Al-Quran Wahyu Tuhan atau Karya Manusia?
Sejak dulu sampai sekarang
para penentang Islam tidak pernah menyerah mengerahkan segala upaya
mereka untuk meragukan keabsahan al-Quran dan kebenarannya sebagai wahyu
Tuhan. Upaya ini sudah di mulai sejak kaum pagan Mekkah yang menentang
al-Quran habis-habisan dengan mengatakan bahwa ia hanyalah "kebohongan
yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain."
[25:4] Menuduh bahwa al-Quran tidak lebih dari, "Dongengan-dongengan
orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah
dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang," [25:5]
Tetapi
sayang nya, sikap kaum pagan Mekkah terhadap al-Quran ini ternyata
diikuti oleh sejumlah orientalis yang sangat tendensius terhadap Islam
yang ingin mengatakan bahwa al-Quran bukanlah wahyu Allah, melainkan
karya Muhammad saw. Mereka kerap menyitir beberapa pernyataan kaum pagan
dahulu yang sebenarnya telah dijawab oleh al-Quran sendiri.
Merupakan sebuah fakta bahwa Muhammad saw adalah seorang yang ummiy yang
tak pandai membaca dan menulis. Karena itulah ia meminta beberapa
sahabatnya untuk mencatat setiap wahyu al-Quran yang diturunkan
kepadanya. Jika demikian bagaimana mungkin seorang yang ummiy dapat
mempelajari kitab-kitab suci agama lain. Pernyataan seperti itu
merupakan tuduhan yang tidak didukung fakta dan argumentasi ilmiah.
Rasullulah menyampaikan dakwah di Mekkah selama kurang lebih 13 tahun.
Dalam waktu tersebut, tidak ditemukan bukti sejarah bahwa Muhammad saw
pernah melakukan kontak dengan orang-orang Yahudi.
Peran seorang pendeta
Adapun pertemuannya dengan pendeta Kristen Bahira, mereka mencoba
mendramatisir kisah pertemuan tersebut. Pertemuan itu terjadi di
sela-sela perjalanan Muhammad saw ke negri Syam dalam rangka menemani
kafilah dagang pamannya, Abu Thalib. Saat itu, usia Nabi sekitar 9 - 12
tahun. Apakah masuk akal seorang anak kecil dengan usia seperti itu di
sela-sela pertemuan singkat yang berlangsung dalam hitungan menit mampu
memahami ajaran sebuah agama secara sempurna? Adakah alasan mengapa
Bahira menjatuhkan pilihan kepada Muhammad kecil ini untuk menerima
ajaran Kristen, sementara ada banyak orang yang ikut dalam kafilah
dagang Abu Thalib? Mengapa Muhammad harus menunggu 30 tahun lamanya
setelah pertemuan tersebut kemudian memproklamirkan risalah islam yang
diterimanya pada usia 40 tahun?
Sungguh kisah pertemuan Bahira
dan Muhammad saw yang didramatisir tersebut sama sekali tidak masuk akal
dan a-historis. Sehingga tidak aneh jika ada orientalis sendiri yang
meragukan keabsahan peran Bahira yang dianggap mengajarkan isi
kitab-kitab terdahulu kepada Muhammad.
Dalam kata-kata
orientalis Huart, "Berbagai sumber-sumber tertulis Arab klasik yang
ditemukan, diterbitkan dan dikaji yang menyebutkan tentang peran seorang
pendeta asal Suriah (Syam), menunjukkan bahwa kisah tersebut tidak
lebih dari potongan-potongan dongeng dan khayalan belaka." (M Abdullah
Diraz, disertasinya dalam bahasa Perancis di Universitas Paris, 1947)
Fakta ilmiah
Dalam
kitab suci al-Quran terkandung fakta-fakta ilmiah yang baru bisa
dibuktikan kebenarannya oleh sains modern. (Maurice Bucaille, Kairo,
1978) Beberapa contoh a;-Quran telah mengisyaratkan tentang fase-fase
perkembangan janin di perut ibu, atau fakta-fakta ilmiah menakjubkan
lainnya mengenai bumi, matahari, bintang, angin, hujan dan sebagainya.
Lalu dari mana Muhammad mendapatkan semua itu?
Tak seorang pun
mengatakan bahwa Muhammad saw menyadurnya dari sumber-sumber Yahudi dan
Kristen yang memang tidak menyinggung fakta-fakta ilmiah seperti halnya
al-Quran atau mungkinkah Muhammad yang ummiy mendapatkan sendiri
temuan-temuan ilmiah tersebut padahal beliau tidak mendapatkan
pendidikan sedikit pun? Sudah amat jelas, bahwa al-Quran bukalah karya
manusia.
Al-Quran saduran Kitab-Kitab Suci sebelumnya?
Jika benar al-Quran merupakan saduran kitab-kitab suci sebelumnya,
akankah orang-orang yang hidup semasa Muhammad saw membiarkan hal itu?
Dakwaan dan hujatan semacam ini merupakan sebentuk generalisasi yang
tidak memiliki dasar. Di dalam al-Quran terdapat banyak aturan-aturan
hukum dan ajaran-ajaran yang tidak ditemui dalam Kitab-kitab suci
sebelumnya. Kitab-kitab suci sebelum al-Quran juga tidak menyebutkan
rincian hal ihwal umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat dalam
al-Quran.
Demikian pula prediksi al-Quran tentang hal-hal yang
akan terjadi (gaib) yang baru terjadi selang beberapa waktu kemudian.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah kisah peperangan antara Romawi dan
Persia yang sebelumnya diberitakan oleh al-Quran, tidak diketahui oleh
Muhammad saw dan kaumnya, juga oleh penganut agama-agama sebelumnya.
(al-Quran surat ar-Rum : 1- 5, tafsir al-Quran oleh para ahli tafsir)
al-Quran adalah kitab suci yang seluruh ayatnya memiliki konsistensi
dan keselarasan pada susunan kata, gaya bahasa, dan ajaran-ajaran yang
dikandungnya. Jika benar al-Quran merupakan karya saduran yang bersumber
dari kitab suci sebelumnya, maka keragaman sumber seperti itu
meniscayakan terjadinya kontradiksi, inkonsistensi dan ketidakselarasan.
Ada pula yang mencurigai bahwa budaya Arab Jahiliyah sebagai salah satu
sumber al-Quran, faktanya al-Quran justru menolak berbagai sistem
keyakinan jahiliyah yang batil dan adat istiadat serta tradisinya yang
buruk, dan menggantinya dengan akidah, adat yang baik juga tradisi yang
santun.
Tidak ada yang baru dalam al-Quran?
Al-Quran, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Sebagai tambahan atas tuduhan bahwa tidak ada yang baru di dalam
al-Quran, faktanya al-Quran memuat informasi-informasi yang tidak
terdapat dalam kitab-kita suci sebelumnya. Al-Quran memaparkan secara
terperinci tentang kisah nabi Zakaria as, dan kelahiran Maryam yang
berada di bawah asuhan Zakaria as. [3:35-37] Informasi mengenai Maryan
sendiri banyak ditemui diberbagai tempat dan menjadi salah satu nama
surah ke 19 dalam al-Quran. Suatu paparan informasi yang tidak
ditemukan, bahkan dalam Perjanjian Baru sekali pun. Lalu dari manakah
Muhammad saw mendapatkan informasi seperti itu kalau bukan dari Dia Yang
maha Tahu, Allah swt.
Di dalam perjanjian Lama, Kitab
Keluarab, disebutkan bahwa yang mengangkat Musa as sebagai anak adalah
putri Firaun (Keluaran 2 : 5-7 atau Perjanjian Baru, Kisah Para Rasul 7 :
21). Ini berbeda dengan informasi di dalam al-Quran yang menyatakan
bahwa istri Firaun lah yang sebenarnya mengadopsi Musa as., bukan
putrinya. [28:9] Demikian pula dalam kitab yang sama disebutkan bahwa
pembuat patung anak sapi yng disembah baniisrael adalah Harun as
(keluaran 32:3,4 dan 35), berbeda dengan paradoksal yang tertera di
Bible justru Harun adalah orang yang sangat mengecam penyembahaan patung
itu. [20:85-88]
Jika benar al-Quran telah menukil dan menyadur
apa yang terdapat di dalam Injil, alasan apa yang mebuatnya tidak
menyadur konsep Trinitas yang merupakan prinsip paling fundamental dalam
ajaran Kristen? Mengapa al-Quran sama sekali tidak mengambil
prinsip-prinsip akidah Kristen seperti penyaliban, konsep keselamatan,
dosa warisan, dan ketuhanan Almasih?
Nabi dalam pandangan Islam
Dalam pandangan al-Quran, para nabi utusan Allah adalah tipe ideal dari
moralitas yang harus diteladani. Kedudukan mereka yang sangat luhur
dalam pandangan al-Quran justru bertolak belakang dengan apa yang
tersurat dalam Bible. Bible kerap mengaitkan berbagai perbuatan nista
Nabi Luth as dengan kedua putrinya di dalam Bible (Kitab Kejadian 9
:20-21), Nabi Nuh (kejadian 9:20-21), Nabi Daud (2 Samuel 11:2-5 dan 2
Samuel 6 : 20), lalu bandingkan dengan apa yang terdapat di dalam
al-Quran mengenai keteladanan dan kemuliaan Nabi Luth as pada surah
al-Araf : 80 dan Al-Anbiya: 74.
Proses Kodifikasi dan Masalah Otentisitas Al-Quran
Sejarah mencatat adanya para penulis dari kalangan yang diangkat oleh
Nabi sebagai pencatat ayat-ayat al-Quran. Catatan yang mereka tulis
berdasarkan bacaan rasullulah saw, yang didiktekan langsung setiap kali
wahyu turun. Catatan ini didokumentasikan pada alat-alat tulis yang
tersedia pada saat itu, seperti kertas, kayu, potongan kulit, lempengan
batu atau tulang. Para penulis wahyu ini sebagaimana yang diinformasikan
oleh literatur-literatur keislaman berjumlah 29 orang. Diantara mereka
adalah empat khalifah sesudah rasullulah saw. Beberapa penulis tersebut
yaitu, Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, Alin bin Abi
Thalib, Zubair bin Awwam, Said bin Al-Ash, Amru bin AL-Ash, Ubai bin
Ka'b, dan Zaid bin Tsabit.
Selain pencatatan adalah ukurasi
hafalan kaum Muslimin yang terus mentradisi sampai saat ini. Pada Masa
Rasullulah saw, para penghafal al-Quran mencapai ratusan sahabat yang
memang sangat concern pada bacaan al-Quran dan akurasi hafalannya.
Rasullulah saw melakukan pembacaan ulang al-Quran satu kali setiap
tahun di bulan Ramadhan yang langsung disimak oleh pembawa wahyu Jibril
as. Bahkan khusus pada tahun terakhir sebelum wafat, Jibril as melakukan
pengecekan bacaan al-Quran Nabi sebanyak dua kali. Dengan demikian,
para penghafal al-Quran itu telah mengahafalnya dengan sempurna sebelum
Rasullulah saw wafat. Demikian para penulis al-Quran mencatat seluruh
kandungan al-Quran dan meletakkan ayat demi ayat sesuai dengan arahan
dan intruksi langsung Rasullulah saw.
Peristiwa Yamamah, Musailamah al-Kadzdzab
Setahun setelah wafatnya Rasullulah saw, sebanyak 70 orang penghafal
al-Quran terbunuh dalam peristiwa Yamamah. Mempertimbangkan hal ini,
Khalifah Abu Bakar ra, atas saran dari Umar bin Khatab menugaskan salah
satu penulis al-Quran, Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan
catatan-catatan al-Quran yang berserakan kedalam satu kodifikasi yang
akan dijadikan rujukan. Proses Kodifikasi ini dilakukan berdasarkan satu
prinsip, yaitu bahwa setiap catatan wahyu yang akan dimasukkan ke dalam
kodifikasi harus mendapatkan dua orang saksi yang mengatakan, bahwa
catatan tersebut benar-benar telah didiktekan langsung oleh Rasullulah
saw. Tentu saja para penghafal al-Quran dari kalangan sahabat dilibatkan
dalam melakukan tugas kodifikasi ini.
Zaid bin Tsabit
menyerahkan hasil kodifikasi lengkap al-Quran kepada Abu Bakar, sebelum
wafat kodifikasi tersebut diserahkan kepada Umar bin Khatab yang
kemudian sebelum beliau wafat menyerahkannya kepada putrinya yang juga
istri Rasullulah saw, Hafshah binti Umar ra.
Ustman bin Affan
Pada Masa Ustman bin Affan, dibentuklah komite kodifikasi al-Quran yang
terdiri dari empat orang, salah satunya adalah Zaid bin Tsabit. Mereka
bertugas untuk menyalin sebanyak lima mushhaf al-Quran dan kemudian
dikirim ke Mekkah, Madinah, Basrah, Kufah fan Damaskus. Komite ini
melakukan tugas penyalinan berdasarkan kodifikasi yang berada di tangan
Hafshah binti Umar ra. Proses penyalinan tersebut tentu saja diawasi
oleh para penghafal al-Quran saat itu. Salinan al-Quran hasil penulisan
komite inilah yang beredar dan dipergunakan oleh umat Islam di seluruh
dunia sejak dulu hingga saat ini. Oleh sebab itu tidak ada perbedaan
dikalangan umat Islam menyangkut otentisitas al-Quran sejak 14 abad
silam hingga sekarang.
Hal ini juga diperkuat oleh para
orientalis Leblois, Muir dan Orientalis Jerman Rudi Paret dalam kata
pengantar untuk terjemahan al-Quran. Ahli Ketimuran Rudi Paret
mengatakan, "Kita tidak memiliki alasan yang dapat membuat kita yakin
bahwa di sana ada ayat-ayat dalam al-Quran yang tidak datang dari
Muhammad." (M.Abdullah Diraz, Rudi PAret, Der Koran, Stuttgart;
Ubersetzubg, 1980, hal 5)
Demikianlah, tak ada yang menyebutkan
bahwa ada salinan al-Quran yang berbeda dengan hasil salinan komite di
masa Ustman bin Affan. Seandainya ada diantara para sahabat yang
memiliki salinan yang berbeda, pastilah mereka akanmenunjukkan dan
menentang hasil penyalinan yang dilakukan komite kodifikasi pada masa
Ustman. Tetapi kita tidak pernah mendengar terjadinya hal itu sepanjang
sejarah umat Islam.
Abdullah bin Mas'ud ra
Adapun
tuduhan yang sengaja disebarkan menyangkut seorang sahabat Rasullulah
saw, Abdullah bin Mas'ud ra yang disebut-sebut pernah menyatakan
keraguannya atas surah al-Fatihah, al-Falaq, dan An-Nas sebagai bagian
al-Quran, sama sekali merupakan tuduhan yang tidak memiliki dasar sama
sekali.
Para Ulama Islam yang memiliki keilmuan yang teruji,
seluruhnya membantah tuduhan tanpa bukti yang disematkan kepada Abdullah
bin Mas'us ini. Fakhrudin ar-Razi, Abu Bakar Ibnul Arabi, an-Nawawi,
Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Baqillani dan ulama lain membantah tuduhan
tersebut, dan tidak ada seorang pun yang dari umat Islam yang
mempercayai pendapat tanpa dasar yang diberikan secara tidak benar
terhadap sahabatnya Abdullah bin Mas'us ra itu. (Cairo : Dar al-Ma'arif,
1997, hal 97 dst)
"Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar." [2:111]
(sumber : Prof.Dr.Mahmoud Hamdi Zaqzouq, Guru Besar Universitas
al-Azhar Mesir, Meraih gelar Ph.D dari Universitas Munchen Jerman, pada
1968, Wakil Rektor Universitas Al-Azhar pada tahun 1995, dan dari tahun
1996 menduduki jabatan Menteri Wakaf Republik Arab Mesir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar