Cari Di Blog Ini

Rabu, 28 Maret 2012

Mengapa Jilatan Anjing Dibersihkan dengan Tanah, Bukan dengan Air? [1]


Ilustrasi (inet)


Sebelumnya telah dijelaskan bahwa keikhlasan beribadah menghendaki perintah dipatuhi karena ia diperintahkan syariat, dan larangan dijauhi karena itu kehendak syariat. Tahu hikmahnya atau tidak syariat tetap wajib dijalankan. Hikmah syariat tidak lain kecuali penguat terhadap kelayakan hukum tertentu untuk dilaksanakan. Olehnya itu, mengetahui kelayakan hukum tersebut untuk dijalani bukanlah tugas hamba. Akan tetapi, tugasnya sekedar mengerjakannya karena ia perintah dan meninggalkannya karena ia larangan.

Yang diketahui bersama, sahabat menyandang derajat keimanan tertinggi karena mereka mematuhi syariat sesuai dengan apa yang diwahyukan, tanpa menanyakan sebelumnya: “kenapa ini diperintahkan? Kenapa pula itu dilarang?” Mereka mengerjakannya dengan sepenuh jiwa, raga, dan hati, tanpa memedulikan hikmah-hikmah penetapannya. Dengan sikap seperti ini, mereka dipuji oleh teks-teks syariat yang abadi sehingga menjadi teladan oleh generasi mendatang, seperti: Q.S. At-Taubah [9]: 100, dan hadits Nabi Saw berikut ini:
(لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى! لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى! فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغََ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ). كذا في صحيح الإمام البخاري، وفي صحيح الإمام مسلم زيادة لفظ: (فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ).
“Janganlah mencela sahabat-sahabatku! Janganlah mencela sahabat-sahabatku! Seandainya salah seseorang di antara kalian menafkahkan hartanya (berupa emas) setinggi gunung Uhud, maka itu pun belum menyamai pengorbanan salah seorang dari mereka atau seperduanya.”[[2]]

Demikian periwayatan ini di Shahîh Imam Bukhâari. Di Shahîh Imam Muslim ada tambahan kalimat, yaitu Sabda Rasul Saw: “Demi jiwaku yang ada di genggaman-Nya. Seandainya…”

Karena keikhlasan beribadah lebih jauh ditentukan oleh cara menyikapi hikmah-hikmah syariat, maka di sini saya mengajak Anda menelaah pernyataan Ustadz Said Nursi sebelum saya mengajak Anda yang kedua kalinya untuk menjawab pertanyaan berikut ini: “Kenapa jilatan anjing dibersihkan dengan tanah sesuai dengan ketetapan syariat? Bukan dengan air? Bukankah Air alat pembersih utama dari pelbagai jenis kotoran? Apakah di sini tanah punya kelebihan yang tidak dimiliki air? Tolong jelaskan dari dimensi mana saja sesuai dengan teks-teks yang sampai di tangan Anda?”
Ustadz Nursi dalam menyikapi hikmah-hikmah syariat [[3]] berkata:
“Sesungguhnya tujuan ibadah adalah mematuhi ketetapan Allah SWT dan menggapai keridhaan-Nya. Yang mendorong lahirnya ibadah adalah perintah Allah SWT, dan hasilnya mencapai keridhaan tersebut. Adapun buah dan faedah ibadah itu sendiri bersifat ukhrawi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya faedah ibadah yang bersifat duniawi, dengan syarat faedah duniawi tersebut bukanlah tujuan utama dan tidak menjadi dasar penegakan ibadah tertentu. Olehnya itu, faedah-faedah yang lahir dengan sendirinya di dunia tidak menyalahi keikhlasan beribadah, tetapi ia diposisikan sebagai motivator dan penarjih kelayakan ibadah tersebut untuk dilaksanakan bagi masyarakat awam. Jika faedah-faedah duniawi itu telah menjadi sebab utama penegakan ibadah, wirid, dan dzikir, maka sesungguhnya ia telah merusak hakikat ibadah-ibadah itu sendiri, bahkan wirid, sebagai salah satu contoh, yang punya pelbagai keistimewaan menjadi mandul tidak membuahkan hasil.”[[4]]

Jika Anda telah menyadari ini, maka sekarang Anda diajak menjawab pertanyaan di atas. Dari teks-teks yang sampai di tangan penulis, ia melihat bahwa membersihkan jilatan anjing dengan tanah faedahnya disimpulkan oleh dua dimensi besar, yaitu dimensi kesehatan dan kehidupan. Setiap dari dimensi itu punya koleksi makna yang menyuarakan ketuhanan dan keesaan Allah SWT.

Mari kita lihat dimensi medis tanah sebagai alat pembersih efektif terhadap air liur anjing sebagaimana yang dilaporkan oleh tulisan singkat DR. Shâlih Ahmad Ridha’, beliau berkata:
“Dari Abu Huraira Ra, Rasul Saw bersabda:
(طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ).
Kebersihan bejana kalian jika dijilat anjing yaitu dengan mencucinya tujuh kali, awalnya dengan tanah.”[[5]]
Di antara ulama ada yang heran terhadap kandungan hadits ini, mereka berkata: “bagaimana tanah bisa menjadi alat pembersih, sementara ia menjadikan segala sesuatu yang disentuhnya kotor?”
Pertanyaan di atas terjawab pada abad ini oleh pelbagai kajian ilmiah yang melibatkan teknologi modern. Di antara kajian-kajian tersebut, kajian tentang hubungan tanah dengan penyakit anjing (Rabies) [[6]]. Rabies penyakit yang terdapat di air liur anjing dan ditularkan ke manusia. Anjing kadang membawa penyakit ini meskipun ia kelihatan sehat.
Kajian tersebut telah diuji coba di Spanyol beberapa tahun silam. Demikian pula oleh kelompok saintis Pakistan baru-baru ini yang menemukan bahwa virus-virus rabies pada anjing tidak akan bersih dicuci dengan air. Akan tetapi, ia akan bersih dan tidak meninggalkan bekas apapun di bejana dengan tanah.”[[7]]
Pernyataan yang sama diberikan oleh DR. Kamal al-Mowil, beliau berkata:
“Virus penyebab Rabies sangat kecil, dan setiap kali zat virus itu tambah kecil maka ia pun tambah berbahaya, karena kemungkinan besar ia melekat di dinding-dinding bejana. Di sini, membersihkannya dengan tanah lebih kuat dari air. Tanah membuka air liur dan mengangkat virus-virusnya dengan begitu kuat dari semprotan air, atau dengan sapuan tangan. Itu terjadi karena tanah lebih kuat memberikan tekanannya pada benda cair, seperti air liur anjing. Di Fisika dicontohkan dengan tekanan kapur terhadap tinta.”[[8]]
Kedua teks medis ini mengundang tanya terhadap apa yang dimiliki tanah sehingga ia punya keampuhan pembersih yang luar biasa dalam hal ini, melebihi kemampuan air dan benda-benda lain. Di antara teks medis yang sampai di tangan penulis laporan Dr. Arwa Abdurrahman Ahmad (Guru besar Mikrobiologi di Universitas Sana’a, Yaman) yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan di atas. Beliau mengatakan:
“Di saat mencermati mikroorganisme (makhluk hidup yang berukuran sangat kecil sehingga untuk mengamatinya diperlukan alat bantu) yang ada di tanah, terlihat bahwa di sana terdapat mikroorganisme yang punya manfaat terhadap makhluk hidup lain di sekitarnya. Mereka berfungsi menyuburkan tanah, membantu tumbuh-tumbuhan menyerap pupuk dan nitrogen, dan ikut andil memerangi mikroba-mikroba bersel tunggal (uniseluler) yang menyebabkan pelbagai penyakit.
Fungsi tanah yang terakhir ini memberi indikasi kuat bahwa ia bisa menjadi media penyembuhan. Fungsi seperti ini telah digarisbawahi sebelumnya oleh Rasul Saw di hadits berikut ini:
(بِسْمِ اللَّهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا، لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا).
“Dengan menyebut nama Allah tanah bumi kami dengan air liur sebagian dari kami, obat terhadap orang sakit dengan izin Tuhan Kami.”[[9]]
Saya telah melakukan penelitian dalam bidang ini dengan mengangkat spesies Streptomyces [[10]] dari tanah Yaman yang memproduksi anti biotik (Species of Streptomyces-producing antibiotics isolated from Yemen soil). Penelitian ini mencatat 43 dari species Streptomyces yang punya kemampuan meredam pergerakan bakteri-bakteri negatif. Di antara spesies itu ada yang menghasilkan anti biotik berwarna putih setelah bersentuhan dengan Etil asetat yang melahirkan molekul-molekul, dan selanjutnya disaring secara Kromatografi [[11]].[[12]]  
Di lain sisi, unsur-unsur tubuh serupa dengan unsur-unsur tanah. Yang diketahui saintis sampai sekarang bahwa terdapat di dalam tubuh 22 unsur yang terdiri dari:
  1. Oksigen (O), Hidrogen (H), dalam bentuk air sebesar 65%-75% dari massa tubuh manusia.
  2. Karbon (K), Hidrogen (H), dan Oksigen (O), mereka membentuk dasar senyawa organik yang terdiri dari gula dan lemak, protein, vitamin, hormon atau enzim.
  3. unsur-unsur padat yang terdiri dari:
a. 6 unsur, yaitu: Clor (Cl), Belerang atau Sulfur (S), Magenesium (Mg), Kalium (K), Natrium atau Sodium (Na), mereka membentuk 60%-80% massa.
b. 6 unsur yang persentasenya sedikit dibanding persentase unsur-unsur di atas, yaitu:  Besi (Fe), Tembaga (Cu), Yodium (I), Mangan (Mn), Kobalt (Co), Seng (Zn), dan Molibdenum (Mo).
c. 6 unsur yang punya persentase paling sedikit dalam tubuh, yaitu: Flour (F), Aluminium (Al), Bromin atau Brom (Br), Selenium (Se), Kadmiun (Cd), dan Kromium atau Krom (Cr).
Semua unsur-unsur tubuh tersebut terdapat di tanah. Tentunya, ini adalah dalil ilmiah bahwa manusia tercipta dari tanah. Olehnya itu, ia layak untuk dijadikan sebagai media pengobatan. Hal ini telah ditegaskan sebelumnya dalam ayat ini:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ ﴿١٢﴾
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (Q.S. Al-Mu’minum [23]: 12)
Hematnya, karena tanah pembersih kedua setelah air dalam hal-hal tertentu sebagaimana dalam syariat, ia pun disifati oleh Al-Qur’an sebagai zat yang suci dan menyucikan. Allah SWT berfirman:
وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ
“Dan jika kamu sakit, atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” [[13]] (Q.S. Al-Maidah [5]: 6)

Label kesucian tanah ini yang disuarakan Al-Qur’an membungkam mulut orang-orang yang meragukan kebenaran hakikat syariat. Olehnya itu, telah jelas sejelas terik mentari di siang hari bahwa tidak ada hukum yang ditetapkan syariat kecuali itu sesuai dengan fitrah penciptaan dan relevan dengan kemaslahatan manusia meski datang dari satu sisi.
Sebelum tulisan singkat ini diakhiri para pemerhati tema-tema syariat diajak menelaah dan menyuarakan kesimpulan di bawah ini:
“Kerjakan perintah karena ia diperintahkan! Tinggalkan larangan karena ia dilarang! Itulah hakikat keikhlasan beribadah. Jangan abaikan perintah dan larangan hanya karena tidak mengetahui hikmahnya! Para sahabat disifati teks-teks syariat dengan pelbagai sifat mulia karena mengamini kebenaran dan kelayakan sebuah hukum untuk dijalankan, meskipun mereka tidak mengetahui hikmah penetapannya. Pengetahuan terhadap hikmah hukum tertentu tidak lain kecuali penguat dan penarjih terhadap kelayakan hukum tersebut untuk ditaati. Yakini dan amini hakikat syariat tersebut dengan menelaah tulisan singkat ini sebagai salah satu contoh sederhana dalam hal ini!”

Catatan Kaki:
[1] Tulisan ini jawaban terhadap pertanyaan salah satu pemerhati tema-tema dakwah yang mengatakan: “Tolong dibahas lagi ya, kenapa air liur sama menyentuh anjing itu haram?”
Pertanyaan tersebut sebenarnya tidak berhenti di sini saja, tetapi yang paling menarik pertanyaan seseorang yang mengatakan: “kenapa bekas jilatan anjing harus dibersihkan dengan tanah, bukan dengan air? Bukankah tanah itu kotor? Membersihkannya dengan tanah berarti menambah kotoran?”
Di samping itu, para ulama berbeda pendapat terhadap kenajisan anjing.
Ulama fiqih Hanafi melihat bahwa anjing bukanlah najis dilihat dari zatnya, tetapi yang bernajis adalah air liurnya.
Beda halnya dengan ulama fiqih Maliki yang melihat zatnya bersih, demikian pula dengan darah dan air liurnya. Bagi mereka setiap makhluk hidup itu bersih dilihat dari fitrah penciptaan mereka, meski makhluk itu adalah anjing dan babi.
Sementara itu, ulama fiqih Hambali dan Syafii mengatakan bahwa anjing itu zatnya najis.
Perbedaan mereka dalam melihat zat anjing menyebabkan perbedaan selanjutnya terhadap rambut hewan ini.
Ulama fiqih Hanafi dan Maliki melihat kebersihannya, sementara itu, ulama fiqih Syafi’i dan Hambali menajiskannya.
Karena terdapat perbedaan pendapat tentang zat anjing sendiri yang melahirkan perbedaan pendapat terhadap bulu-bulunya, maka penulis lebih menekankan pembahasan terhadap hikmah penetapan syariat terhadap tanah sebagai alat pembersih dari jilatan anjing.
[Lihat masalah ini di kitab-kitab fiqih 4 mazhab: di fiqih Hanafi, seperti: al-Bahru ar-Râiq, vol. 1, hlm. 244, di fiqih Hambali seperti: as-Syarhul Kabîr, vol. 2, hlm. 277, di fiqih Syafi’i seperti: al-Hâwi, vol. 1, hlm. 305, vol. 15, hlm. 179].
[2] Hadits ini diriwayatkan di Shahîh Imam Bukhâri dari Abu Said al-Khudri Ra, kitab Fadhâil as-Sahâbah, bab Firman Allah SWT: (لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيْلاً), hadits. no: 3673, hlm. 1009, dan tambahan tersebut di Shahîh Muslim datang di periwayatan lain dari Abu Huraira Ra, kitab Fadhâil as-Sahâbah, bab Tahrîm Sabbi as-Sahâbah, hadits. no: 6651, hlm. 1318
[3] Di sini hikmah-hikmah syariat yang bersifat duniawi kadang datang dalam bentuk fungsi kesehatan yang dipetik dari ibadah-ibadah tertentu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di fungsi medis sujud.
[4] Ustadz Said Nursi, Haqâiq al-Îmân, hlm. 138-139
[5] Hadits ini diriwayatkan di Shahîh Imam Muslim, kitab at-Thahârah, bab Hukmi Wulug al-Kalb, hadits. no: 677, hlm. 153
[6] Kata rabies berasal dari bahasa Sanskerta kuno rabhas yang artinya melakukan kekerasan dan kejahatan. Dalam bahasa Yunani, rabies disebut Lyssa atau Lytaa yang artinya kegilaan. Dalam bahasa Jerman, rabies disebut tollwut yang berasal dari bahasa Indojerman Dhvar yang artinya merusak dan wut yang artinya marah. Dalam bahasa Prancis, rabies disebut rage berasal dari kata benda robere yang artinya menjadi gila.
Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Virus rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan hewan, misalnya: oleh anjing, kucing, kera, rakun, dan kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing gila. [http://id.wikipedia.org/wiki/Rabies]
[[7]] Lihat: Shâlih Ahmad Ridha’, al-I’jâz al-Ilmi fi as-Sunnah an-Nabawiyyah, Maktabah al-Obekan, Jeddah, cet. 1421 H/2001, vol. 2, hlm. 841
[8] Lihat artikel ini di website DR. Kamal al-Mowil: http://almowil.com/aleejaz.htm
[9] Hadits ini diriwayatkan di Shahîh Imam Bukhari dari Sayyidah Aisyah, Ra, Kitab Tib, bab Ruqyah an-Nabi Saw, hadits. no: 5745, hadits ini juga ditemukan di Shahîh Imam Muslim.
Imam an-Nawawi berkata:
“Mayoritas ulama mengatakan bahwa maksud (بِأَرْضِنَا) di sini adalah tanah beberapa tempat, ada juga yang mengatakan bahwa tanah Madinah saja dilihat dari berkahnya. (الرِّيْقَة) lebih sedikit dari air liur. Arti hadits, ia mengambil air ludahnya sendiri dengan jari telunjuk, kemudian diletakkannya di atas tanah sehingga melengket di telunjuk tersebut sedikit dari tanah itu, selanjutnya membasuhkannya di luka atau bagian tubuh yang terasa sakit, dan membaca doa ini.” [Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w 676 H), Syarhu an-Nawawi ala Shahîh Imam  Muslim, vol. 14, hlm. 184]
Hematnya, semua tanah punya kelayakan untuk menjadi media penyembuhan karena pada dasarnya mereka bersih. Rasul Saw bersabda:
     (جُعِلَتْ لِيْ الأَرْضُ مَسْجِداً وَطَهُوْراً)
    “Dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan tempat suci yang menyucikan.” (hadits riwayat Shahîh Bukhâri)
     Di sini tidak disebutkan tempat tertentu di belahan dunia, atau jenis tanah tertentu. Olehnya itu, setiap jenis tanah dari tempat manapun layak untuk menjadi bahan pengobatan. Bukan hanya itu, telah terbukti oleh saintis modern bahwa setiap tempat punya mikroorganisme tanah tertentu sesuai dengan iklim geografis yang ia miliki.
[10] Streptomyces adalah bakteri gram positif yang menghasilkan spora yang dapat ditemukan di tanah. Bakteri ini nonmotil dan berfilamen. Selain ditemukan pada tanah, bakteri ini juga dapat ditemukan pada tumbuhan yang membusuk. Streptomyces dikenal juga karena memproduksi senyawa volatil yaitu Geosmin yang memiliki bau khas pada tanah. Streptomyces termasuk ke dalam golongan Actinomyces yaitu bakteri yang memiliki struktur hifa bercabang menyerupai fungi dan dapat menghasilkan spora.
[11] Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan molekul berdasarkan perbedaan pola pergerakan antara fase gerak dan fase diam untuk memisahkan komponen (berupa molekul) yang berada pada larutan. [http://id.wikipedia.org/wiki/Kromatografi]
[12] Arwa Abdurrahman Ahmad, I’jâz as-Syifa’ fi ar-Rîq wa at-Turâb, artikel ini disampaikan di muktamar internasional kedelapan seputar kemukjizatan ilmiah di Al-Qur’an dan Sunnah, hlm. 182-183
[13] Lihat: Abdul Hamid Diyab dan Ahmad Qarquz, Maa at-Tib fil Qur’an Karim, ditahkik oleh Dr. Mahmud Nadshim Nasimi, Muassasah Ulum Al-Qur’an, cet. 2, 1982 M, hlm. 72-73

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/19564/mengapa-jilatan-anjing-dibersihkan-dengan-tanah-bukan-dengan-air-1/#ixzz1qP6Fir67

Tidak ada komentar: