paradim applies***



Semoga menjadi sumbangan yang berguna.
 

Tidak ada komentar: