VI. RASULLULLAH DAN HADITSKenapa kalian membunuh
para utusan Allah…?
HADITS TENTANG KEHIDUPAN RASUL
Robert Morey yang ingin membandingkan -dengan kecendrungan tentunya- antara Nabi Muhammad Saw. an
Nabi Isa As. tidak memperhatikan bahwa keduanya adalah sama-sama
utusan Allah, dan keduanya hidup dalam situasi yang sangat bertolak
belakang. Nabi Isa As. hidup pada masa bangsa Yahudi sedang dalam
cengkraman kekuasaan Romawi. Ajaran yang dibawa beliau juga semata-mata
meneruskan ajaran Nabi Musa. Dan satu hal lagi bahwa masyarakat Israel
seperti kebiasaannya tidak pernah mau menerima Nabi yang walaupun dari
kalangannya sendiri, sehingga dalam kenabiannya Nabi Isa tidak menjadi
pemimpin Bangsa Israel sebagaimana Nabi Musa yang menyelamatkan bani
Israel dari tangan Fir’aun. Sementara Nabi Muhammad saw, selain seorang
Nabi -seperti nabi Musa- juga pemimpin masyarakat Arab, layaknya
seorang panglima dalam peperangan, dan kepala pemerintah dalam mengatur
negerinya. Oleh sebab itu jika kemudian Nabi menghunus pedang dan
menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan, hal itu adalah tugas
seorang panglima perang dan seorang kepala pemerintahan, dan semua itu
menjadi kesatuan ajarannya sehingga umat muslim tidak pernah membedakan
antara agama dan negara, apalagi agama dan ilmu pengetahuan. Namun
demikian kalaupun Robert Morey berupaya membandingkan antara Isa dan
Muhammad, maka kami membatasi hal tersebut, karena ajaran Islam
menyatakan bahwa seluruh nabi adalah sama, umat muslim tidak
diperkenankan membedakan antara mereka, hal ini tidak saja menjadi
perintah al-Qur’an tapi bahkan menjadi salah satu pilar dari enam pilar
keimanan dalam Islam.
1. Bahwa Nabi suka marah.
2. Bahwa Nabi tidak suka ditanya.
3. Permintaan membunuh.
4. Nabi memohon ampunan Allah karena ia adalah seorang pendosa.
5. Isu seksual.
Sebagai
seorang pemimpin sekaligus pendidik dan pengajar, maka memarahi para
sahabatnya yang berbuat salah adalah suatu hal yang wajar, dan mungkin
malah diperlukan. Itulah sebabnya marah yang diperbolehkan dalam agama
adalah marah yang karena Allah bukan karena hawa nafsu. Marah yang
karena Allah akan ditanggapi sebagai teguran, sementara marah yang
karena hawa nafsu akan ditanggapi dengan kemarahan serupa. Jika yang
kedua yang terjadi -karena nafsu- maka dapat dipastikan dakwah
Rasulullah gagal, tapi toh ternyata yang terjadi adalah sebaliknya,
terbukti Rasulullah mampu mengislamkan Madinah dalam waktu 1 tahun.
Dalam prakteknya Rasulullah tidak pernah menyebut nama dari sahabat
yang ditegurnya, ia seringkali hanya mengatakan “kenapa orang-orang
berbuat begini?”.
Rasulullah dikelilingi oleh para sahabat yang sangat kritis. Kehidupan egaliter masyarakat Arab membuat para sahabat
tidak pernah segan untuk bertanya, Rasulullah bahkan seringkali
mengikuti saran para sahabatnya -seperti cerita Khubbab yang pernah
kita ungkap sebelum ini-. Adapun pertanyaan yang tidak diperbolehkan
adalah seperti yang seringkali ditanyakan oleh umat Yahudi dan Kristen
yang sengaja menyudutkan Rasulullah melalui pertanyaan-pertanyaan.
Seperti pertanyaan Yahudi Madinah yang menanyakan: ‘Jika Allah
menciptakan alam maka siapa yang menciptakan Allah?”, akhirnya turunlah
surat al-Ikhlas, ‘Katakanlah (hai Muhammad) Dia Allah yang Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan… “. Pertanyaan
semacam ini tentu saja dilarang oleh Nabi Saw, sebab intinya
menyudutkan bukan meminta jawaban. Sedangkan pertanyaan biasa, kita
bisa memperhatikan bahwa sebagaian besar ketentuan nabi adalah jawaban
atas pertanyaan.
Dalam
menghujat masalah ini, Robert Morey mencontohkan hadits nabi tentang
keputusan Rasulullah yang menghukum mati Ka’b ibn Asyraf. Keputusan
tersebut adalah keputusan jenius seorang panglima perang dan pemimpin
masyarakat, keputusan yang tidak hanya cocok dilakukan pada 14 abad
yang lalu, tapi hukum international abad modern pun mengakui bahwa
keputusan tersebut sah adanya.
Ka’b
bin Asyraf adalah seorang Yahudi dari ayah Arab dan ibu Yahudi.
Hartanya yang melimpah membuatnya mampu berbuat apa saja untuk menyetir
kaum Yahudi yang tinggal di Madinah. Sebagai anggota komunitas Yahudi
di Madinah, Ka’ab bin Asyraf mestinya mentaati perjanjian hidup bersama
antara Yahudi dan Muslimin di Madinah yang sudah disetujui kedua belah
pihak. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kebenciannya kepada Nabi
Saw. membuatnya kehilangan akal, segala cara ia lakukan demi
menyudutkan Nabi dan kaum muslimin, dari mulai mengejek hingga menghasut
masyarakat Quraisy dan Yahudi untuk memerangi Rasulullah dan umatnya.
Peringatan sudah disampaikan tapi hanya ditanggapi dingin. Hingga
akhirnya, demi menjaga stabilitas Madinah terpaksa penyakitnya harus
dibuang. Eksekusi terhadap Ka’b justru dilakukan oleh
saudarasaudaranya sendiri dari bani Aus.37
Sejarawan
modern H.A. Lammens yang bahkan dari kalangan Yahudi, membenarkan
tindakan yang diambil oleh Rasulullah sebagai berikut :
Apabila
Muhammad bertindak keras terhadap orang Yahudi, adalah dapat dimaklumi
karena mereka telah berkhianat kepadanya, dan jangan dilupakan keadaan
negeri Arab yang belum teratur dewasa itu…….Lagi pula ada seorang Nabi
Bani Israel membunuh 300 kahin dari negeri Baal dalam suatu hari saja”.38
Bukan
hanya itu, hukum international-pun membenarkan tindakan Rasulullah
Saw, sebagaimana ditulis Abbas Mahmud al-‘Aqqad dalam bukunya
Abqariyyatu Muhammad sebagai berikut :
“Menurut
undang-undang International terhadap pelangar-pelanggar yang
berkhianat, menipu dan merusak kehormatan kaum wanita seperti Ka’ab bin
al-Asyraf ini, dikenakan humum seorang tawanan yang telah berjandi
dengan nama kehormatan bahwa ia tidak akan kembali lagi berdiri di
medan peperangan pada pihak lawan yang diberinya janji tersebut.
Undangundang Internasional dalam hal ini telah mewajibkan kepada orang
tersebut dan kepada pemerintah dari orang yang telah berjanji dengan
nama kehormatannya itu supaya orang tersebut tidak ditugaskan lagi oleh
pemerintahnya untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang bertentangan
dengan janji warganya tersebut. Dan apabila orang tersebut melanggar
perjanjiannya, apabila ia jatuh lagi ke dalam tawanan pemerintah yang
telah melepasnya pertama kali, hilanglah hak orang tersebut sebagai
orang tawanan perang, berhaklah pemerintah yang telah menawannya buat
kedua kalinya ini untuk mengadilinya seperti mengadili
penjahat-penjahat serta menghukumnya dengan hukum mati”.39
Undang-undang
modern telah mengizinkan hukuman mati atas seseorang karena kesalahan
yang lebih ringan dari apa yang telah dilakukan oleh Ka’ab bin
al-Asyraf yang telah menghasut orang, mengumpulkan orang dengan
perbuatan dan dengan syair-syair yang amat berpengaruh pada masa itu
layak pers masa kini, serta melecehkan kaum wanita-wanita muslimah.
Maka dalam putusan Rasulullah tersebut yang ada hanya keadilan dengan
kepentingan umum penduduk Madinah.40
Jika
dibandingkan dengan Nabi Isa As. maka walaupun beliau (Nabi Isa As)
bukanlah seorang kepala pemerintah namun beliau juga menghendaki agar
musuhnya ditangkap.
“Siapa yang percaya dan dibabtis akan diselamatkan, tetapi yang tidak percaya akan dihukum” (Markus 16:16).
“Jangan
kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi. Aku
datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang”. (Matius 10: 34).
Kini ada baiknya kita mendengar penuturan ahli sejarah Yahudi Prof. Israel Welfinson sebagai berikut :
“Hendaknya
jangan sampai lupa dari ingatan bahwa kerugian kecil yang mengenai
orang Yahudi tanah Hijaz adalah amat sedikit sekali dibandingkan dengan
faidah yang didapat oleh Yahudi dari kelahiran Islam, karena
orang-orang Islam yang masuk kepelbagai negeri telah menolong
(menyelamatkan) beribu-ribu orang Yahudi yang tersiar di berbagai
propinsi kerajaan Roman Timur, yang telah dan sedang menderita aneka
macam siksa yang sakit sekali. Disamping itu hubungan orang Yahudi
dengan kaum Muslimin
di berbagai propinsi menjadi sebab bangunnya fikiran besar dalam
kalangan orang Yahudi yang abadi bekas-bekasnya dalam sejarah
kebudayaan Arab dan Yahudi sejak beberapa lamanya.”41
Keputusan yang sama telah dimaklumkan oleh Nabi kepada Asma’ binti Marwan. Maka tentang Asma’ tidak perlu kita bahas lagi, sebab kejadiannya hampir sama.
Beberapa
hadits yang menyatakan Rasulullah berdoa dan memohon ampunan Allah
dijadikan alasan bahwa Rasulullah adalah seorang pendosa. Tuduhan ini
ia kuatkan dengan beberapa hadits yang dipahami keliru seperti pada
hadits tentang air susu onta yang sudah kita bahas sebelumnya..
Memohon
ampunan Allah adalah sikap para nabi-nabi yang diajarkan kepada
umatnya, dan hal itu sama sekali tidak menunjukkan suatu kelemahan
apalagi dikatakan sebagai seorang pendosa. Hanya orang yang suka
mendongakkan kepala saja yang mengatakan hal itu sebagai suatu
kekurangan.
Nabi Musa As. juga berdoa memohon ampunan Allah atas kesalahan membunuh orang Mesir yang telah membunuh orang Ibrani.42 Nabi Isa As. (Yesus) juga melakukan hal yang sama, sebagaimana doa yang beliau ajarkan kepada para muridmuridnya:
“dan ampunilah kami dari kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni mengampuni orang yang bersalah kepada kami; ” (Matius 6: 12).
Mungkin
saja otoritas gereja berkilah bahwa doa di atas hanyalah sekedar
ajaran yang tidak menunjukkan bahwa Yesus pernah berdosa, namun
demikian tidak ada bukti-bukti yang mengatakan bahwa beliau tidak
pernah bersalah, namun sebaliknya beliau malah dibabtis oleh Nabi
Yahya, yang melembagakan pembabtisan sebagai simbol pengampunan bagi
orang bertobat. Jika pemikiran ungul-mengunggul atau setidaknya
membedakan antara para nabi Allah ini dituruti, maka mestinya nabi
Yahya lebih suci dari Yesus, sebab Yohaneslah yang membabtisnya di
sungai Jordan. Namun demikian pemikiran semacam itu ditolak keras oleh
Islam, sebab pada dasarnya mereka
semuanya adalah manusia suci ciptaan Allah, dan sebagai ciptaan
kesalahan kecil dari mereka mungkin saja terjadi, dan itu tidak
mengurangi kredibelitas mereka sebagai pembawa wahyu, justru hal itu
menyatakan bahwa mereka hanyalah manusia utusan Allah yang di utus
kepada manusia.
Dr.
Sanihu Munir, yang juga mengomentari masalah ini, mengutip pernyataan
Yesus dalam Naskah Laut Mati yang menyatakan bahwa Yesus memohon ampun
kepada Allah atas segala dosa-dosanya, seperti kutipan dalam Rule of Community 11: 9-10, berikut ini:
“Dan
saya (saya tergolong) manusia yang jahat dan termasuk dalam kelompok
orang yang keji. Ketidak adilan saya, pelanggaran-pelanggaran saya,
dosa-dosa saya… (Termasuk) dalam golongan yang hina dan yang berada
dalam kegelapan”.43
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Yesus, ketika menjawab pertanyaan muridnya yang menyebutnya “guru yang baik”:
Apakah sebabnya engkau katakan aku ini baik? Seorangpun tidak yang baik, hanya Satu, yaitu Allah. ” (Markus 10:18).
Al-Qur’an, yang mencantumkan do’a nabi Adam sebagai bapak manusia, dan menjadi do’a umat Muslim sehari-hari, menyatakan:
“Ya
Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau
tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah
kami termasuk orangorang yang merugi “. (Al-a’raf 7:23).
Apa
yang telah dicontohkan oleh para nabi termasuk Yesus dan Rasulullah
Muhammad, hendaklah menjadi contoh bagi umat masing-masing. Amatlah
naif jika umat nabi Isa tidak mau memohon ampun langsung kepada Allah,
karena merasa dosanya sudah ditanggung oleh sang nabi sendiri, padahal
Yesus menyatakan :
“Sebab anak manusia akan datang dalam kemuliaan Bapaknya, diiringi malaikat malaikatNya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya “. (Matius 16-27).
Yesus
yang dengan tegas menyebut dirinya “anak manusia”, menyatakan bahwa
pembalasan (pada hari pembalasan) bagi setiap orang sesuai kesalahan
masing-masing. Pembalasan itu termasuk bagi mereka yang menyebut Yesus
sebagai “anak Tuhan”, sebab tidak mungkin Yesus yang tidak ingin
dikultuskan mau menolong umatnya yang tetap mengkultuskan dirinya. Jadi
bagaimana dengan doktrin “dosa warisan” dan “penebusan” lewat pendeta
atau Kardinal gay yang baru dilantik di New Hampshire?
Pembunuhan
karakter melalui isu seksual, adalah hal yang biasa dilakukan baik
Yahudi maupun Kristen, kita bisa melihatnya dalam Bibel yang berisi
Taurat dan Injil. Para nabi seringkali digambarkan melakukan hal-hal
yang tidak pantas, seperti incest, mengambil istri orang lain, bahkan
Yesus sendiri mereka gambarkan dekat dengan pelacur, bahkan sebagian
mereka menuduh Yesus melacur -satu tuduhan yang membuat umat Muslim
ikut merasa sakit-. Maka tidak heran jika mereka berusaha membunuh
karakter nabi Muhammad seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian
mereka terhadap nabi dari mereka sendiri.
Masalah
istri-istri Nabi seringkali dijadikan sasaran hujatan, dengan
meninggalkan fakta-fakta dibalik perkawinan tersebut. Oleh sebab itu
dalam tulisan ini kami mencoba menelusuri sejarah Rasulullah yang
berkenaan dengan latar belakang perkawinannya, maka kita mendapatkan
hikmah dibalik perkawinan beliau.
Perkawinan pertama Rasulullah dengan seorang janda berumur 40 tahun, yaitu Siti Khadijah, yang berlangsung hingga tahun sepuluh kenabian atau tiga tahun menjelang hijrah.44 Pernikahan tersebut berlangsung selama 25 th. sebab beliau menikah usia 25 th, dan menjadi utusan Allah ketika berusia 40 th..
Sepeninggal
Khadijah Rasulullah ditawari oleh Khaulah binti Hakim untuk menikahi
salah satu dari dua orang wanita, satu perawan (Aisyah), dan satu lagi
janda (Saudah), dan Rasulullah menikahi Saudah,45 seorang janda berbadan gemuk.46 -tanpa
bermaksud mengecilkan penampilan fisik istri seorang Nabi ini- kedua
perkawinan tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah bukan type pengumbar
hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan oleh Robert Morey. Lebih dari
itu, bahwa Saudah memiliki anak banyak yang membutuhkan pelindung,47 menurut hemat kami, alasan ini merupakan hikmah mendasar dibalik perkawinan beliau dengan Saudah.
Perkawinan
ketiga, dengan Aisyah binti Abu Bakar. Pinangan Rasulullah atas Aisyah
telah menyelamatkan Abu Bakar dari dilema antara menikahkan putrinya
dengan seorang kafir atau mengingkari janjinya kepada Muth’im bin Ady
orang tua dari pemuda kafir tersebut yang telah dijanjikan untuk
menikahi putrinya. Sungguh beruntung bahwa yang terjadi justru istri
Muth’im bin `Ady tidak menghendaki anaknya menikahi Aisyah karena tidak
menginginkan anaknya masuk agama baru yang dibawa Nabi, maka pinangan
Rasulullah pun diterima.48
Hal itu terjadi pada tahun yang sama -sepuluh kenabian-, namun baru
berkumpul pada saat di Madinah -tiga tahun kemudian-. Kebanyakan hadits
menyebutkan bahwa pertemuan Aisyah dengan Rasulullah di Madinah saat
usia Aisyah 9 th, walaupun ada yang mengatakan berusia 11 th, Zainal
Arifin Abbas -penulis “Peri hidup Muhammad Rasulullah Saw”- menyebut
usia Aisyah waktu itu antara 12-14 th. Perhitungan usia yang ditulis
oleh H. Zainal Arifin Abbas, berdasarkan analisa atas hadits tentang
penawaran Khaulah binti Hakim, bahwa penawaran itu terjadl pada th. 10
kenabian, dan Abu Bakar tidak bisa langsung menerima pinangan karena
telah menunangkan putrinya dengan putra Muthim bin Ady. Logikanya saat
itu usia Aisyah adalah minimal 10
th, karena tidak mungkin Abu Bakar menunangkan putrinya dengan Djubeir
bin Muth’im yang berada di front terdepan dari para penentang Rasul
sementara beliau menjadi tangan kanan Rasulullah, maka kemungkinan
pertunangan tersebut terjadi sebelum Islam (sebelum kenabian), sebab
adat seperti itu sudah ada. Hal ini dikuatkan dengan pandangan Arab
saat itu yang memandang usia gadis yang pantas untuk menikah adalah
antara 11-12 th.49 Menurut
perhitungan ini, maka saat pertemuan di Madinah, usia Aisyah antara
14-15 th. Tentang umur Aisyah banyak penulis yang berbeda pendapat,
dari usia 9 hingga 15 th.
Sensitifitas
modern kadang merasa risih dengan hal ini, tapi hal ini terjadi pada
satu komunitas yang memandang usia 9-15 th, adalah usia terendah bagi
seorang anak perempuan untuk dikawini, itupun 14 abad yang lalu. Hingga
akhir-akhir inipun beberapa komunitas masih memberlakukan adat
pernikahan dini. Namun demikian pernikahan anak usia dini adalah lebih
baik ketimbang merebaknya pergaulan bebas yang membuat anak usia
tersebut sudah tidak ada yang perawan, walaupun secara resmi mereka
menikah pada usia 28 ke atas. Toh kenyataannya usia 28 sebagai patokan
perkawinan di beberapa negara maju hanya berdasarkan faktor psikologis
dan masalah karir serta emansipasi, namun diluar formalitas itu
kebejatan seksual merebak dimana-mana pada tingkat yang paling fulgar.
Perbandingannya jika ada komunitas (manapun) yang mengawinkan putrinya
pada usia dini di Amerika anak usia yang sama sudah tidak perawan lagi.
Perbedaan dalam agama, yang satu formal, yang satu lagi zina.
Perzinaan sejak dini akan dibawa hingga masa perkawinan, maka akibatnya
penyelewengan suami atau istri adalah hal biasa, dan ajaran Yesus yang
tidak mengizinkan perceraian menjadi lelucon belaka.
Kembali
kepada sejarah Rasul, pada tahun ketiga Hijriah, Putri Umar bin
Khattab, Hafshah binti Umar ditinggal mati suaminya Khunais bin
Khudzafah setelah perang Badar. Seperti layaknya seorang ayah Umar
berusaha mencarikan suami bagi putrinya
yang masih berumur 18 th. agar terbebas dari kemurungan yang
dideritanya. Upaya selama 6 bulan atau lebih belum menghasilkan
apa-apa, hingga pada masanya, ia menawarkan anaknya kepada sahabat Abu
Bakar, namun Abu Bakar hanya menjawab dengan diam. Umar lantas menemui
`Utsman, namun sahabat ini hanya menjawab: “belum berhasrat menikah saat
itu”. Kejengkelan Umar terhadap dua orang sahabat terdekatnya
disampaikan kepada Rasulullah, dan beliau menjawab: “Hafshah akan
menikah dengan yang lebih baik dari Utsman, dan Utsman akan menikah
dengan yang lebih baik dari Hafshah”. Umar tidak pernah menyangka bahwa
Rasulullah akan menikahi putrinya, hingga ia bersorak kegirangan
mengumumkan kepada para sahabatnya, yang kemudian disambut oleh Abu
Bakar juga Utsman. Dan seperti dikatakan oleh Nabi, maka Utsman
akhirnya menikah dengan putri beliau; Umi Kultsum.50
Jika
kita kembali lagi, pada tahun 1 H. Rasulullah menikahi Aisyah, pada
tahun 2 H. Rasulullah menikahkan putrinya Fathimah dengan sahabat Ali
bin Abi Thalib, dan pada tahun 3 H. Rasul menikahi Hafshah binti Umar
dan menikahkan putrinya Umi Kultsum dengan `Utsman bin Affan. Tidak
cukup sampai disini, anak angkatnya Zaid bin Haritsah dinikahkan dengan
sepupunya sendiri yaitu Zainab binti Jahsy, serta perkawinan antara
warga imigran (muhajirin) dan penduduk Madinah (Anshor). Dari sini kita
dapat melihat bahwa perkawinan-perkawinan tersebut nampaknya dilatar
belakangi upaya memperkuat barisan dikalangan para sahabat, apalagi
bahwa tahun-tahun tersebut adalah awal pembinaan sebuah komunitas baru
berdasar Tauhid, maka sangat wajar jika perkawinan menjadi salah satu
jalan demi terwujudnya harapan tersebut.
Perkawinan
kelima juga dengan seorang janda yaitu Zainab binti Khuzaimah
al-Hilaliyah. Sebelumnya telah menikah dengan At-Thufail bin al-Harits
bin Abdil Muththolib yang kemudian menceraikannya, lantas dinikahi oleh
saudaranya `Ubaidah bin al-Harits yang kemudian meninggal pada perang
Badar. Sepeninggalnya Rasulullah menikahi Zainab pada tahun 4 H. Ia
dikenal dengan sebutan Ummul Masakin (Ibu orangorang miskin), karena
kedekatan dan kasih sayangnya terhadap orang-orang miskin.
Pernikahannya tidak berlangsung lama sebab dua atau tiga bulan setelah
perkawinannya ia meninggal.51
Pada
tahun yang sama, Rasulullah mengawini seorang janda lain yaitu Ummi
Salmah yang nama aslinya Hindun binti Umayyah bin al-Mughirah,
sebelumnya dipinang oleh Abu Bakar dan Umar, namun ia tidak berkenan.
Bahkan ketika Rasulullah meminangnya, ia menjawab bahwa ia minder
karena sudah berumur dan memiliki banyak anak. Hal ini dapat dimaklumi
sebab dikalangan istri-istri Rasulullah terdapat Aishah yang masih muda
dan cantik. Mendengar jawaban ini Rasulullah menjawab: `Jika engkau
berumur, maka aku lebih tua darimu, soal minder biarlah Allah yang
menghilangkannya dari dirimu, adapun masalah tanggungan keluarga
(anak-anak) serahkan kepada Allah dan Rasulnya”.52
Dalam
pembentukan komunitas baru yang menjadikan keluarga dan perkawinan
sebagai salah satu instrumennya, maka perhatian terhadap janda dan
anak-anak yang ditinggal ayah mereka yang syahid akibat peperangan
adalah suatu yang sudah semestinya, apalagi kesempatan mendapatkan
kebutuhan seharihari ditanah yang gersang tidaklah semudah yang
dibayangkan, tidak heran jika ada yang menjual manusia dipasar budak
demi mencukupi kehidupan sehari-hari. Langkah Rasulullah yang juga
diikuti para sahabatnya untuk memperhatikan para janda dan
anak-anaknya, tampak dalam beberapa perkawinan yang kita sebutkan di
atas, begitu juga dengan apa yang akan kami bahas berikut ini.
Pada
th. 5 H. (th. 18 masa kenabian) Rasulullah menikahi, Zainab binti
Jakhsy, setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah. Seperti yang telah
kita bahas pada kajian tentang perbudakan, bahwa Zaid yang diangkat
anak oleh Rasulullah pada masa sebelum kenabian, dinikahkan dengan
kerabat Rasulullah Zainab yang tentu saja memiliki nasab tinggi
dikalangan Quraisy-dari pihak ibu Zainab adalah sepupuh nabi atau cucu Abdul Mutholib-. Pada masa itu masalah nasab (keturunan)
sangatlah diperhatikan oleh masyarakat Arab. Pencapaian ketinggian
derajat nasab seringkali diupayakan melalui perkawinan, maka tidak
heran jika satu orang bisa memiliki istri banyak, bukan sekedar karena
mereka suka, tapi para istri memiliki kepentingan sendiri dengan
pernikahan tersebut, termasuk untuk masalah nasab, apalagi bahwa
penghormatan kepada wanita pada masa itu amatlah rendah. Fenomena
tersebut tldaklah aneh saat itu, karena bangsa lain juga memiliki adat
yang tidak jauh berbeda. Bahkan hingga saat ini masalah keturunan sangat
diperhatikan, terlepas dari pandangan yang melatar-belakangnya: apakah
karena status sosial, kekayaan, atau kebangsawanan; dikalangan muslim
sebagian memandang nasab berdasarkan kesalehan beragama. Kembali pada
masalah perkawinan Zainab, Rasulullah yang ingin merombak adat
tersebut, demi tujuan pokok menyamakan umat manusia dihadapan Allah
(tauhid), mencoba mempertemukan antara bangsawan dan budak (walaupun
sudah diangkat anak), rupanya hal itu belum mampu meruntuhkan rasa
kebangsawanan Zainab hingga perkawinan tersebut gagal. Namun demikian
tanggungjawab Rasulullah menghendaki beliau untuk menikahinya. Lain
dari pada itu bahwa pernikahan tersebut atas perintah langsung dari
Allah, sebab sebelumnya setiap kali Zaid mengadu kepada Rasulullah atas
sikap Zainab, Rasulullah menasehatinya agar mempertahankan
perkawinannya serta takut kepada Allah.53 Dengan
begitu, tidak hanya masalah tanggung jawab Rasulullah mengembalikan
Zainab yang merasa martabatnya telah terendahkan, namun menjadi panutan
hukum bahwa anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung, maka istri
yang telah diceraikannya boleh dinikahi bapak angkatnya. Namun
sebaliknya wanita yang diceraikan oleh seseorang tidak boleh dikawini
anaknya. Tentang hukum perkawinan bukan tempatnya untuk kita bahas di
sini.
Menurut
Ibnu Ishaq, seorang dari sejarawan awal Muslim, Pada tahun ke 6 H.
terjadi peperangan antara kaum Muslim dengan kaun Yahudi Bani
Mushthaliq. Akibat peperangan ini, sebagaimana hukum peperangan yang
berlaku saat itu, mereka yang kalah menjadi tawanan dan budak bagi
pemenang. Diantara mereka yang tertawan adalah Juwairiyah binti
al-Harits, seorang putri dari al-Harits bin Abi Dlorror pemimpin Bani
Mushtholiq. Sebagai putri seorang terpandang Juwairiyah tidak rela
dirinya dijadikan budak, maka ia berniat menebus kepada Tsabit bin Qois
yang kebetulan saat pembagian harta rampasan mendapat dirinya. Karena
tidak memiliki harta lagi, maka ia pergi menghadap Rasulullah agar
dibantu melunasi tebusan tersebut.54
Rasulullah yang telah mengajarkan kepada para sahabatnya agar mendidik
budak dan kalau bisa memerdekakan dan menikahinya (lihat bahasan
tentang perbudakan), memberikan contoh dengan memerdekakan Juwairiyah
dan menawarkan pinangannya, ternyata Juwairiyah mengiyakan. Dengan
persetujuan Juwairiyah ini maka Rasulullah menikahinya, dan dengan
pernikahan tersebut para sahabat mengembalikan harta rampasan perang,
sekaligus memerdekakan ± 100 keluarga. Ibnu Ishaq mengomentari: “Saya tidak pernah melihat keberkahan seseorang atas kaumnya melebihi Juwairiyah”.55
Pada
tahun ketujuh H, terjadi perang Khaibar. Pada saat penyerbuan ke
benteng al-Qomush milik bani Nadlir, pemimpin benteng ini yaitu Kinanah
bin Rabi’ suami Shofiyah binti Hay terbunuh. Dan istrinya juga
istri-istri bani Nadlir yang lain menjadi tawanan. Dan seperti yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap bani Mushtholiq, maka
Rasulullah menikahi Shofiyah. Menurut keterangan Shofiyah sendiri, yang
diceritakan oleh Ibnu Ishaq bahwa sebelum kejadian ini ia telah
bermimpi melihat bulan jatuh di kamarnya. Ketika mimpi tersebut
diceritakan kepada suaminya, ia malah mendapat tamparan dan dampratan,
“Itu berarti engkau menginginkan raja Hijaz Muhammad”, kata suaminya.56
Tentang apakah harta dikembalikan dan tawanan dibebaskan dengan
perkawinan ini, tidak kami dapatkan keterangan yang jelas, namun
diceritakan bahwa mahar perkawinan tersebut adalah pembebasan Shofiyyah. 57 Walaupun masih muda, usia 17 th, tapi sebelumnya Shofiyah telah menikah dua kali, dengan Salam bin Misykarn kemudian dengan Kinanah bin Rabi’. 58
Dari
dua perkawinan di atas, dapat kita lihat bahwa upaya pembebasan
perbudakan -akibat peperangan- lebih menonjol ketimbang masalah
lainnya. Disisi lain dua pernikahan ini semakin mengokohkan kedudukan
Muslim dalam rangka pembentukan komunitas bersama yang tidak saling
bermusuhan. Selanjutnya, bahwa melihat usia Shofiyah yang masih 17 th.
dan sudah menikah dua kali, setidaknya menunjukkan bahwa selain
masyarakat Arab, komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar juga memiliki
adat mengawinkan seorang wanita sejak masih dini.
Pada
saat kedudukan kaum Muslimin di Madinah mulai menguat di jazirah Arab,
Rasulullah mengirimkan utusan ke Habasyah (Etiopia) memanggil para
emigran Muslim yang hijrah ke Habasyah pada masa awal kenabian (periode
Makkah). Diantara para emigran tersebut terdapat Ummu Habibah yang
menjadi janda karena tidak ingin berkumpul dengan suaminya yang murtad,
yaitu Abdullah bin Jahsy. Ummu Habibah yang tidak memiliki tempat
kembali, tidak mungkin ke keluarganya di Makkah
sebab ia hijrah ke Habasyah karena masuk Islam dan lari dari
keluarganya, sedang di Madinah ia tidak tahu harus ke mana. Beruntung
bahwa surat Rasulullah yang memanggil mereka melalui Raja Najasyi,
disertai pinangan terhadap Ummu Habibah. Pinangan tersebut bahkan
diwakili oleh Najasyi sediri dan memberikan mahar sebesar 400 dirham.
Adapun yang menikahkan adalah Kholid bin Sa’id bin ‘Ash. Rombongan yang dipimpin Oleh Ja’far bin Abi Thalib ini datang bersamaan dengan kepulangan Rasulullah dari perang Khaibar.59
Pada
tahun ketujuh Hijriah ini juga, utusan Rasulullah ke Iskandariah-Mesir
telah datang dengan membawa hadiah dua orang budak dari Mesir, yang
pertama bernama Maria binti Syam’un dan Sirin. Yang pertama dinikahi
oleh Rasulullah dan yang kedua diberikan kepada Hassan bin Tsabit.60
Seperti yang telah kita bahas sebelum ini, bahwa Rasulullah yang
mengajarkan agar para budak dididik kemudian dibebaskan dan dinikahi,
dicontohkan sekali lagi oleh Rasulullah. Maria alQibthiah yang menjadi
budak di Iskandariah, kini menjadi istri seorang pemimpin besar di
tanah Hijaz. Ia bahkan telah memberikan keturunan yang diberi nama
Rasulullah seperti nama kakeknya “Ibrahim”, walaupun tidak berusia
panjang. Rasulullah menyatakan : “Ia telah dimerdekakan oleh anaknya”. 61
Para
istri nabi -termasuk yang sebelumnya menjadi budak-, mendapat
penghormatan yang tinggi dikalangan para sahabat dan umat Muslim, maka
tidak mengherankan jika banyak wanita yang ingin dinikahi oleh nabi.
Salah satu dari mereka adalah Maimunah yang dalam al-Qur’an disebut “Seorang wanita mu’min yang menyerahkan dirinya kepada nabi”.62 Penawaran
itu dilakukan oleh Maimunah melalui saudaranya Ummul Fadl, kemudian
Ummul Fadl menyerahkan masalah ini kepada suaminya yaitu Abbas bin
Abdil Muththolib (paman nabi). Maka `Abbas menikahkan Maimunah kepada
Rasulullah dan memberikan mahar kepada Maimunah atas nama Nabi sebesar
400 dirham. Pernikahan ini terjadi pada akhir tahun ke 7 H. tepatnya
pada bulan Dzul-Qo’dah.63
Selain Maimunah masih banyak wanita lain yang ingin dinikahi oleh
Nabi, tapi beliau menolak. Jika dilihat dari seluruh pernikahan nabi
seperti yang telah kita bahas, maka penolakan nabi tersebut agaknya
lebih dilandaskan pada sisi kemanfaatan dan kemaslahatan, baik bagi
umat maupun bagi wanita itu sendiri. Hal ini sekaligus menampik tuduhan
bahwa perkawinan Rasulullah dilandaskan pada kepentingan pemuasan
seksual.
Dalam tuduhannya Robert Morey menyatakan :
Para wanita pemuja Muhammad juga menawarkan diri mereka sebagai penghuni harem Muhammad.64
Ia kemudian menyitir sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagai berikut:
Seorang wanita menghadap pada nabi Allah sambil berkata, “Wahai Rasul Allah! Saya ingin menyerahkan diri saya untukmu” (Hadits III/505A).65
Hadits yang disitir oleh Robert Morey ini sebenarnya belum selesai, artinya dipotong. Padahal hadits ini selengkapnya berbunyi seperti berikut ini :
…dari
Sahal bin Sa’ad, ia rnengatakan : seorang wanita menghadap kepada
Rasulullah sambil berkata : “Wahai Rasulullah saya menyerahkan diri
saya kepadamu”. Kemudian seseorang berkata: “Nikahkan aku dengannya”.
Berkata (Rasulullah): “Kami telah meniikahkanmu dengan hafalan
al-Qur’an yang engkau miliki “. (HR. Bukhari).66
Hadits
ini ditulis Imam Bukhari untuk masalah hukum perwakilan dalam masalah
pernikahan. Hadits yang sama dari Sahal bin Sa’ad tentang kasus yang
sama ditulis Imam Bukhari sebanyak 12 kali dalam kitabnya. Kecuali
hadits di atas, haditshadits lain tersebut ditulis selengkapnya oleh
Imam Bukhari, maksudnya percakapan lebih lengkap dalam kejadian
tersebut, yang intinya bahwa Nabi tidak berkepentingan untuk menikahi
wanita tersebut, dan salah satu sahabat meminta Nabi untuk menikahkan
wanita tersebut dengan dirinya, karena si lelaki tersebut tidak
memiliki mahar berupa harta maka ia ditanya apa memiliki hafalan
surat-surat al-Qur’an, dan surat yang ia hafal itu ia dinikahkan oleh
nabi.
Semua
hadits yang menerangkan kejadian adanya seorang wanita yang menawarkan
dirinya kepada nabi, maksudnya menawarkan untuk dinikahi. Salah
seorang dari mereka yang diterima oleh Nabi adalah Maimunah, adik dari
istri paman nabi sendiri. Robert Morey
tampaknya sengaja memaknai hadits-hadits dengan kata-kata fulgar
layaknya sebuah harem yang digambarkannya seperti rumah pelacuran.
Kesengajaan ini tampak jelas ketika memotong hadits yang disitirnya.
Maha benar Allah yang mengabarkan kepada kita melalui al-Qur’an, bahwa
para ahli kitab seperti Robert Morey selalu menutupi kebenaran yang ia ketahui.
Tentang
jumlah istri, di mana sebagian menyebut 9, sebagian menyebut 11, tidak
bisa di artikan bahwa sisa hitungan dari sembilan adalah partner
seksual, seperti yang dituduhkan oleh Robert Morey67
Perhitungan sembilan karena tidak memasukkan Shofiyah dan Juwairiyah
-keduanya adalah rampasan perang sebelum dinikahi-, serta Maria yang
sebelumnya adalah budak. Sedang hitungan 11 tidak memasukkan Maria
al-Qibthiyah yang memang sebelumnya adalah budak dari Iskandaria,
itulah sebabnya banyak penulis klasik yang menyebutnya ummul walad (ibu
dari anak), walaupun Rasulullah sendiri menyatakan “ia dlmerdekakan
oleh anaknya” artinya Maria yang telah memberikan keturunan bagi
Rasulullah telah dimerdekakan oleh beliau. Jumlah seluruhnya yang
pernah ditulis dalam kitab-kitab sejarah menurut hitungan kami sebanyak
12 orang.
Pandangan
seseorang terhadap sesuatu seringkali dipengaruhi oleh latar belakang
budayanya. Pandangan negatif masyarakat barat terhadap Nabi, terlepas
dari apa yang dihembuskan oleh Gereja sejak berabat-abat lalu, juga
dipengaruhi oleh latar belakang budayanya. Dengan latar belakang
kehidupan yang sangat bebas dalam pergaulan antar jenis yang bahkan
kebablasan antar sejenis, akan mudah menuduh nabi-nabi mereka sendiri
melakukan incest dan melacur, dan tentunya akan lebih mudah berpandangan
miring terhadap seseorang yang beristri hingga sembilan lebih Namun
tidak demikian bagi masyarakat yang masih menjaga kesucian hubungan
antar lawan jenis. Apalagi jika ternyata kebanyakan dari para Istri
tersebut adalah janda dan cuma satu yang gadis. Akal sehat pasti
mengatakan ada sesuatu niat mulia dibalik perkawinan itu, tapi akal
bejat akan menyayangkan kenapa tidak memilih seluruhnya perawan. Maka
tidak heran jika hujatan terhadap nabi jarang keluar dari masyarakat
timur. Hal ini dapat dimaklumi sebab ditimur memang gudangnya etika dan
pemikiran religius yang dapat membentengi kerusakan moral. Maka jika
Gereja timur ikut-ikutan menghujat para nabi-nabi, pastilah akibat
pengaruh dari kiblat modern mereka.
NOTES
37. Zainal Arifin Abas, Peri Hidup Muhammad Rasulullah Saw., Firma Rahmat, Medan, th. 1952, II A hal. 482-492.
38. Ibid, 497
39.
Openhani, jilid II: 302, dalam Zainal Arifin Abas, Peri Hidup Muhammad
Rasulullah Saw , Firma Rahmat, Medan, th. 1952, II A hal. 520.
40. Ibid, 520. Lihat juga Abqariyyatu Muhammad -terjemah Indonesia “Kejeniusan Muhammad”…..
41.
Tarekh al Yahudi fi bilad al-Arab, hal. “j”, dalam Zainal Arifin
Abas, Peri Hidup Muhammad Rasulullah Saw., Firma Rahmat, Medan, th.
1952, II A hal. 501.
42. Lihat QS. Al-Qoshosh: 14-15; bandingkan (Taurat/Perj. lama) Keluaran 2: 11-12.
43. Majalah Modus, Edisi 2, hal. 26.
44. Ibnu Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Daar al-Manar, Kairo, 1999, Jilid I, hal. 378.
45. Imam Ahmad.
46. Imam Muslim, I/592.
47.
Tarikh Thobari, III/175, dalam Bint asy-Syathi’, Tarajum Sayyidat Bait
an-Nubuwwah, Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Cet. III, th. 1982,
hal.
48. Imam Ahmad, Ibid.
49.
Zainal Arifin Abbas, Peri Hidup Muhammad Rasulullah Saw, Penerbit Fa.
Rahmat, Medan, Cet. IV, th. 1966. Jilid II, hal. 99-103.
50. Bint asy-Syati’, 301-303. Al-Bukhari, VI/158-159. Masnad Imam Ahmad, masnad Abu Bakar. Sunan an-Nasa’i al-Kubra, kitab annikah, bab `ardlu ar-rajuli ibnatahu.
50. Bint asy-Syati’, 301-303. Al-Bukhari, VI/158-159. Masnad Imam Ahmad, masnad Abu Bakar. Sunan an-Nasa’i al-Kubra, kitab annikah, bab `ardlu ar-rajuli ibnatahu.
51. Sirah Ibnu Ishak, dalam Bint asy-Syathi’, hal. 309-310. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah IV/ 92.
52.
As-Samthu ats-tsmin 89, al-Mukhbir 85, al-Isti’ab, al-Ishobah, `Uyun
al-Atsar 2/304, dalam Aishah Bint asy-Syathi’, hal. 325.
53. QS. Al-Ahzab, 38-40.
54.
Ibnu Katsir, A1 Bidayah wa-an Nihayah, Daar al-Kutub alIlmiyah,
Beirut, Cet. I, th. 1985, vol. IV, hal. 161. Ibnu Hisyam, asSirah
an-Nabawiyah, vol. III, hal. 190. Bint asy-Syathi’, 357-358.
55. Ibid.
58. Bint asy-Syathi’ 364.
61. Sunan Ibnu Majah, Kitab al-`Itqi.
62. QS. AI-Ahzab: 50.
63. Ibnu Katsir, IV/233.
64. Robert Morey, op. cit., ha1213.
65. Ibid.
66. Al-Bukhari, III/87.
67. Robert Morey, op. cit., ha1212.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar