Cari Di Blog Ini

Sabtu, 18 Februari 2012

PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD SAW DAN SITI AISYAH V

HUJAH KE-20 - KEMAHIRAN DALAM SASTERA, ILMU SALASILAH DAN SEJARAH SEBELUM ISLAM
Waliuddin Al-Khateeb, penulis Mishkath menulis:
"Riwayat 'Aisyah ra adalah seorang wanita yang faqih, alim, fasih, dan fazilah. Beliau paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw Beliau ra sangat mahir dalam sejarah peperangan dan syair-syair Arab (sebelum kedatangan Islam )."(' Mishkat ', m / s 612)

Keponakannya Urwah ra menjelaskan bahwa beliau tidak pernah menemukan seseorang yang lebih mahir dari riwayat 'Aisyah ra di dalam bidang tafsir al-Qur'an, ilmu Fara'id, hukum halal-haram, hukum fiqah, syair, kedokteran, sejarah Arab dan ilmu salasilah. ('Al-Bidayah wan-Nihayah', Jilid VIII, m / s 92)

'Atha bin Abi Rabah mengatakan bahwa Ummul Mu'minin ra adalah seorang anggota fiqah yang paling hebat, seorang ulama' yang paling tinggi pengetahuannya dan seorang pemikir yang paling tinggi tingkat pemikirannya. ('Al-Bidayah wan-Nihayah', Jilid VIII, m / s 92)

Abu Musa Ashaari ra berkata "Ketika kami, para sahabat mengalami kesulitan dalam memahami hadits nabi, kami akan mendapatkan solusi yang mudah dari beliau" ('Tirmizi', 'Al-Bidayah wan-Nihayah)

Abul Zinad menceritakan bahwa ia belum pernah melihat seorang pria yang lebih mahir dalam syair dibandingkan Urwah. Ia telah bertanya kepada Urwah, "Bagaimana Anda bisa menjadi seorang yang sangat hebat dalam syair?" Urwah telah menjawab bahwa beliau mewarisinya dari ibu saudaranya Aishah ra; dan menambahkan, saat terjadi apapun peristiwa, beliau ('Aishah ra) akan melafazkan secara spontan serangkap syair yang menggambarkan kondisi itu.

Musa bin Thalhah menceritakan bahwa beliau tidak pernah menemukan seseorang yang lebih petah berbicara dari Aishah ra Urwah ra berkata bahwa ia pernah bertanya kepada Ummul Mu'minin ra, "Wahai ibu saudaraku! Saya tidak heran bagaimana Anda menjadi seorang yang faqih, karena Anda adalah istri Rasulullah saw dan anak perempuan ke Abu Bakar Saya juga tidak heran karena Anda dapat mengingat syair dan mahir tentang sejarah karena Anda adalah anak ke Abu Bakar, orang yang paling alim. Akan tetapi saya heran dengan pengetahuan Anda yang mendalam dalam medis, dari mana Anda mempelajarinya? "Ummul Mu'minin ra menepuk bahu Urwah dan berkata," Wahai Urwah! Rasulullah menderita sakit di hari-hari terakhir kehidupannya, dan banyak utusan yang datang melihatnya dari setiap ceruk, dan mereka mecadangkan obat untuknya saw, dan saya memberikan obat kepadanya menurut rekomendasi tersebut.

Untuk mencapai efisiensi di dalam kesusateraan Arab, syair, ilmu salasilah dan sejarah Arab, membutuhkan waktu yang lama dan seorang pelajar harus cukup berumur untuk memahami dan mahal ilmu tersebut. Dan kita tahu bahwa ilmu silsilah dan sejarah Arab adalah topik yang membosankan.

Berdasarkan riwayat Hisham, beliau ('Aishah) masih lagi seorang anak berumur delapan tahun, saat terjadi peristiwa Hijrah.Abu Bakar, meninggalkan keluarganya di Mekah dan berhijrah ke Madinah. Setelah beberapa bulan, beliau membawa keluarganya (melalui sahabatnya). Ia membawa keluarganya datang ke Madinah, dan riwayat 'Aishah mulai tinggal bersama suaminya Rasulullah setelah beberapa hari tiba di Madinah. Dalam periode yang begitu singkat dia tidak akan mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dan pengalaman dari ayahnya.

Di Madinah, aktivitas Rasulullah saw adalah amat berbeda dibandingkan saat berada di Mekah. Di sini beliau mengajarkan al-Qur'an, shalat dan puasa, dan menyebarkan Islam ke wilayah-wilayah.luar. Lingkungan ini tidak berhubungan langsung dengan ilmu salasilah, ilmu sejarah dan syair. Riwayat 'Aishah tidak mungkin dapat mencapai keterampilan dengan memahami dan menyesuaikan syair-syair melainkan beliau telah melalui masa yang agak panjang untuk mengamati dan mempelajari syair. Beliau telah menghafal rangkap-rangkap syair Arab yang terbaik yang akan diungkapkan sesuai dengan kondisi. Ia juga telah memahami dengan mendalam rangkap-rangkap prosa. Hadis yang disebutkan oleh Ummu Zar'i, yang diriwayatkan dalam 'Muslim', merupakan karya agung sastranya.
 
Dengan itu, bisa disimpulkan bahwa Ummul Mu'minin ra adalah merupakan seorang wanita yang dewasa sebelum pernikahannya. Beliau telah memperoleh keterampilan ini baik dengan belajar atau memerhati ayahnya. Disebabkan oleh daya ingat dan kemampuan yang luar biasa, beliau telah mencapai kecemerlangan di dalam ilmu salasilah Arab, juga keterampilan yang tinggi di dalam syair dan sejarah.

Riwayat 'Aisyah ra berkata: "Suatu hari, Rasulullah sedang memperbaiki sepatunya dan saya memperhatikannya. Dengan melemparkan pandangannya ke arah saya, beliau bertanya, "Kenapa? Kamu merenung saya dengan begitu tekun. "Saya menjawab," Saya melihat KOMPATIBILITAS rangkap syair oleh Abu Bakr al-Hazli pada diri kamu. Jika beliau masih hidup, beliau tidak akan menemukan orang lain yang lebih sesuai untuk rangkap syairnya. "Beliau bertanya kepada saya apakah rangkap tersebut. Kemudian Ummul Mu'minin ra berkata:

"Sesuatu yang tidak ada padanya kekejian, dan dari kekotoran pemerah susu dan dari setiap penyakit yang menular, (dan) saat kamu melihat ke garis-garis di wajahnya, (kamu akan melihat) ia bercahaya, sebagaimana pipi yang terang bercahaya."

Mendengarkan rangkap ini, Rasulullah saw sangat gembira, sambil menggeleng-geleng kepalanya, beliau bersabda, "Ia amat menyenangkan saya, syair ini tepat pada tempatnya"

Ini berarti bahwa Ummul Mu'minin ra bukanlah sekadar seorang wanita alim yang kaku bahkan Rasulullah saw sendiri juga bukanlah seorang yang hambar dan membosanknan.

Sewaktu adiknya Abdurrahman meninggal, beliau ('Aishah ra) dengan spontan mengungkapkan bait-bait ini:
"Kita berdua adalah diibaratkan seperti dua orang pengiring raja Jazimah. Untuk suatu periode yang lama, sangat lama mereka bersahabat hinggakan orang berkata bahwa tidak mungkin mereka akan berpisah. Namun saat kami berpisah, meskipun saya dan Tuan telah bersama dalam waktu yang lama, tetapi rasanya kami tidak pernah tinggal bersama meskipun satu malam. "

Ungkapan-ungkapan Ummul Mu'minin ra tentang syair, sejarah dan silsilah yang ditemukan di dalam kitab-kitab hadits, sejarah dan kesusateraan bisa dirumuskan bahwa beliau adalah seorang ahli hadits, ahli fiqih, ahli tafsir al-Quran, ahli sejarah dan pakar salasilah yang terhebat di zamannya.

Dengan tujuan untuk menenggelamkan ketokohan Aishah ra dalam bidang keilmuan dan kesusasteraan, orang-orang Syiah menciptakan cerita kononnya Ummul Mu'minin suka bermain dengan boneka dan boneka ini menjadi bagian penting dari hidupnya. Bahkan ketika Rasulullah saw kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat boneka yang dihiasi di suatu sudut rumahnya, meskipun setelah sembilan tahun menjadi isteri Rasulullah!! Dengan kata lain, beliau ('Aishah) tidak melakukan pekerjaan, melainkan berkelanjutan memainkan dengan bonekanya, meskipun setelah menjadi salah seorang dari anggota keluarga Nabi saw

Sedangkan, fakta sebenarnya adalah setelah menjadi istri Nabi saw, Ummul Mu'minin ra telah mencapai tingkat puncak di bidang keilmuan di mana beliau mampu meletakkan prinsip-prinsip dasar hukum fiqah dan hadis yang diakui dan berlaku oleh sahabat-sahabat ra

Contohnya, Ummul Mu’minin memperkenalkan satu prinsip iaitu suatu yang bercanggah dengan al-Quran tidak sekali-kali akan diterima, sama ada ia ditakwil atau sememangnya yang ditolak.
 
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas perhatikan riwayat tentang orang kafir yang telah terbunuh di dalam Perang Badar. Rasulullah s.a.w. mencampakkan mayat mereka ke dalam satu lubang dan sambil berdiri di tepi lubang tersebut baginda mengucapkan, “Adakah kamu dapati apa yang dijanjikan oleh tuhanmu benar.” Lalu para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Adakah kamu bercakap dengan orang yang telah mati? Baginda kemudiannya menjawab: “Kamu tidak akan mendengar lebih daripada mereka, cuma mereka tidak dapat menjawab.” Mendengarkan ini Ummul Mu’minin r.a. berkata, “ Rasulullah tidak pernah mengucapkan perkara tersebut, sebaliknya baginda telah mengucapkan: “Kini mereka tahu sesungguhnya apa yang aku cakapkan adalah benar ”. Baginda s.a.w. tidak mungkin melafazkan kata-kata sebagaimana riwayat di atas, kerana Allah Yang Maha Esa telah berkata: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat membuatkan orang yang telah mati mendengar.” (Bukhari Jilid I, m/s 183)

Suatu contoh lagi ialah apabila hampir meninggal dunia Saidina Umar r.a. telah mengucapkan hadis Nabi ini: “Sesungguhnya, mayat akan diazab dengan ratapan daripada ahli keluarganya.” Mendengarkan ini, Saidatina ‘Aishah r.a. berkata: “Semoga Allah yang Maha Kuasa mencucuri rahmat kepada Umar r.a. Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengucapkan hadis ini, yakni bahawa Allah S.W.T. memberi azab terhadap orang Mu’min disebabkan oleh ratapan daripada ahli keluarganya, sebaliknya Rasulullah s.a.w. telah mengucapkan bahawa Allah S.W.T. akan melipatgandakan azab terhadap orang kafir lantaran ratapan oleh ahli keluarganya. Dan al-Qur’an itu adalah mencukupi bagi kamu, dan seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain.”
 
Di dalam riwayat yang lain beliau (‘Aishah) menjelaskan, “Apa yang sebenarnya berlaku ialah seorang perempuan Yahudi telah meninggal dunia, dan ahli keluarganya telah meratapi kematiannya. Dengan menujukan kepada mereka, Rasulullah s.a.w. telah mengucapkan: “Mereka ini sedang meratapi kematian beliau, sedangkan beliau diazab di dalam kuburnya.” (Bukhari, Jilid I, m/s 172,/ ‘Muslim’, Jilid I, m/s 303)
Teguran yang diberikan oleh Ummul Mu’minin r.a. dalam dua peristiwa ini, mengasaskan prinsip-prinsip fiqah dan hadis sebagaimana berikut :
  1. Bila makna sesuatu hadis bercanggah dengan al-Quran, walau betapa tinggi kedudukan sanadnya, ianya adalah tertolak. Prinsip ini digunakan oleh fiqah mazhab Hanafi. 
  2. Walau setinggi manapun kedudukan seseorang perawi, sesuatu hadis tetap tidak akan diterima sekiranya dia meriwayatkan sesuatu yang bercanggah dengan al-Quran. Tiada siapa akan mencapai kedudukan seumpama Saidina Umar r.a. dan Saidina Abdullah bin Umar r.a. Apabila Ummul Mu’minin r.a. mengutamakan ‘prinsip’ bila berdepan dengan ‘peribadi’ perawi, suatu prinsip lain diperkenalkan iaitu, ‘ bila sahaja seorang perawi dibandingkan dengan satu prinsip maka perawi itu akan ditolak dan prinsip itulah yang akan diterima pakai.  
  3. Apabila seseorang mengatakan sesuatu yang bercanggah dengan al-Quran atau prinsip ini, beliau dianggap telah tersalah faham atau tidak dapat mengingati peristiwa tersebut dengan tepat ataupun mungkin beliau tidak dapat memahami kedudukan sebenar peristiwa itu. 
  4. Sesungguhnya al-Quran itu adalah mencukupi untuk perkara berkenaan Kaedah dan Rukun keimanan. Oleh itu kita tidak perlu menyokong riwayat tersebut. 
  5. Sayugia diingat, siapakah Saidina Umar r.a. ini. Sedangkan peribadi agung seperti Saidina Umar r.a. tidak boleh diterima sekiranya riwayatnya bercanggah dengan al-Quran . Lalu , bagaimana mungkin kita bertaqlid buta kepada seseorang yang berjuta kali lebih rendah daripada Umar r.a.. Sekiranya telah jelas terdapat kecacatan dalam di dalam sesuatu riwayat maka riwayat tersebut hendaklah ditolak.
Apabila Saidina Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan hadis di atas, Ummul Mu’minin r.a. berkata: “Semoga Allah mengampuni segala dosa Abu Abdur-Rahman. Beliau tidak berdusta. Akan tetapi mungkin beliau terlupa atau tersilap.” (‘Muslim’, Jilid I, m/s 303)
 
Dari ungkapan ini, Ummul Mu’minin r.a. mengasaskan satu lagi prinsip, iaitu;
6- Walau bagaimana jujur dan terpercayanya seseorang perawi, meskipun dia adalah seorang daripada sahabat yang adil yang sememangnya tidak pernah berdusta, mereka mungkin melakukan kesilapan iaitu samada ia terlupa atau kurang memahami maksud sebenar. Tiada seorang pun yang terkecuali daripada kesilapan seperti itu.

Oleh itu tidak semestinya setiap riwayat perawi yang thiqah adalah tepat . Boleh jadi beliau tersilap dalam merawikan atau dia tidak mendengar percakapan dengan lengkap.

Apabila kemungkinan seperti itu berlaku di kalangan sahabat r.a., untuk menganggap bahawa Hisham terselamat dan bebas daripada kekurangan atau kecacatan , adalah sama seperti mencela kesucian dan kebenaran Nabi s.a.w. dan juga suatu serangan terhadap kehormatan sahabat r.a. Ulama hadis menamakan riwayat sedemikian sebagai riwayat ‘mungkar’ ( yang disangkal) . Oleh kerana itu, masyhur di kalangan mereka istilah seperti mungkarat Sufyan Uyainah, Hammad ibn Salamah dan Sharik bin Abdullah Al-Madani.

Berdasarkan alasan ini ulama hadis dan juga ahli feqah bersepakat bahawa setiap manusia, secara semulajadi, mempunyai mempunyai sifat pelupa dan melakukan kesilapan. Ada kemungkinan seorang sahabat r.a. melakukan kesilapan dalam memindahkan lafaz , ataupun telah tersilap dalam memahami maksudnya yang sebenar, atau mungkin juga beliau tidak menyaksikan keseluruhan peristiwa yang berlaku dan membuat kesimpulan yang salah. Ataupun mungkin telah mendengar sebahagian daripada percakapan dan mengeluarkan pendapat berdasarkan pertimbangannya sendiri. Mungkin juga beliau telah terkeliru bila menyaksikan hanya sebahagian daripada sesuatu peristiwa. Apabila kita menimbangkan kemungkinan kecacatan ini dalam riwayat sahabat kita sepatutnya perlu lebih berhati-hati sebelum menerima riwayat dari perawi bukan sahabat. Dan sekiranya sebarang kelemahan ditemui di dalam mana-mana riwayat, maka kita perlu lebih berhati-hati sebelum menerima riwayat tersebut. Dengan itu setinggi manapun sanad sesuatu hadis ianya tetap dikatakan ‘zanni’ (sangkaan kuat) dan setiap peringkat tidak terlepas dari ‘zann’. Bezanya di dalam hadis mutawatir tahap ‘zann’ (keraguan) adalah paling sedikit berbanding hadis ahad. Di dalam riwayat Hisham ini kita dapati ada ‘keraguan” di setiap peringkat perawi.

Jikalau bilangan perawi lebih sedikit di dalam sesuatu sanad maka semakin berkuranglah ‘zann’ ( keraguan) nya. Itulah sebabnya mengapa ulama hadis akan mengelaskan sesebuah hadis yang mempunyai bilangan dan peringkat perawi yang sedikit , sebagai ‘Alee’ (yang lebih tinggi)’, sementara sebuah hadis yang mempunyai bilangan dan peringkat perawi yang banyak, sebagai ‘Safil’ (tahap yang lebih rendah).

Sebagai contohnya, Imam Bukhari menukilkan sebuah riwayat melalui sanad ini:
“Al-Humaidi menceritakan bahawa Sufyan berkata kepadanya, daripada al-Zuhri, daripada Urwah, daripada ‘Aishah…” Di dalam ‘sanad’ ini, terdapat lima orang perawi yang menghubungkan antara Rasulullah s.a.w. dan Bukhari. Berlainan dengan riwayat yang kedua yang telah disampaikan melalui cara ini:
“Abu ‘Asim menceritakan bahawa Ad-Duhak berkata kepadanya, daripada Salamah bin Al-Akwa’…” Di dalam sanad ini hanya terdapat tiga orang perawi. Tahap keraguan di dalam riwayat ini adalah kurang berbanding dengan riwayat pertama. Riwayat kedua dikatakan ‘alee’ manakala riwayat kedua dikatakan ‘safil’. Riwayat yang kedua adalah salah satu dari ‘thulathiyyat’ Imam Bukhari( iaitu yang mempunyai sanad yang paling sedikit, iaitu tiga orang perawi) dalam saheh Bukhari. Di dalam Bukhari hanya terdapat 23 thulathiyyat; riwayat yang lain adalah lebih rendah tarafnya daripada 23 riwayat ini. Dengan menggunakan asas yang sama, bahawa riwayat-riwayat Bukhari yang mempunyai empat peringkat perawi di dalam sanadnya , akan menjadi ‘alee’ jika dibandingkan dengan riwayat yang mempunyai lima peringkat perawi di dalam sanadnya.

Bila Imam Abu Hanifah r.a. dan Imam Malik r.a. menukilkan mana-mana riwayat, kadangkala terdapat dua atau tiga orang perawi di dalam sanadnya. Terutama dalam riwayat Imam Abu Hanifah di mana ada riwayat yang hanya mempunyai seorang perawi iaitu sahabat r.a.. Kesemua riwayat oleh mereka ini akan menjadi ‘alee’ daripada Bukhari. Malahan, Riwayat Bukhari yang paling ‘alee’ ( tinggi ) pun adalah ‘safil’ ( rendah) berbanding riwayat Abu Hanifah dan Imam Malik.

Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a. telah meletakkan satu kaedah asas fiqah dan hadis yang penting. Peribadi agung Ummul Mu’minin r.a. telah membezakan dengan jelasnya di antara al-Quran dan as-Sunnah, dan beliau telah menjelaskan bahawa ‘zann’ iaitu sesuatu yang mempunyai keraguan tidak boleh mengatasi yang ‘mutlak’ . Di dalam Islam, hanya ‘Kalam Allah’ iaitu al-Qur’an, yang dijamin ‘tepat dan sempurna ’ sementara hadith Nabi s.a.w adalah ‘zann’ ( yang mempunyai keraguan) kerana ianya diriwayatkan oleh manusia dan ‘kekurangan’ adalah sifat semulajadinya. Tidak pernah wujud manusia yang tidak mempunyai kelemahan ini.

Hadis oleh Fatimah binti Qais adalah satu contoh lain, di mana beliau menyatakan bahawa seorang wanita yang diceraikan tidak akan sekali-kali akan mendapat rumah untuk tinggal, mahupun sebarang nafkah. Amirul Mu’minin Saidina Umar r.a. telah menolak ‘hadis’ ini sambil memberi peringatan bahawa kita tidak boleh mengingkari Kitab Allah hanya dengan berdasarkan kata-kata seseorang. Kami telah menghuraikan peristiwa ini di dalam buku kami yang terdahulu yang bertajuk ‘Usul-e-Fiqah’ dan di dalam sebuah buku baru yang berjudul ‘Isal-e-Sawab Qur’an ki Nazer mein’. Di sini kami hanya ingin menukilkan kata-kata yang diucapkan oleh Ummul Mu’minin r.a. berkenaan ‘hadis’ Fatimah binti Qais tersebut:

“ Tidak ada kebaikan bagi Fatimah menyebutkan hadis ini (‘Saheh Bukhari’, Jillid I, m/s 485 / Jilid II, m/s 803).
 
Satu lagi riwayat pula dinyatakan begini:
“Adapun beliau tidak mendapat apa-apa kebaikan dengan menyebutkannya.” (‘Saheh Bukhari’, Jilid II, m/s 802 / ‘Muslim’, Jilid I, m/s 485)

Qasim bin Muhammad berkata Ummul Mu’minin berkata kepada Fatimah binti Qais , “Tidakkkah kamu takut kepada Allah?” (Saheh Bukhari, Jilid I, m/s 803).

Jika kami ingin mengumpulkan riwayat-riwayat yang disanggah oleh Umul Mu’minin tentunya kami akan dapat menghasilkan sebuah buku. Tunggulah buku kami “Sirah Aisha” yang akan membincangkan perkara ini dengan terperinci.
(Nota: Allama Habibur Rahman Siddiqui Kandhalwi tidak dapat menyempurnakan bukunya, ‘Sirah ‘Aishah’ disebabkan oleh sakitnya yang panjang dan berterusan )

Kami memang mengakui bahawa Hisham adalah seorang perawi ‘thiqah”. Beliau adalah salah seorang perawi dalam “Saheh Bukhari”. Beliau adalah seorang yang boleh dipercayai, seolah-olah turun daripada langit di dalam bentuk yang suci. Namun kami katakan bahawa Hisham yang kami hormati ini telah terlupa angka “sepuluh” ketika daya ingatannya lemah . Dan, hakikatnya apa yang dinyatakan oleh Hisham adalah tidak benar. Ianya tidak benar kerana adalah tidak masuk akal Ummul Mu’minin menguasai bidang kesusateraan, ilmu salasilah, sejarah dan pidato semasa berumur sembilan tahun. Dan, jika ianya mungkin, bantulah kami sekurang-kurangnya menguasai Bahasa Inggeris supaya kami dapat membidas kembali tulisan-tulisan beracun seumpama ini di dalam bahasa ini.

Kami telah membaca buku ‘Sirah ‘Aishah’ karya Syed Sulaiman Nadwi. Beliau telah menulis secara ringkas tentang perkahwinan Aishah pada mukasurat 225 di dalam buku tersebut. Di situ, beliau juga telah menyatakan usia Aishah r.a.. adalah sembilan tahun semasa berkahwin dengan Rasulullah s.a.w.. Sudah tentu kami amat kesal dengan kenyataan ini dan kami mengambil masa lima puluh tahun untuk membetulkan fakta ini.

HUJAH KE-21 – KEINGINAN MENDAPATKAN ANAK DAN NALURI KEIBUAN TIDAK MUNGKIN TIMBUL DARI KANAK-KANAK BAWAH UMUR
Adalah suatu naluri semulajadi seorang wanita dewasa yang telah berkahwin berkeinginan untuk mendapatkan anak. Ia adalah suatu perasaan semulajadi yang mana tiada seorang pun menafikannya. Dan perasaan ini, yang disebut sebagai ‘naluri keibuan’, tidak mungkin timbul di dalam jiwa seorang kanak-kanak perempuan kecil , sebagaimana seorang kanak-kanak lelaki di bawah umur tidak mempunyai keinginan untuk menjadi seorang bapa.

Adalah suatu kebiasaan di Tanah Arab, bahawa bila sahaja seseorang menjadi bapa, beliau akan mengambil ‘kunniyah’(nama timangan) sempena nama anaknya yang dikasihi. ‘Kunniyah’ ini seringkali diambil daripada nama anak lelaki sulung, sebagaimana Abu Talib, namanya yang sebenar ialah Abd Manaf dan Talib adalah anak lelakinya. Abul Qasim adalah kunniyah Rasulullah s.a.w. sempena nama anak lelaki sulungnya yang bernama Qasim. Abul Hassan adalah kunniyah Saidina Ali r.a., yang diambil daripada nama anak lelaki sulungnya, Hassan r.a.

Dengan cara yang sama, apabila seseorang wanita telah mendapat anak setelah perkahwinan, beliau akan menggunakan kunniyah berdasarkan nama anaknya dan akan dikenali dengan nama timangan ini. Dengan berpandukan kepada kunniyah , orang akan mengetahui bahawa beliau adalah seorang ibu kepada anaknya. Contohnya seperti Ummu Habibah r.a., Ummu Salamah’ r.a., dan Ummu Sulaim r.a.

Kunniyah ini akan mengukuhkan lagi kedudukan seseorang di dalam masyarakatnya. Apabila beliau dipanggil dengan menggunakan kunniyah , akan timbul suatu perasaan bahawa beliau adalah seorang ayah kepada anaknya, dan dengan menjadi seorang ayah, tanggungjawab kebapaan dipikul olehnya. Dengan cara yang sama, apabila disebutkan seseorang wanita disebut ‘ibu kepada….’, maka wanita ini akan dapat merasai dirinya adalah seorang ibu, dan ini akan memuaskan naluri keibuannya.

Bahkan, setiap perempuan yang telah berkahwin akan mengimpikan untuk mendapat anak setelah beberapa ketika berkahwin. Malah, wanita yang tiada anak seringkali mengambil anak angkat daripada keluarga lain untuk mememuaskan naluri keibuannya bila anak angkat memanggilnya dengan panggilan ‘ibu’. Dan, keinginan seperti ini tidak mungkin timbul di hati seorang kanak-kanak perempuan yang masih mentah.

Aishah r.a. tidak mempunyai anak kandung, namun pada suatu hari di bawah tekanan naluri semulajadinya, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Kesemua isterimu yang lain telah mengambil kunniyah daripada nama anak lelaki mereka. Bagaimana saya boleh gunakan satu kunniyah?” Lalu Baginda s.a.w. menjawab, “Ambillah kunniyah daripada nama Abdullah, anak lelakimu.” (Abu Daud & Ibn Majah)

Abdullah adalah merujuk kepada Abdullah bin Zubair (anak saudara lelakinya). Jadi kunniyah bagi Ummul Mu’minin r.a. adalah Ummu Abdullah (r.a.). (Sunan Abu Daud m/s 679 & Ibn Majah (terjemahan Jilid II, m/s 416 dan Tabaqat, Jilid VIII, merujuk kepada “Perbincangan mengenai ‘Aishah.”)

Syed Sulaiman Nadwi menulis: Abdullah bermaksud Abdullah bin Zubair iaitu anak saudara Aishah r.a. dan anak lelaki kakaknya Asma’ r.a.. Beliau adalah anak lelaki Islam yang pertama selepas Hijrah. Aishah r.a. mengambilnya sebagai anak angkatnya dan menyayangi beliau dengan sepenuh hati. Abdullah r.a. juga mengasihi Aishah r.a. melebihi ibu kandungnya sendiri. Selain Abdullah, Aishah r.a. telah membesarkan ramai lagi kanak-kanak lain (Muwatta’ Kitab-uz-Zakat).

Masruq bin Al-Ajda’ , Umarah binti ‘Aishah, ‘Aishah binti Talhah, ‘Amarah binti Abdur-Rahman (Ansariyah), Asma’ binti Abdur-Rahman bin Abu Bakar, Urwah bin Az-Zubair, Qasim bin Muhammad dan saudara lelakinya, dan Abdullah bin Yazid adalah mereka yang telah dibesarkan oleh Saidatina ‘Aishah r.a. Beliau (‘Aishah) juga telah membesarkan anak-anak perempuan Muhammad bin Abu Bakar dan mengaturkan perkahwinan mereka. (Sirah Aishah, m/s 182)

Saidatina ‘Aishah r.a. telah mengambil anak saudaranya menjadi anak angkatnya. Dengan sebab ini, Saidatina Asma’ r.a. tidak mengambil kunniyah berdasarkan nama anak lelakinya itu . Dan juga, oleh kerana Ummul Mu’minin r.a. telah biasa memanggil Abdullah sebagai anaknya semenjak awal, maka Rasulullah s.a.w. mencadangkan kepadanya untuk mengambil kunniyah berdasarkan nama anak saudaranya itu. Dengan cara ini, naluri keibuannya, yang menjadi impian setiap wanita muda, akan dapat dipenuhi. Hal ini sendiri adalah satu hujah bahawa beliau telah dewasa pada ketika itu, dan Abdullah, sekiranya menurut riwayat Hisham, hanyalah lapan tahun lebih muda daripadanya. Dalam keadaan ini, Abdullah lebih sesuai dipanggil sebagai ‘adik’, tetapi tidak mungkin dipanggil sebagai ‘anak’. Peristiwa ini membuktikan bahawa Aishah r.a. adalah seorang wanita yang matang semasa perkahwinannya. Dan, beliau , sebagaimana wanita lain mempunyai naluri semulajadi untuk mempunyai anak. Itu adalah sebabnya mengapa beliau menganggap anak saudaranya sebagai anaknya, dan selaku seorang wanita yang tiada anak, beliau membesarkan ramai kanak-kanak perempuan untuk memenuhi naluri perasaan kasih dan keibuannya.

HUJAH KE-22- AISHAH R.A. SEBAGAI IBU ANGKAT KEPADA BASHAR R.A. YANG BERUMUR TUJUH TAHUN SELEPAS PERANG UHUD
Terdapat satu riwayat daripada Bashar bin ‘Aqrabah bahawa ayahnya telah mati syahid di dalam Peperangan Uhud, dan beliau sedang menangis apabila secara tiba-tiba Rasulullah s.a.w. datang kepadanya dan berkata: “Adakah kamu tidak suka jika saya menjadi ayah kamu dan ‘Aishah sebagai ibumu?”

Adakah ungkapan “…..Aishah sebagai ibumu.” sesuai diucapkan untuk seorang kanak-kanak perempuan berumur sepuluh tahun?

Bukankah ianya sesuatu yang mustahil untuk perkataan-perkataan ini diungkapkan oleh Rasulullah s.a.w, melainkan Ummul Mu’minin ‘Aishah pada ketika itu bukan kanak-kanak di bawah umur.

Bashar adalah seorang kanak-kanak yang berusia 6 atau 7 tahun. Dalam erti kata lain, seorang kanak-kanak perempuan yang berusia sepuluh tahun menjadi ibu angkat kepada seorang kanak-kanak lelaki berusia tujuh tahun!! Ia akan menjadi gurauan yang tidak masuk akal!.

Pada pandangan kami, umur Ummul Mu’minin r.a., sekurang-kurangnya adalah dua puluh satu tahun semasa berlakunya Perang Uhud.

HUJAH KE-23- WUJUDKAH PERKAHWINAN GADIS BAWAH UMUR DI TANAH ARAB DAN DALAM MASYARAKAT BERTAMADUN?
Satu lagi persoalan timbul iaitu adakah perkahwinan gadis bawah umur menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat Arab, khususnya di zaman Rasulullah s.a.w.
Apabila kami meneliti sejarah Arab, kami tidak menemui sebarang contoh seumpama ini sebelum dan selepas kedatangan Islam. Bahkan, di zaman Rasulullah s.a.w., semua gadis berkahwin setelah mencapai usia dewasa. Malah, seorang ibu yang terhormat tidak sekali-kali akan bersetuju untuk mengahwinkan anak gadisnya yang baru baligh, kerana gadis itu masih lagi mentah untuk memahami tanggungjawab dalam perkahwinan. Contohnya, mungkin dia gagal menjalankan tanggungjawab bagaimana untuk membesarkan dan menjaga anaknya dengan baik. Dalam masyarakat yang bertamadun seoran gadis akan berkahwin bila cukup matang. Tahap kematangan biasanya dicapai bila seorang gadis berusia lapan belas tahun ke atas, sebagaimana kata-kata Imam Abu Hanifah bahawa umur baligh ialah lapan belas tahun. Dan, kami berpendapat gadis yang baligh ( secara fizikal) pada usia 13-14 tahun, tidak akan matang di segi pemikiran sehingga berumur 18 tahun . Dalam erti kata lain, sifat keanak-anakannya tidak akan hilang semasa tempoh remaja .

Ini adalah sebabnya mengapa Rasulullah s.a.w. mengaturkan perkahwinan anak-anak gadisnya hanya setelah mereka mencapai usia matang. Oleh sebab peristiwa sebelum hijrah tidak direkodkan dengan lenngkap di dalam sejarah, maka kami tidak dapat pastikan berkenaan usia anak perempuan baginda yang telah berkahwin di Mekah. Akan tetapi, baginda s.a.w. telah mengaturkan perkahwinan dua orang anak gadisnya selepas Hijrah , dan kedua-duanya telah berkahwin di usia yang cukup matang.

PERKAHWINAN SAIDATINA FATIMAH R.A.

Upacara perkahwinan Saidaitina Fatimah r.a., menurut sebilangan ahli sejarah, telah berlangsung pada bulan Syawal tahun kedua Hijrah; dan menurut beberapa penulis yang lainnya ia berlangsung di bulan Muharam tahun ketiga Hijrah. Berapakah usianya yang sebenar pada waktu itu? Ulama hadis dan juga ahli sejarah bersetuju bahawa Saidatina Fatimah r.a. telah dilahirkan pada masa orang-orang kafir membina semula bangunan Ka’abah. Pada waktu itu umur Rasulullah s.a.w. adalah 35 tahun, dalam erti kata lain, Fatimah dilahirkan lima tahun sebelum Kerasulan. Dengan ini, pada masa berlangsungnya Hijrah ke Madinah, usia Saidatina Fatimah adalah lapan belas tahun dan pada waktu perkahwinannya, Fatimah berusia 21 tahun.
Hafiz Ibn Hajar menulis bahawa Saidatina Fatimah r.a. adalah lima tahun lebih tua daripada Saidatina ‘Aishah r.a.(Al-Asabah, Jilid IV, m/s 377)

Namun, di waktu yang lain, beliau menyokong kuat pendapat bahawa majlis perkahwinan Ummul Mu’minin r.a. berlangsung semasa berusia sembilan tahun. Sekarang, jika kita mempertimbangkan fakta bahawa ‘Aishah r.a. adalah lima tahun lebih muda daripada Fatimah r.a., dan Fatimah telah dilahirkan lima tahun sebelum Kerasulan, ini bermakna bahawa Ummul Mu’minin dilahirkan pada tahun baginda s.a.w. diangkat menjadi rasul. Dengan itu , usia Ummul Mu’minin r.a. menjadi lima belas tahun pada masa beliau mula hidup bersama Rasulullah s.a.w. Bagaimanakah ia boleh menjadi sembilan tahun?

Puak Syiah pula mendakwa bahawa Fatimah r.a. telah dilahirkan lima tahun selepas Kerasulan, dan oleh itu usianya semasa perkahwinan adalah 8 atau 9 tahun. Bahkan, berdasarkan alasan ini, pendapat fiqah mereka ialah: kanak-kanak perempuan mencapai sembilan tahun hendaklah dikahwinkan. Pada pandangan kami, puak Syiah sengaja mengadakan cerita tentang umur Ummul Mu’minin r.a. dalam usaha untuk menyembunyikan cerita yang direka oleh mereka sendiri. Dan, ahli Sunnah tanpa berfikir panjang, turut menyebarkan pemikiran mereka ini dengan menyebarkan riwayat seperti ini. Kesannya, apabila ahli Sunnah menerima riwayat yang Ummul Mu’minin berkahwin semasa berusia sembilan tahun orang Sy'iah akan mengejek sambil berkata : Tuan! Bagaimana seorang kanak-kanak perempuan yang hanya menghabiskan masanya dengan bermain anak patung, dapat memahami agama ini ?

PERKAHWINAN SAIDATINA UMMU KALTHUM R.A.
Selepas kematian Ruqayyah r.a., Ummu Kalthum r.a. telah berkahwin dengan Saidina Uthman ibn Affan r.a. di bulan Rabi’ul Awal tahun ketiga Hijrah. Sekiranya Ummu Kalthum adalah lebih muda daripada Fatimah r.a., maka umurnya sembilan belas tahun dan jika Ummu Kalthum lebih tua, sebagimana yang dikatakan oleh ahli sejarah secara umumnya, maka usianya (Ummu Kalthum) tidak akan kurang daripada 23 tahun, dan beliau adalah seorang perawan di usia itu.
Alangkah ajaibnya ! Rasulullah s.a.w. mengatur perkahwinan anak perempuannya pada masa mereka berumur melebihi 20 tahun, sebagaimana perkahwinan gadis di zaman moden. Namun apabila baginda s.a.w. sendiri berkahwin, beliau memilih seorang kanak-kanak perempuan yang berusia sembilan tahun . Apakah perasaan anak perempuan baginda s.a.w. untuk memanggil Aishah r.a. sebagai ibu?

PERKAHWINAN SAIDATINA ASMA’ R.A.
Asma’ r.a. ialah kakak ‘Aishah r.a., yang usianya sepuluh tahun lebih tua daripadanya (‘Aishah r.a.). Beliau telah berkahwin dengan Zubair r.a. beberapa bulan sebelum peristiwa Hijrah ke Madinah. Beliau sedang mengandung pada waktu berlakunya Hijrah. Pada masa itu beliau berusia 27 tahun dan semasa perkahwinannya, beliau berusia 25 tahun. Ini bermakna bahawa Saidina Abu Bakar r.a. memelihara anak perempuan sulungnya (Asma’ r.a.) selama 26 tahun, dan anak perempuannya yang terkemudian (‘Aishah r.a.) adalah sangat membebankannya sehinggakan beliau (Abu Bakar r.a.) menguruskan perkahwinannya meskipun baru berusia sembilan tahun!
Kami perhatikan di zaman moden ini, rata-rata pengantin perempuan berumur lebih 18 tahun. Oleh itu, mengapakah kisah ini hanya dikhususkan kepada Ummul Mu’minin r.a.? Apakah muslihat yang ada di sebaliknya?
 
Alangkah baiknya sekiranya ada sesiapa yang mampu untuk mendedahkannya!

Kami yakin segala kekalutan ini berpunca dari sikap permusuhan puak Syiah terhadap Ummu Mu’minin Saidatina Aishah r.a.

HUJAH KE-24 – KESEPAKATAN (IJMAK) UMAT DALAM MENOLAK AMALAN KAHWIN BAWAH UMUR
Riwayat Hisham yang keliru ini sentiasa bercanggah dengan amalan umat Islam. Sehingga hari ini, tiada siapapun yang beramal menurut riwayat ini , malah tiada seorang pun yang menawarkan anak perempuan yang berusia sembilan tahun untuk tujuan ini; dan, tiada seorang pun kanak-kanak di usia mentah begitu yang telah diterima untuk dijadikan sebagai isteri.
Kesimpulannya, riwayat ini hanya berlegar di atas lidah manusia. Dalam erti kata lain, riwayat ini tidak diterimapakai oleh sesiapa pun dari segi amalan.
Tetapi, kita bukanlah dari jenis orang yang suka membantah. Oleh itu kita mempercayai riwayat ini secara lisannya, tetapi kita ( dan juga masyarakat Islam seluruh dunia) enggan mengamalkannya.

PERBAHASAN TENTANG USIA SEBENAR KHADIJAH R.A. SEMASA BERKAHWIN DENGAN RASULULLAH S.A.W.
Dikatakan bahawa Ummul Mu’minin Saidatina Khadijah r.a. berumur 40 tahun ketika beliau berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Ia adalah suatu riwayat yang yang tidak berasas tetapi telah disebarkan sebegitu rupa dan digarap seolah-olah sebahagian daripada ugama. Ini adalah percubaan untuk membuktikan bahawa Rasulullah s.a.w. telah melalui zaman mudanya bersama-sama dengan seorang wanita tua. Dalam usia lanjut , beliau r.a telah melahirkan empat orang anak perempuan iaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalthum dan Fatimah r.a.; dan tiga orang anak lelaki yang dinamakan Qasim, Tayyab and Tahir. Menurut sesetengahnya pula, beliau r.a. telah melahirkan empat orang anak lelaki; ada seorang yang bernama Abdullah, sedangkan setengah yang lainnya pula menyatakan bahawa yang sebenarnya Abdullah telah dipanggil sebagai Tayyab dan Tahir.

Saidatina Khadijah r.a. telah berkahwin sebanyak dua kali sebelum berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Perkahwinan pertamanya adalah dengan Abu Halah Hind bin Banash bin Zararah. Daripadanya, beliau telah mendapat seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan. Nama anak lelakinya ialah Hind dan anak perempuannya bernama Halah. Setelah kematian Abu Halah, Khadijah r.a. berkahwin dengan Atiq bin ‘Aid Makhzumi. Daripadanya dia mendapat seorang anak perempuan yang juga bernama Hind. Inilah sebabnya mengapa Saidatina Khadijah r.a. mendapat kunniyah sebagai Ummu Hind. Anak lelaki Saidatina Khadijah, Hind, telah memeluk Islam. (Seerat-un-Nabi , Jilid II, m/s 402).

Di sini, timbul satu persoalan, iaitu Saidatina Khadijah r.a. telah melahirkan empat orang anak sahaja di usia mudanya, namun semasa usia tuanya beliau telah melahirkan tujuh atau lapan orang anak, yang mana ia agak bertentangan dengan logik akal. Sebabnya, menurut Sains Perubatan, seorang wanita menjadi tidak subur untuk melahirkan anak, biasanya apabila melewati usia 45 tahun. Bagaimana pula boleh dipercayai bahawa lapan orang anak telah dilahirkan setelah melepasi usia 40 tahun?

Pihak Orientalis dan musuh-musuh Islam telah memberi perhatian khusus terhadap riwayat ini, kerana peristiwa ini jelas bertentangan dengan akal. Dengan mendedahkan peristiwa seperti ini, mereka mengambil kesempatan untuk mencemuh Islam.

Namun begitu, ulama kita sebaliknya menganggap kejadian ini sebagai ‘satu mukjizat’ Rasulullah s.a.w. Tambahan lagi mereka menganggap inilah keistimewaan nabi s.a.w. kerana sanggup mengahwini wanita yang tua sedangkan baginda s.a.w. sendiri muda belia.

Di pihak yang lain golongan Syiah mendakwa adalah tidak mungkin melahirkan sebegitu ramai anak di usia tua. Oleh itu, Zainab, Ruqayyah dan Ummu Kalthum tidak diiktiraf sebagai anak nabi s.a.w.

Golongan Syiah mengatakan bahawa umur Khadijah r.a. ialah 40 tahun semasa berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Meskipun mereka amat mahir bermain dengan angka, mereka telah melakukan kesilapan bodoh bila mendakwa bahawa Fatimah r.a. dilahirkan lima tahun selepas kenabian. Dalam hal ini, Khadijah sudah berumur 60 tahun semasa melahirkan Fatimah r.a.. Dengan ini tidak mungkin Ruqayyah dan Kalthum adalah anak kepada Khadijah kerana mereka adalah lebih muda dari Fatimah.

Kita akan membuktikan bahawa empat orang anak perempuan ini adalah dilahirkan oleh Saidatina Khadijah r.a. dari Rasulullah s.a.w. Tetapi sebelum itu orang Syiah perlu membuktikan bahawa seorang wanita yang berusia 60 tahun boleh melahirkan anak. Dan apabila mereka membuktikannya, mereka mesti juga membuktikan bahawa Fatimah r.a. adalah anak kepada Khadijah r.a.

Sebenarnya terdapat perbezaan pendapat tentang usia sebenar Khadijah r.a bila berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Ada yang berkata umurnya 40 tahun . Ada yang berpendapat usianya 35 tahun. Yang lain pula mengatakan 30 tahun , dan sesetengah pula mengatakan 27 tahun, manakala ada pula yang menyatakan bahawa usianya 25 tahun. Ahli-ahli sejarah Syiah sependapat mengatakan umurnya 40 tahun, dan mereka menolak pendapat lain. Dan mereka riuh rendah menyebarkan pendapat ‘40 tahun’ ini seolah-olah pandangan lain tidak pernah wujud. Ulama kita dan ahli-ahli sejarah yang terkemudian juga terpengaruh dengan daayah ini dan menyangkakan bahawa pendapat golongan Syiah inilah yang ‘tepat’.

Hafiz Ibn Kathir menulis:
“Baihaqi telah memetik daripada Hakim iaitu apabila Rasulullah mengahwini Khadijah r.a., baginda s.a.w. adalah berumur dua puluh lima tahun dan Saidatina Khadijah r.a. berumur tiga puluh lima tahun, dan ada pendapat lain mengatakan usianya dua puluh lima tahun.” (al-Bidayah, Jilid II, m/s 295)

Dengan lain perkataan, Baihaqi dan Hakim menyatakan bahawa Saidatina Khadijah r.a. berusia tiga puluh lima tahun pada waktu itu. Bersama-sama dengan itu, mereka juga turut mengatakan bahawa ada pendapat bahawa beliau r.a. berusia dua puluh lima tahun.

Di tempat lain , Hafiz Ibn Kathir mengatakan usia Saidatina Khadijah r.a. pada masa kewafatannya, sebagaimana berikut: “Usia Saidatina Khadijah mencapai 65 tahun. Satu pendapat mengatakan beliau meninggal pada usia 50 tahun. Dan pendapat ini (iaitu 50 tahun) adalah yang benar.” (al-Bidayah wan Nihayah, Jilid II, m/s 294)

Ulama Hadis dan ahli sejarah bersetuju bahawa Saidatina Khadijah r.a. menjalani hidup sebagai isteri Rasulullah s.a.w. selama 25 tahun dan beliau r.a. meninggal dunia pada tahun ke-10 Kerasulan. Hafiz Ibn Kathir berkata; ‘pendapat yang benar adalah usianya mencecah 50 tahun’ telah membuktikan bahawa usia Saidatina Khadijah pada masa perkahwinannya ialah 25 tahun. Dan juga, Hafiz Ibn Kathir juga telah membuktikan bahawa ‘maklumat’ yang diterima pada hari ini (iaitu umur Khadijah r.a. 40 semasa berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. ) adalah salah dan tidak benar sama sekali..
 
Meskipun dengan fakta yang sebegini jelas, kita masih mempercayai (dan terperangkap) dalam berita yang lebih merupakan khabar angin semata-mata.

Apabila kami mengkaji ‘Al-Bidayah wan-Nihayah’ yang ditulis oleh Ibn Kathir, barulah kami menyedari akan kesilapan kami. Semoga Allah yang Maha Kuasa mengampuni kami, kerana kami adalah mangsa kepada suatu salah faham yang besar. Moga Allah yang Berkuasa mengurniakan kepada kita semua kefahaman akan Kebenaran.
Wallahua’lam
Aamin! Ya Rabbal Aalamin

BIBLIOGRAFI
Rujukan Akademik dan Buku Sumber
1. Bukhari, Muhammad Ismail Al-Bukhari: Sahih Bukhari.
2. Muslim, Muslim Bin Al-Hajjaj at-Taheeri: Sahih Muslim.
3. Sulaiman bin Ash’ath: Sunan Abi Daud.
4. An-Nasaie, Ahmad bin Shuaib An-Nasaie: Sunan Nasaie.
5. Tirmidhi, Mohammad bin Essa Tirmidhi: Jama’a Tirmidhi.
6. Ibn Majah, Mohammad bin Abdullah bin Yazid bin Majah: Sunan Ibn Majah.
7. Al-Darimi, Abu Abdur-Rahman Abdullah bin Abdur-Rahman Al-Darimi: Sunan Darimi.
8. Al-Hamidi, Abdullah bin Az-Zubair Al-Hamidi: Musnad Hamidi.
9. Hafiz Ibn Hajar: Tahzib-ul-Tahzib.
10. Aqueeli: Kitab-ul-Sanafa.
11. Hafiz Zahabi: Mizan-ul-‘Atedal.
12. Abdur-Rahman bin Abi Hatim Maruzi: Al-Jarah-wal-Ta’dil.
13. Hafiz Sakhawi: Fateh-ul-Ghaith.
14. Ibn Sa’ad: Tabaqat.
15. Waliuddin Al-Khatib: Al-Kamal fi Asma-ur-Rajal.
16. Hafiz Ibn Katheer: Al-Bidayah-wan-Nihayah.
17. Hafiz Ibn Hajar: Taqrib-ul-Tahzib.
18. Tabari, Muhammad bin Jareer Tabari: Tarikh Tabari.
19. Hafiz Zahabi: Siyar-ul-A’lam An-Nubula.
20. Ibn Hisham: As-Seerat.
21. Hafiz Ibn Katheer: As-Seerat-un-Nabawiyyah.
22. Hayat Syed-ul-Arab.
23. Abdur-Rauf Danapuri: As’hah-ul-Sa’yer.
24. Shibli: Seerat-un-Nabi.
25. Niaz Fatehpuri: Sahabiyyat.
26. Said Ahmad, Akberabadi Maulana: Seerat-us-Siddiq.
27. Imam Ahmad: Al-Masnad.
28. Sulaiman Nadvi, Syed: Seerah ‘Aishah.
29. Hafiz Ibn Hajar: Al-Asabah fi Ahwal-us-Sahabah.
30. Hakim Niaz Ahmad: ‘Ao‘mer ‘Aishah.
banyak juga penghujat dan misionaris yang mempersoalkan pernikahan nabi Muhammad saw dan siti Aisyah..

tetapi tahukah mereka berapa umur yusuf dan Maria menikah?
semoga keterangan ini bisa untuk dijadikan berfikir untuk menghujat pernikahan nabi Muhammad dan siti Aisyah
 
A year after his wife’s death, as the priests announced through Judea
that they wished to find in the tribe of Juda a respectable man to
espouse Mary, then twelve to fourteen years of age, Joseph, who was at
the time ninety years old, went up to Jerusalem among the candidates
 
Setahun setelah kematian istrinya, seperti yang telah diumumkan oleh
para rabbi keseantero Judea bahwa mereka mencari seseorang yang
terpandang dari suku Jahudi untuk memperistri Mary, yang akan berumur
12-14 tahun, Joseph yang saat itu sudah berumur 90, pergi ke
Jerusalem diantara para calon…….
Baca selengkapnya http://www.newadvent.org/cathen/08504a.htm
 
Oleh : Hyde Daisuke di Grup Menjawab Seluruh Fitnah Terhadap Islam

Tidak ada komentar: